Pengantar
Saya secara pribadi memberikan
apresiasi atas topik penelitian ilmiah yang diajukan oleh tim peneliti ini,
karena penelusuran sejarah Minangkabau atau sejarah Islam Minangkabau sebelum
abad ke-17/18 selama ini terasa hampir
mengalami jalan buntu, kecuali itu penelitian dan tulisan-tulisan yang
berkaitan dengan substansi pemikiran dan realitas budaya yang eksis di tengah
masyarakat, selebihnya hanyalah pengungkapan sejarah yang lebih banyak
didasarkan pada sumber-sumber kolonial.
Kendala utama penelusuran
sejarah Minangkabau pra abad ke 17/18 rata-rata disebabkan oleh tidak
tersedianya sumber lokal tertulis primer yang memadai. Hal ini antara lain
disebabkan oleh weltanschaung masyarakat yang hidup wilayah Minangkabau
yang oleh MD Mansur (1979), dianggap kurang memiliki zijn vor tijd (kesadaran
atas waktu), yang karena keadaan alam dan iklim wilayahnya yang subur dan
cantik, telah menyebabkan masyarakat menjadi malas mencatat. Hal ini terbukti
dengan tidak banyaknya catatan-catatan pengalaman masyarakat yang tertinggal
untuk kita telusuri hari ini.
Judul laporan hasil penelitian
ini adalah “Kesulthanan Pagaruyung, Jejak Islam pada Kerajaan-Kerajaan di
Dharmasraya”. Meski pada awalnya saya agak sedikit kaget dengan perluasan dari topik
semula pada saat seminar proposal yang juga saya ikuti, namun saya berharap
lebih akan ada fakta-fakta baru tentang sejarah Minangkabau yang akan
melengkapi kekurangan sumber selama ini,
terutama tentang Minangkabau masa-masa sebelum abad ke-17/18.
Pada waktu saya diminta
menjadi pembahas untuk seminar hasil penelitian ini, kepada saya diberikan
hasil penelitian lengkap, bukan eksekutif summary. Saya tentu sangat senang,
dan dengan antusias membaca laporan ini dari awal hingga akhir, jujur secara
subyektif saya sangat menikmati. Akan tetapi, saat menikmati paparan yang
terdapat pada laporan ini, saya sadar bahwa saya berkeharusan untuk memberikan
telaahan secara kritis dan obyektif, setidaknya menurut kadar kompetensi yang
saya punyai.
Masalah Konsep dan
terminologis
Setelah membaca judul yang
tertera pada halaman luar, kesan pertama yang saya dapatkan (mungkin saya
keliru) ialah sebuah claim dalam bentuk kalimat aktif, yaitu bahwa Kesulthanan
Pagaruyung adalah salah satu pembuktian adanya jejak Islam pada
kerajaan-kerajaan Dharmasraya, bukan sebaliknya, jejak Islam pada kerajaan-kerajaan di
Dharmasraya sebagai bukti eksistensi Islam di kesulthanan Pagaruyung. Bila penelitian ini ditujukan untuk mengungkap
tinggalan arkeologis Islam yang terdapat pada kerajaan di Dharmasraya (sebagai
bagian dari kekuasaan Pagaruyung) untuk penyimpulan tentang jejak Islam di
wilayah kekuasaan Pagaruyung, maka seyogianya judul ini berbunyi : “Jejak Islam
di Kesulthanan Pagaruyung, studi terhadap peninggalan arkeologis pada
kerajaan-kerajaan di Dharmasraya”. Akan tetapi
keterkaitan dengan variabel kesulthanan Pagaruyung ini tidak ditemukan penjelasan yang memadai pada
bagian pendahuluan. Dalam subbahasan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian ternyata yang dikemukakan justru adalah bahwa penelitian ini lebih
difokuskan hanya pada kerajaan-kerajaan di Dharmasraya (h.17-18).
Sebutan ‘kesulthanan’
belum lazim dalam berbagai penelitian dan penulisan tentang Minangkabau atau
Pagaruyung. Dalam banyak literatur yang sering
ditemui adalah ‘kerajaan’ Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung. Bila penggunaan konsep kesulthanan akan
dijadikan asumsi yang diarahkan menjadi bagian dari konklusi penelitian atau
paling tidak diharapkan untuk dijadikan acuan baru penelitian sejarah
berikutnya, seyogianya konsep ini harus mendapatkan porsi pembahasan yang cukup
untuk menjadi sebuah definisi yang layak
untuk menyebut sistem kekuasaan di wilayah ini.
