Tanpa mengambil istirahat, sesudah shalat
shubuh kamipun langsung menuju jamaraat untuk melempar jumrah ‘Aqabah. Bagi
saya yang pertama kali menjalankan ibadah haji, sebelumnya hanya cerita yang
baru saya ketahui tentang Jamaraat. Jamaraat adalah simbol syetan yang
mengganggu Nabi Ibrahim sewaktu akan menjalankan perintah Allah saat Nabi
Ibahim akan menyembelih anak kesayangannya Ismail atas perintah Allah, karena
itulah umat Islam kemudian disyariatkan pula untuk melempar jamaraat yang tiga itu sebagai simbol
perlawanan terhadap syetan yang selalu menggoda manusia agar mengingkari
syariat Allah SWT. Semula dugaan saya simbol itu tak lebih dari sebuah simbol,
begitu juga jamaraat yang menjadi simbol syethan musuh
manusia.
Pengalaman
pertama di jamaraat ini, terutama sewaktu melalui jumrah uula untuk
mencapai jumrah ‘aqabah, bulu kuduk saya tiba-tiba merinding, dan sangat
merinding entah kenapa?… mungkinkah hanya saya yang merasakannya?, karena saya
melihat orang-orang lain yang berdesakan melempar jumrah itu nampaknya
biasa-biasa saja. Begitu jelas ditelinga saya terdengar suara raungan nyaring
dan sengau mengiringi gemuruh keramaian jamaah, entah dari mana asalnya, namun
yang pasti itu bukan raungan biasa. Saya mencoba untuk memilah pendengaran saya
antara gemuruh dan pekikan sengau tersebut, karena mungkin saja itu efek
akustik dari gemuruh suara keramaian, namun itupun tidak relevan. Setelah melewati
jumrah uula, saya mencoba kembali mengamati suara nyaring itu, saya
sengaja berdiam sejenak untuk kembali memilah antara suara gemuruh dan raungan
nyaring itu, namun tetap masih terdengar dan menakutkan. Subhanallah, saya
benar-benar merinding saat ini, keringatpun membasahi hampir seluruh tubuh
saya, dan terasa gemetar seluruh persendian, karena semakin saya fokus pada
suara aneh itu, semakin nyaring saja terdengar. Ingin saya memastikan melalui
teman sesama jamaah tamu yang semula bersama saya ke jamaraat, namun ia tidak
lagi kelihatan dan mungkin sudah lebih dulu ke jumrah ‘aqabah. Kemudian
sayapun menuju jumrah ‘aqabah untuk menyelesaikan rukun haji, meski suara itu
tetap terdengar. Saya berusaha untuk tidak emosional dalam melempar sesuai yang
saya ketahui sebelumnya, dan sayapun tidak larut memikirkan suara aneh tadi
dalam melempar. Mungkinkah itu suara pekikan syethan yang sedang dilempari
beramai-ramai yang diperdengarkan kepada saya, ataukah hanya halusinasi semata?
Wallahu a’lamu bish-shawab.
Setelah
ramyu di jumrah, saya selanjutnya kembali ke tenda untuk mencukur
rambut supaya bisa secepatnya tahallul agar
kami dapat melepas pakaian ihram. Semula saya menduga bercukur harus dilakukan
sendiri-sendiri, karena itu selesai melempar jumrah ‘aqabah begitu sampai di
jalan keluar jamaraat banyak sekali ditemukan barbershop untuk bercukur bagi
para jama’ah yang ingin tahallul. Saya semula akan bercukur di salah satu
barbershop itu, namun karena ramainya antrian, niat itu saya batalkan. Saya
bersama salah seorang teman dari Manado yang bertemu saat keluar jamaraat,
kemudian pulang ke tenda untuk bercukur bersama jama’ah yang lain.
Di
tenda-tenda jamaah tamu, sebenarnya sudah disediakan beberapa tukang cukur, akan tetapi tidak
sedikit juga diantara jamaah saling cukur dengan cara masing-masing. Sayapun
mencoba untuk bercukur bergantian dengan salah seorang jamaah dari Thailand. Dengan
modal gunting dan satu cermin kecil, maka saya mencoba mengunting rambutnya
secara berangsur hingga pendeknya merata dan rapi sesuai keinginannya. Akan
tetapi ketika giliran dia menggunting rambut saya, saya meminta agar tidak
terlalu pendek, tapi cukup sisakan 2 cm merata. Kami tidak menggunakan kaca
depan dan belakang untuk mengontrol hasil guntingan itu, kecuali hanya sebuah kaca
cermin di depan. Selebihnya adalah rasa saling percaya saja. Maka selesailah
satu sesi yang memungkinkan kami dapat melepas pakaian ihram.
