Selesai pelaksanaan ibadah haji, semua
jama’ah haji undangan kerajaan direncanakan akan diberangkatkan ke Madinah
Al-Munawwarah pagi besok (Selasa 07/10).
Malam ini, semua barang-barang jamaah
dikemas untuk persiapan check out dari Hotel Makarim Ummul Quro. Diinformasikan
bahwa sebelum shubuh semua bagasi sudah dikumpulkan di lobby hotel, karena itu saya dan beberapa temanpun malam
ini berkemas-kemas. Acara berkemas ini
baru selesai hingga lewat tengah malam, karena sebelumnya kami lebih memilih
istirahat sesudah shalat Maghrib. Selesai berkemas saya sendiri tidak lagi bisa
tidur hingga shubuh, meskipun kali ini saya merasa agak sedikit lelah secara
fisik, akan tetapi sulit untuk diistirahat-tidurkan. Jujur, malam ini kelelahan
saya bercampurbaur dengan perasaan sedih karena besok sudah harus meninggalkan
Mekkah, begitu singkat rasanya kesempatan bagi saya untuk dapat menghirup udara
kota kelahiran Rasulullah ini dengan segala keberkahannya, waktu dan kesempatan
yang entah kapan dapat kembali bisa saya rasakan.
Mengingat banyaknya jumlah armada bus yang
akan mengangkut jama’ah ke Madinah, membuat panitia sedikit kewalahan dalam
mengatur seat setiap jama’ah. Meskipun pada awalnya nomor bus dan nomor seat telah diatur sedemikian rupa, bahkan sejak
waktu keberangkatan ke ‘Arafah, namun kali ini tidak mungkin untuk diberlakukan
lagi, sehingga kelompok “caravan bus” inipun disesuaikan dengan negara
masing-masing. Setidaknya hampir tiga puluh bus harus parkir berjajar secara bergantian di depan hotel
Makarim Ummul Qura saat menjelang keberangkatan ini. Keadaan inipun membuat
petugas bagasi bekerja sedikit lebih ekstra. Itupun belum termasuk persiapan
konsumsi dan snack bagi para jama’ah untuk selama di perjalanan. Keadaan yang
digambarkan telah menyebabkan jadwal keberangkatan berubah dari rencana semula.
Bagi saya yang baru pertama kali
menjelajahi kawasan padang pasir Hejaz ini, telah membangkitkan naluri
kesejarahan yang begitu mendalam. Ketika yang lain hanyut dalam nuansa lanskap
yang ‘indah’ itu, saya justru terhanyut membayangkan ketika Rasulullah dan para
shahabat melakukan hijrah 14 abad yang lalu ; ketika dimana belum ada jalan
mulus seperti yang saya lihat hari ini. Terbayang sulitnya perjalanan Baginda
Rasul menelusuri padang pasir dan relung-relung bukit-bukit batu panas beratus-ratus
kilometer hingga sampai ke Yatsrib (Madinah). Sungguh suatu perjuangan yang
teramat berat untuk sebuah perubahan (hijrah), perjuangan untuk tetap survive
dalam sebuah keyakinan (Islam), dan keteguhan hati dalam suatu komitmen untuk
mengubah peradaban umat manusia sebagai amanah kerasulannya. Beratnya tantangan
Rasulullah yang ‘hadir’ saat menyaksikan pemandangan topografi wilayah ini
adalah bagaimana sulitnya medan serta jauhnya jarak tempuh yang dilakukan oleh
rombongan Beliau waktu itu, yang tentu saja sangat mustahil untuk kita lakukan
pada saat ini, meskipun pikiran ‘gila’ untuk sekali waktu (nanti) dapat
melakukan napak-tilas perjalanan hijrah Rasul ini terbersit juga di hati saya yang
entah kapan itu bisa saya wujudkan.
Kedua, pelayanan prima yang mengesankan
dari para panitia setempat sungguh kami rasakan sangat luar biasa. Untuk satu
bus jama’ah, setidaknya ada tiga orang panitia yang menamani perjalanan kami.