Kerancuan konsep juga terlihat
pada sebutan Pagaruyung, bukan Minangkabau. Kedua konsep ini dalam pemaparan
sering dipertukarkan, kadang disebut kesulthanan Minangkabau di Pagaruyung (h.107), dan pada bagian lain disebut
kesulthanan Pagaruyung. Padahal kalau didasarkan pada sumber sebagaimana yang
terdapat pada Inskripsi
cap mohor Sultan Alam Bagagar dari Pagaruyung
misalnya, (pada tulisan beraksara Jawi dalam lingkaran bagian dalam)
berbunyi sebagai berikut: “Sultan Tangkal Alam Bagagar ibnu Sultan
Khalīfatullāh yang mempunyai tahta kerajaan dalam negeri Pagaruyung
Dārul Qarār Johan Berdaulat Zillullāh fīl 'Ālam” dengan
jelas ditangkap bahwa kekuasaan sulthan tidak hanya sebatas negeri Pagaruyung,
dan Pagaruyung adalah tempat dimana Sulthan bertahta (pusat kekuasaan). Demikian
juga dalam penyebutan Dharmasraya
apakah kerajaan Dharmasraya atau kerajaan Melayu di Dharmasraya. Dalam prasasti Grahi (Thailand) yang berangka tahun 1183
disebutkan bahwa Srimat Trailokyaraja Maulibhuana Warmadewa jadi raja di
Dharmasraya, dengan wilayah kekuasaan sampai Thailand Selatan. Dalam
beberapa pernyataan yang terdapat dalam halaman-halaman laporan inipun kemudian
ditemukan ketidakkonsistenan ; suatu kali disebut kerajaan Dharmasraya dan di
kali yang lain disebut kerajaan Melayu di Dharmasraya, bahkan yang digunakan
pada redaksi judul adalah kerajaan-kerajaan di Dharmasraya.
Kerangka Kronologis
Selain itu, obyek penelitian ini tidak menyertakan rentang
kronologis, baik dalam bentuk caesuur ataupun dalam bentuk priodesasi.
Rentang waktu yang panjang dari pengalaman sejarah kerajaan-kerajaan di
Dharmasraya, menurut saya perlu penjelasan apakah yang menjadi obyek
krononologis dimulai dari saat dipindahkannya pusat kekuasaan Kerajaan Melayu
ke Dharmasraya, atau kerajaan di wilayah Dharmasraya pada saat menjadi bagian
dari wilayah kekuasaan Pagaruyung/Minangkabau?. Hal ini akan menjadi bagian
dari telaahan saya pada bahasan berikutnya tentang tinggalan folologis dan
arkeologis yang digunakan sebagai sumber bagi penelitian ini, khususnya pada
bab IV laporan ini.
Kerancuan
konsep (yang karena tidak
terdefinisi dengan baik), tidak jarang
membuat sebuah penelitian menjadi kehilangan “benang
merah”, sehingga
proposisi-proposisi yang dibangun menjadi kurang relevan satu sama lain untuk
kontribusi keimuan. Sebuah penelitian sejarah yang ilmiah tentunya tidak harus
berhenti sebatas narasi kesejarahan, meskipun sejarah yang naratif (mungkin) banyak mengandung
informasi baru, namun pada tingkat metodologis gagal menghasilkan sebuah
kontribusi keilmuan, terutama dalam menyingkap fakta-fakta baru yang bersifat
teoritis. Kegagalan
seperti ini biasanya selain disebabkan oleh kerancuan konsep yang digunakan, kerancuan
kronologis, juga oleh kekurangan sumber serta lemahnya metodologi.