Apa
yang kemudian saya ketahui di sore harinya adalah ternyata rambut bagian
belakang saya digunting tidak karuan, belang-belang, bergaris-garis, dan
sebagian tebal sebagian begitu tipis bahkan kurang dari setengah sentimeter.
Hal ini saya ketahui setelah mencoba memotret bagian belakang kepala dengan
menggunakan handphone, wadouhh!…. tidak dapat saya bayangkan betapa itu
memalukan, karena ini kepala sudah saya bawa kemana-mana keluar tenda pada
waktu siangnya. Lebih herannya lagi, tidak satupun diantara jama’ah tamu lain
mengingatkan saya tentang hal ini. Karena itu saya segera mencari pertolongan kepada salah seorang jamaah, kalau-kalau ada yang membawa mesin potong rambut untuk merapikan rambut saya, dan alhamdulillah
dengan batuan salah seorang jamaah dari Indonesia menjelang maghrib rambut saya
sudah dirapikan secara merata sesuai ukuran terpendek hasil karya teman
Thailand saya itu, meskipun terpaksa harus plontos, dan tidak seperti yang saya
inginkan semula,….. namun, ini menjadi
pengalaman plontos kedua bagi saya sesudah plontos untuk perpeloncoan waktu
masuk perguruan tinggi lebih dari 30 tahun yang lalu.
Sesuai
penjadwalan panitia, kami jamaah tamu kerajaan hanya mengambil Nafar Awal,
oleh karenanya mabit di Mina sampai hari kedua tasyriq. Hari ini
kami jamaah tamu secara berombongan berangkat ke jamaraat untuk melempar
ketiga jumrah untuk kemudian langsung meninggalkan Mina. Semua tas dikumpulkan
untuk di bawa langsung ke Madinah, sementara semua jamaah kembali ke Makkah
untuk menunaikan thawaf ifadah. Selesai melempar jumrah ‘Aqabah seyogianya
di luar area sudah menunggu bus-bus kerajaan yang akan membawa kami kembali ke
hotel, namun karena kemacetan lalu lintas Mina dan Makkah, bus kami terpaksa
menunggu kurang lebih 3 km dari Mina. Karena itu kami harus berjalan kaki ke
tempat bus tersebut. Kali ini saya benar-benar merasakan berhaji yang
sesungguhnya, berbaur bersama jamaah yang bermacam ragam dan berjalan di panas
terik dengan suhu yang sangat tinggi. Saya merasakan bagaimana berebutan air
mineral yang dibagikan dari atas truk serta semprotan dari truk-truk air untuk membantu
kelembaban udara, serta menghayati bagaimana hausnya kafilah yang menyusuri padang
pasir di panas terik. Meskipun kami
berjalan diatas jalan beraspal yang panas dan menyisir banyak sekali
kendaraan yang terpaksa parkir karena macet, namun ini cukup menjadi pengalaman
yang berharga.
Sesampai
di hotel semua jamaah beristirahat menunggu maghrib untuk kemudian menyelesaikan rukun
terakhir pelaksanaan ibadah haji ini, yaitu thawaf ifadhah. Pelaksanaan
thawaf ifadhah di Masjidil Haram diserahkan kepada masing-masing jamaah. Saya
dengan beberapa orang berangkat ke Masjidil Haram setelah maghrib dan
menyelesaikan thawaf dan sa’i hingga jam 10.00 WSA. Dengan
demikian setelah tahallul tsani, berakhirlah pelaksanaa ibadah haji dengan
harapan kiranya semua rangkaian ibadah ini diterima Allah SWT sebagai hajjan
mabruran, wa sa’iyan masykuuran wa zanban maghfuuran, wa tijaaratan lan
tabuuran……aamiiin.... (baca lanjutannya.....klik di sini)
© Irhash A. Shamad