Sikap yang ramah dan tulus lebih kami rasakan dalam kebersamaan kali ini.
Panitia yang notabene pada waktu persiapan keberangkatan sudah begitu sibuk
mengurusi segalanya, pengaturan seat, bagasi dan sebagainya, namun dalam
perjalanan ini masih terlihat tegar untuk memanjakan para jama’ah dengan
berbagai pelayanan.
Saya memiliki kesan tersendiri pula sepanjang perjalanan ini. Saya yang semula membayangkan petugas/panitia yang melayani ini adalah mereka yang berpakaian layaknya kurir, atau paling tidak sama dengan security sebagaimana waktu di hotel, namun ternyata adalah pemuda-pemuda tampan berpakaian gamis putih lengkap dengan serban merah dan egal layaknya pejabat-pejabat Arab Saudi. Waktu di hotel saya sedikit menaruh hormat pada mereka, karena saya memandang mereka seperti syekh-syekh yang alim di negara saya, dan memang betul sebagian besar mereka ternyata sangat memahami kaidah-kaidah agama dengan sangat baik, ahli tafsir dan bahkan ada yang qari’, untuk itu saya berasa agak sungkan ketika berurusan dengan ‘beliau-beliau’ itu. Namun ketika perjalanan darat dari Makkah ke Madinah ini, hal itu kemudian mencair dan membuat saya sangat haru ; mereka dengan setia memenuhi segala keperluan jama’ah dan betul-betul ikhlash melayani, sekecil apapun keperluan itu. Selama di perjalanan merekalah yang langsung membagikan snack, buah serta minuman di setiap jarak waktu tertentu. Mendekati separo perjalanan, pada waktu mereka menawarkan pilihan snack pada jama’ah, saya sempat bertanya kepada salah seorang, apakah keripik ketela yang tadi masih ada?, (karena snack itu sangat saya sukai diantara cemilan yang tersedia lainnya). Beliau menjawab, wah sayangnya yang itu sudah tidak ada lagi!, tapi bila antum menginginkannya, insyaAllah nanti akan saya belikan, lalu saya cepat-cepat menjawab, la,…la ba`sa, …ya sudah, kalau begitu tidak usah saja, tidak apa-apa!, kira-kira begitu jawaban saya dengan bahasa Arab yang terbata-bata. Beberapa menit setelah itu, bus kamipun berhenti di sebuah tempat peristirahatan di tengah padang pasir, dimana terdapat sekelompok bangunan dengan beberapa toko, masjid (saya lupa nama masjidnya), dan beberapa fasilitas lain seperti tempat pengisian premium dan juga terminal truk. Kami melakukan shalat Zhuhur di masjid ini sembari berehat seperlunya. Saat kembali ke bus untuk melanjutkan perjalanan, dan saat ransum makan siang akan dibagikan, tiba-tiba panitia yang sebelum pemberhentian sempat dialog dengan saya tadi lalu mendekati saya dan memberikan sebungkus besar keripik ketela yang tadi saya tanyakan, saya kaget, subhanAllah!, ternyata dia tetap memenuhi permintaan saya itu, meski sebelumnya saya sudah menolaknya.…. Saya sungguh sangat terkesan, dan benar-benar sungkan sekali pada waktu ini, saya sangat terharu dengan gaya pelayanan seperti ini, saya hanya bisa berucap alhamdulillah dan sangat berterimakasih kepada panitia yang baik hati ini, rupanya ia sengaja membelikan keripik ketela untuk saya sewaktu di pemberhentian tadi. Di sinilah, bayangan tentang ‘orang Arab kaya dan sedikit angkuh’ sebagaimana sebelumnya ada di benakku, benar-benar menjadi luntur pada waktu ini…. Subhanallah!
