Jam 16.00 WSA sore, iring-iringan rombongan bus jama’ah tamu kerajaan sampai di ‘Arafah. Masing-masing telah disediakan tenda sesuai negara dan wilayah regional masing-masing. Kami jama’ah tamu dari Indonesia ditempatkan satu tenda dengan Malaysia dan Philipina. Tenda-tenda yang cukup besar untuk menampung jamaah ini berada pada blok tersendiri. Di sini fasilitas untuk jama’ah sangat memadai, tersedia tenda yang berfungsi sebagai masjid, tenda ruang makan, restoran, klinik pengobatan, MCK serta fasilitas umum lainnya.
Kenyamanan
lingkungan blok ini lebih dirasakan dengan adanya pohon-pohon pelindung serta
pekarangan yang seluruhnya ditutupi dengan karpet rumputan berwarna hijau,
meski dengan rerumputan artifisial, namun cukup menimbulkan kesan yang sejuk.
Suasana di dalam tenda juga tidak kurang kenyamanannya. Satu tenda besar yang ditempati
oleh l.k. 100 orang mungkin terkesan sumpek dan gerah, namun karena
masing-masing tenda juga dilengkapi dengan air conditioner (AC) yang cukup, sehingga
suasana didalamnya cukup sejuk. Semua tenda-tenda itu juga dilengkapi dengan
kasur dan selimut untuk setiap jama’ah tamu. Dengan demikian pelaksanaan ibadah
dan zikir jama’ah didalamnya dapat dilakukan dengan lebih khusyu’.
Demikian
juga MCK tersedia cukup banyak sehingga hampir tidak memerlukan waktu untuk antrian,
namun yang sedikit agak perlu menyesuaikan adalah air wudhu’ dan air mandi yang
tersedia cukup panas menurut ukuran biasa, sehingga setiap kali sehabis mandi dan wudhu’ tidak terasa segar. Makanan
serta minuman yang disediakan khusus untuk jamaah tamu ditempatkan pada satu
tenda khusus. Tidak ada kesan “darurat” dalam pelayanan makanan dan minuman, bahkan juga dalam penyajiannya. Semua itu
persis sama dengan pelayanan yang ada di hotel, termasuk variasi menu yang
disediakan, yang berbeda hanyalah tidak tersedianya kursi dan meja untuk makan.
Soal yang terakhir ini yang sedikit berkesan “darurat” ; para tamu dipersilakan
mencari sendiri tempat duduk, apakah di tenda masing, di taman-taman atau di
gang-gang antara tenda yang memang sudah dialasi karpet hijau, apalagi pula
terdapat banyak pohon pelindung.
Apa
yang dikemukakan tentu dapat dimaklumi. Bahkan menurut saya, pengalaman spritual
ibadah haji sepatutnya benar-benar menjadi ‘napak tilas’ pelaksanaan haji Rasulullah
SAW, paling tidak segala duka dan
kesulitan di masa itu dapat dihayati. Saat pikiran saya mencoba untuk membayangkan
realitas masa Rasulullah, rasanya apa yang kami alami dalam pelaksanaan haji kali
ini sudah terlalu “mewah”, bahkan terkadang hati kecil saya seperti merasa
tidak sempurna dan kurang afdhal saja pelaksanaan
ibadah haji ini, meski tetap berharap tidak akan kurang nilainya di mata Allah
SWT.