Masalah Sumber Tinggalan
Untuk laporan hasil penelitian ini saya akan mencoba melakukan
telaahan pada aspek-aspek yang disebutkan terdahulu. Pertama saya akan
berangkat dari pemahaman saya terhadap
judul, yaitu “Jejak Islam di Kesulthanan Pagaruyung, studi terhadap temuan
arkeologis pada kerajaan-kerajaan di Dharmasraya”, mudah-mudahan perspektif ini pulalah yang
dimaksud oleh tim peneliti. Obyek formal penelitian ini tentulah situasi sosial
dan kultural kerajaan-kerajaan di Dharmasraya pada satu rentang kronologis
tertentu (rentang ini tidak dijelaskan), sedangkan obyek materialnya adalah tinggalan
arkeologis dan filologis berupa inskripsi, situs, benda-benda purbakala, arsip
kerajaan serta tinggalan apapun yang dapat memberi petunjuk untuk menyingkap
fakta-fakta kesejarahan terkait aktifitas kebudayaan masyarakat masa lalu dalam
rentang kronologis penelitian itu, terutama tinggalan (teks-teks budaya), baik yang
bernafaskan keIslaman atau tidak.
Sumber sebagai “jejak” dalam ilmu sejarah disebut sebagai
sumber informal. Sumber ini tidak dapat “berbicara” tentang dirinya, akan
tetapi harus diinterpretasi lebih dulu sebelum digunakan untuk menyingkap informasi
kesejarahan apa saja yang terdapat didalamnya. Sumber jejak haruslah sumber
primer, kecuali bila memuat teks tertulis yang dapat dijadikan kesaksian langsung
tentang obyek formal yang diteliti. Tinggalan-tinggalan arkeologis yang
digunakan sebagai sumber sejarah, paling tidak, mengandung empat aspek :
pertama, artifact, atau fakta benda, yaitu menyangkut tinggalan itu sendiri, seperti material,
struktur, kapan, dimana dibuat, dsb. Kedua, mentifact atau fakta-fakta mental tentang
proses kreatif yang menyangkut penciptaannya, ini akan memberikan berbagai
informasi tentang situasi mentalitas dan kebudayaan masyarakatnya. Ketiga, socifact atau fakta-fakta
sosial masyarakat pada saat sumber ini diciptakan dan digunakan, fakta ini
dapat menyingkap struktur sosial, sistem interaksi, hirarkhi social, mobilitas
sosial dan sebagainya. Sedangkan yang keempat adalah fakta relasi antar
tinggalan, baik secara internal maupun eksternal. Yang terakhir ini akan
memberi peluang untuk melihat tinggalan-tinggalan lain di luar wilayah
penelitian yang ada hubungannya dengan tinggalan yang dianalisis untuk
menyingkap berbagai fakta kesejarahan secara lebih luas.
Masalah Penafsiran
Sekaitan dengan apa yang dikemukakan itu, maka bab IV laporan
penelitian ini seyogianya dimaksudkan khusus untuk menyingkap fakta-fakta
arkeologis dan filologis sebagai tinggalan jejak kesejarahan di kerajaan
Dharmasraya. Ini juga yang (tentunya) menjadi domain utama penelitian ini. Sejumlah
sumber arkeologis dan filologis (sebagai temuan penelitian) seharusnya menjadi bahan utama untuk diberikan
tafsiran dalam rangka menyingkap informasi kesejarahan yang terdapat di
dalamnya (sebagaimana oleh tim disebut sebagai analisis wacana/h.17). Dalam bab ini tim penulis telah memberikan
penafsiran teks tinggalan filologis dan arkeologis untuk menyingkap berbagai
situasi sosial dan kultural yang bersifat keislaman dengan baik, meski masih
perlu pendalaman dari berbagai aspek yang termuat dalam teks maupun konteksnya (h.103
dst.), namun amat disayangkan deskripsinya tidak terlalu difokuskan pada
masing-masing teks, tetapi dalam bingkai sub tema yang sudah dikerangkakan oleh
penulis sendiri. Disamping itu penulis juga menyertakan bahasannya dengan penafsiran
terhadap tinggalan-tinggalan lainnya di luar wilayah Dharmasraya, sehingga
tafsiran yang dikemukakan menjadi bercampuraduk dan seperti dipaksakan (h.109-111).
Hal ini kelihatan hingga akhir bab, dimana tim penulis menjadi agak sulit
mendapatkan proposisi-proposisi akhir yang akan menjadi kesimpulan umum tentang
jejak Islam di wilayah ini.