Saya memiliki kesan tersendiri pula sepanjang perjalanan ini. Saya yang semula membayangkan petugas/panitia yang melayani ini adalah mereka yang berpakaian layaknya kurir, atau paling tidak sama dengan security sebagaimana waktu di hotel, namun ternyata adalah pemuda-pemuda tampan berpakaian gamis putih lengkap dengan serban merah dan egal layaknya pejabat-pejabat Arab Saudi. Waktu di hotel saya sedikit menaruh hormat pada mereka, karena saya memandang mereka seperti syekh-syekh yang alim di negara saya, dan memang betul sebagian besar mereka ternyata sangat memahami kaidah-kaidah agama dengan sangat baik, ahli tafsir dan bahkan ada yang qari’, untuk itu saya berasa agak sungkan ketika berurusan dengan ‘beliau-beliau’ itu. Namun ketika perjalanan darat dari Makkah ke Madinah ini, hal itu kemudian mencair dan membuat saya sangat haru ; mereka dengan setia memenuhi segala keperluan jama’ah dan betul-betul ikhlash melayani, sekecil apapun keperluan itu. Selama di perjalanan merekalah yang langsung membagikan snack, buah serta minuman di setiap jarak waktu tertentu. Mendekati separo perjalanan, pada waktu mereka menawarkan pilihan snack pada jama’ah, saya sempat bertanya kepada salah seorang, apakah keripik ketela yang tadi masih ada?, (karena snack itu sangat saya sukai diantara cemilan yang tersedia lainnya). Beliau menjawab, wah sayangnya yang itu sudah tidak ada lagi!, tapi bila antum menginginkannya, insyaAllah nanti akan saya belikan, lalu saya cepat-cepat menjawab, la,…la ba`sa, …ya sudah, kalau begitu tidak usah saja, tidak apa-apa!, kira-kira begitu jawaban saya dengan bahasa Arab yang terbata-bata. Beberapa menit setelah itu, bus kamipun berhenti di sebuah tempat peristirahatan di tengah padang pasir, dimana terdapat sekelompok bangunan dengan beberapa toko, masjid (saya lupa nama masjidnya), dan beberapa fasilitas lain seperti tempat pengisian premium dan juga terminal truk. Kami melakukan shalat Zhuhur di masjid ini sembari berehat seperlunya. Saat kembali ke bus untuk melanjutkan perjalanan, dan saat ransum makan siang akan dibagikan, tiba-tiba panitia yang sebelum pemberhentian sempat dialog dengan saya tadi lalu mendekati saya dan memberikan sebungkus besar keripik ketela yang tadi saya tanyakan, saya kaget, subhanAllah!, ternyata dia tetap memenuhi permintaan saya itu, meski sebelumnya saya sudah menolaknya.…. Saya sungguh sangat terkesan, dan benar-benar sungkan sekali pada waktu ini, saya sangat terharu dengan gaya pelayanan seperti ini, saya hanya bisa berucap alhamdulillah dan sangat berterimakasih kepada panitia yang baik hati ini, rupanya ia sengaja membelikan keripik ketela untuk saya sewaktu di pemberhentian tadi. Di sinilah, bayangan tentang ‘orang Arab kaya dan sedikit angkuh’ sebagaimana sebelumnya ada di benakku, benar-benar menjadi luntur pada waktu ini…. Subhanallah!
Memasuki kota Madinatul Munawwarah
menjelang Ashar, bus kami memutar seperti mengelilingi kota Madinah. Entah karena sopir yang keliru mengambil jalan
atau memang disengaja memberi kesempatan kepada jama’ah untuk melihat-lihat
kota secara keseluruhan, yang pasti, kami para jama’ah sangat terpuaskan dengan
keadaan ini. Dari kejauhan sudah terlihat Masjid An-Nabawi terbentang luas
dengan megahnya seakan mengucapkan selamat datang kepada kami. Di kota inilah
pemerintahan Islam pertama didirikan dengan segala suka-duka yang dialami oleh Rasulullah di zamannya. Di kota
ini, … ya kota yang tentunya belum seluas dan seindah yang kami saksikan
sekarang….subhanAllah walhamduliLlah. ......(bersambung)
© Irhash A. Shamad