Kami jamaah tamu mendengarkan
khutbah Arafah pada Jum’at 03 Oktober di dalam tenda yang dikhususkan untuk
masjid. Khutbah Arafah hanya kami saksikan melalui layar monitor. Untuk setiap negara-negara
‘ajam (yang tidak berbahasa Arab) masing-masing dibantu oleh seorang interpreter yang bertugas
menterjemahkan isi khutbah kepada bahasa masing-masing. Lautan manusia yang
mendengarkan khutbah Arafah di lapangan hanya dapat disaksikan lewat monitor. Dalam
hati, saya rasanya mau protes kenapa
kami tidak diberi pengalaman menyatu dengan umat muslim yang banyak itu saat
ini? ; seyogianya di saat saat seperti inilah kami dapat merasakan “padang
mahsyar” dunia itu, karena saat ini semua jamaah haji dari seluruh dunia
berkumpul pada satu titik dan detik secara bersamaan….betapa indahnya. Namun
apa hendak dikata, semua kami tunduk pada aturan-aturan yang menjadi ketetapan
penyelenggara yang mengurus penyelenggaraan haji tamu Khadim Haramayn ini. Selesai shalat jum’at, saat saat dimana wuquf di mulai, para jamaah mencari tempat masing-masing secara bebas untuk berzikir dan berdo’a menjelang terbenamnya matahari ; ada yang kembali ke tenda, ada yang mengambil tempat dipojok-pojok tenda, tetapi saya dan salah seorang teman dari Jawa Barat sengaja mengambil tempat di luar tenda, persisnya di tempat yang agak jauh dari tenda, Ini sengaja kami lakukan untuk sedikit merasakan panasnya suhu padang Arafah, meski tidak kena matahari langsung, namun cukup untuk sedikit menghayati padang Arafah dalam arti yang sesungguhnya. Do’a-do’a wuquf yang melantun di tengah suhu seperti ini terasa lebih menjiwai, karenanya kesempatan wuquf ini saya gunakan sebaik-baiknya untuk tidak saja mewiridkan zikir dan do’a seperti yang diajarkan Rasulullah, tetapi do’a-do’a dan segala ‘pengaduan’ atas segala hal yang telah berlaku dalam kehidupan saya dan semua keluarga saya, baik suka maupun duka yang telah kami alami selama ini, segala alpha dan kelemahan diri yang disesali. Terasa betapa ‘malu’ diri ini dihadapanNya atas semua itu, dan betapa kecilnya diri ini dan bahkan rasanya kurang pantas untuk berharap kehadiratNya, mengingat belum sempurnanya segala kewajiban tertunai sesuai syari’atNya, dan betapa terlalu banyak karunia dan kasih sayangnya yang telah dicurahkanNya kepada saya dan keluarga yang kadang tanpa kesyukuran yang berarti dari kami yang tak tahu diri…..betapa berdosanya diri ini kurasakan!. Konflik batin ini kurasakan tak ubahnya bagai pengadilan “mahsyar” atas diri saya sendiri. Tak sedikit air mata yang tercurah mengiringi “ratapan” dan do’a-do’a itu, hingga terleraikan oleh waktu ‘Ashar. Setelah shalatpun semua itu terulang kembali hingga saatnya kami bersiap-siap untuk diberangkatkan ke Mudzdalifah saat mata hari terbenam.
Kami
berangkat ke Mudzdalifah pada saat menjelang maghrib dengan manaiki bus-bus
tamu kerajaan yang memang telah standby di luar area sesuai dengan nomor
bus yang ditentukan sedari awal. Membayangkan caravan onta Rasulullah
dulu, bus-bus kamipun bergerak ke Mudzdalifah di tengah keramaian umat dengan
berbagai macam jenis kendaraan, bahkan ada diantaranya yang berjalan kaki,
sesekali saya berfikir alangkah lebih afdhalnya ibadah mereka yang benar-benar
merasakan perjalanan malam ke Mudzdalifah tanpa menggunakan kendaraan itu.
Jarak antara Arafah dan Mudzdalifah
tidaklah begitu jauh, namun masa tempuhnya begitu lama, karena bus kami tidak
bisa bergerak cepat akibat ramainya lalu lintas pada waktu ini. Lebih kurang jam 10.00 WSA malam, kami sampai
di Mudzdalifah. Bus-bus jamaah tamu yang seragam ini berjejer disepanjang jalan
Jawhara. Kami semua turun untuk mabit dengan terlebih dahulu shalat
Maghrib dan Isya’ yang dijama’ serta memungut kerikil-kerikil yang akan
digunakan nanti di jamarat. Begitu bus-bus kami berhenti, panitia langsung membentangkan
beberapa permadani di jalanan diantara bus-bus tersebut, agar para jamaah dapat
melaksanakan shalat, berzikir dan berdoa selama mabit, dan menunggu saat-saat perjalanan
dilanjutkan ke Mina menjelang Shubuh............(baca lanjutannya..... klik di sini)
© Irhash A. Shamad