Anakronisme Historis dan Penyimpulan
Disamping itu angka tahun semua tinggalan yang ditafsirkan
dalam rangka menyingkap berbagai informasi tentang denyut kehidupan keagamaan
masyarakat di wilayah ini, ternyata berumur tidak lebih dari 300 tahun yang
lalu. Ini artinya sekitar abad ke 17/18. Prakiraan inipun dalam bahasan tidak
disertai prosedur kritik ekstern yang digunakan untuk penetapan otentisitas
tinggalan. Bila sumber/tinggalan dengan rentang kronologis itu yang digunakan
untuk menunjukkan jejak Islam di wilayah ini pada abad 13/14 tentulah akan menjadi
sangat tidak relevan, apalagi pula untuk abad-abad sebelumnya. Selisih masa 3-4
abad adalah waktu yang sangat jauh untuk menyimpulkan hubungan antara “asap
dengan api” (meminjam istilah penulis pada bab II h.19), karena dalam sejarah disadari
bahwa setiap fenomena memiliki zeitgeist (iklim zaman) sendiri-sendiri, maka
penganalisisan dan penyimpulan harus senantiasa ditempatkan dalam konteks
masing-masing.
Itulah beberapa hal yang menjadi catatan saya atas laporan
penelitian ini, yang tentu ditujukan untuk menjadi pertimbangan tim penulis
untuk penyempurnaan-penyempurnaan selanjutnya.
Epilog
Mengakhiri presentasi ini, saya mengakui bahwa telaah
metodologis ini sengaja tidak menjangkau
narasi historis yang dikemukakan dalam bab-bab pendukung laporan ini, terutama bab
yang menyangkut bentangan sejarah dan asal usul Minangkabau. Karena, hingga
saat ini, apa yang oleh banyak sejarawan menjadi kekhawatiran atas kekurangan
sumber-sumber lokal, masih saja menjadi kendala untuk menjernihkan episode
sejarah yang berkabut tentang Minangkabau. Beberapa penulis (saya tidak
menyebut sejarawan) memang sudah banyak menulis tentang episode ini, tapi
sebanyak itu pula yang kenyataannya kurang memenuhi persyaratan metodologis
karena kurangnya sumber. Salah satu buku yang secara khusus “bercerita” panjang
lebar tentang Minangkabau beserta asal usulnya
telah ditulis oleh H Asbir Dt Rajo Mangkuto (penulis buku ini menjadi
rujukan tunggal untuk beberapa bagian dari laporan ini) dengan judul
“Kesulthanan Minangkabau Pagaruyung Darul Quarar dalam Sejarah dan Tambo
Adatnya”. Buku yang diterbitkan tahun 2010 ini mungkin bisa menjadi gambaran
tentang bagaimana “rumitnya” menyusun serpihan sejarah Minangkabau yang tidak
lengkap untuk epside itu. Ketidakelengkapan mana kalau dipaksakan tentu akan
menghasilkan karya dengan kecendrungan mitologis, karena ruang-ruang kosong
sumber itu akan diisi dengan “fakta-fakta” warisan tambo-tambo lokal yang ada,
bukankah dengan begitu artinya kita sesungguhnya hanya akan menghasilkan “tambo-tambo”
modern yang akan terwariskan kepada generasi selanjutnya?. Dengan kenyataan itu
sayapun tidak (belum) mau terjebak dalam hagiografi yang muncul hanya karena karena
kecintaan saya terhadap ranah Minang, atau oleh spekulasi-spekulasi historis
yang akan membuat “kabut” sejarah itu justru malah semakin pekat.
Terakhir ‘ala kulli hal, saya menyampaikan salut atas segala
upaya penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti hingga menghasilkan laporan yang
cukup tebal ini, sekaligus mohon maaf bila dalam telaahan metodologis ini ada
kekurangannya. Telaah ini mungkin dirasakan cendrung hanya mengemukakan kelemahan
yang terdapat dalam laporan, itu semata-mata karena posisi saya di sini sebagai
antesis untuk menemukan sintesis kebenaran sebagai lazimnya sasaran akhir suatu
penelitian ilmiah.
Wallahu a’lamu bishshawab
©Irhash A. Shamad
Disampaikan
dalam Seminar Hasil Penelitian “Kesulthanan Pagaruyung : Jejak Islam pada
Kerajaan-Kerajaan Dharmasraya, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, di Hotel Rocky Padang 11 Nopember
2016.