TERBARU
14.14
Irhash Gallery : "Jalla Jalalah 3"
Written By Irhash A. Shamad on 11 Oktober 2015 | 14.14
Labels:
Gallery,
Irhash Gallery,
Jalalah 03,
Kaligrafi,
Kaligrafi Islam,
Lukis Kaligrafi
02.08
Album : Forum Dekan dan Asosiasi Dosen Fakultas Adab dan Humaniora
Written By Irhash A. Shamad on 20 Juni 2015 | 02.08
Labels:
Album,
FAH UIN Jakarta,
Forum Dekan Adab 2007,
Tentang Saya
02.02
Album : Fakultas Ilmu Budaya-Adab
Labels:
Album,
Fakultas Adab,
Pelantikan Dekan,
Tentang Saya
05.17
Lewat jam 02.00 dini
hari perjalanan dilanjutkan ke Mina. Semua rombongan kembali menaiki bus masing-masing, dan caravan
kamipun menyusuri jalan padat menuju Mina yang penuh dengan para jama’ah
layaknya hijrah massal. Mendekati shubuh barulah rombongan memasuki Mina,
karena konvoi kendaraan kami tidak bisa bergerak dengan cepat. Sesampai di Mina
kami para jamaah tamu ditempatkan di beberapa tenda dalam satu komplek khusus
di pinggiran jalan masuk lantai 1 dan 2 Jamaraat, atau tepatnya berseberangan
jalan dengan masjid Al-Khaif. Komplek tenda jamaah tamu yang hanya berjarak l.k.
500 meter dari jumratul uula ini memiliki fasillitas sama dengan yang
terdapat pada tenda-tenda yang ditempati di Arafah, kecuali hanya tidak
memiliki ruang terbuka yang cukup, yang ada hanya gang-gang diantara
tenda-tenda. Begitu keluar komplek tenda langsung berhubungan dengan jalan
masuk jamaraat lantai 1 dan 2.
"Hadza Min Fadhli Rabby" : Pengalaman Haji Atas Undangan Raja Saudi Arabia 2014 (Bagian 5)
Written By Irhash A. Shamad on 01 Maret 2015 | 05.17
Tanpa mengambil istirahat, sesudah shalat
shubuh kamipun langsung menuju jamaraat untuk melempar jumrah ‘Aqabah. Bagi
saya yang pertama kali menjalankan ibadah haji, sebelumnya hanya cerita yang
baru saya ketahui tentang Jamaraat. Jamaraat adalah simbol syetan yang
mengganggu Nabi Ibrahim sewaktu akan menjalankan perintah Allah saat Nabi
Ibahim akan menyembelih anak kesayangannya Ismail atas perintah Allah, karena
itulah umat Islam kemudian disyariatkan pula untuk melempar jamaraat yang tiga itu sebagai simbol
perlawanan terhadap syetan yang selalu menggoda manusia agar mengingkari
syariat Allah SWT. Semula dugaan saya simbol itu tak lebih dari sebuah simbol,
begitu juga jamaraat yang menjadi simbol syethan musuh
manusia.
Pengalaman
pertama di jamaraat ini, terutama sewaktu melalui jumrah uula untuk
mencapai jumrah ‘aqabah, bulu kuduk saya tiba-tiba merinding, dan sangat
merinding entah kenapa?… mungkinkah hanya saya yang merasakannya?, karena saya
melihat orang-orang lain yang berdesakan melempar jumrah itu nampaknya
biasa-biasa saja. Begitu jelas ditelinga saya terdengar suara raungan nyaring
dan sengau mengiringi gemuruh keramaian jamaah, entah dari mana asalnya, namun
yang pasti itu bukan raungan biasa. Saya mencoba untuk memilah pendengaran saya
antara gemuruh dan pekikan sengau tersebut, karena mungkin saja itu efek
akustik dari gemuruh suara keramaian, namun itupun tidak relevan. Setelah melewati
jumrah uula, saya mencoba kembali mengamati suara nyaring itu, saya
sengaja berdiam sejenak untuk kembali memilah antara suara gemuruh dan raungan
nyaring itu, namun tetap masih terdengar dan menakutkan. Subhanallah, saya
benar-benar merinding saat ini, keringatpun membasahi hampir seluruh tubuh
saya, dan terasa gemetar seluruh persendian, karena semakin saya fokus pada
suara aneh itu, semakin nyaring saja terdengar. Ingin saya memastikan melalui
teman sesama jamaah tamu yang semula bersama saya ke jamaraat, namun ia tidak
lagi kelihatan dan mungkin sudah lebih dulu ke jumrah ‘aqabah. Kemudian
sayapun menuju jumrah ‘aqabah untuk menyelesaikan rukun haji, meski suara itu
tetap terdengar. Saya berusaha untuk tidak emosional dalam melempar sesuai yang
saya ketahui sebelumnya, dan sayapun tidak larut memikirkan suara aneh tadi
dalam melempar. Mungkinkah itu suara pekikan syethan yang sedang dilempari
beramai-ramai yang diperdengarkan kepada saya, ataukah hanya halusinasi semata?
Wallahu a’lamu bish-shawab.
Setelah
ramyu di jumrah, saya selanjutnya kembali ke tenda untuk mencukur
rambut supaya bisa secepatnya tahallul agar
kami dapat melepas pakaian ihram. Semula saya menduga bercukur harus dilakukan
sendiri-sendiri, karena itu selesai melempar jumrah ‘aqabah begitu sampai di
jalan keluar jamaraat banyak sekali ditemukan barbershop untuk bercukur bagi
para jama’ah yang ingin tahallul. Saya semula akan bercukur di salah satu
barbershop itu, namun karena ramainya antrian, niat itu saya batalkan. Saya
bersama salah seorang teman dari Manado yang bertemu saat keluar jamaraat,
kemudian pulang ke tenda untuk bercukur bersama jama’ah yang lain.
Di
tenda-tenda jamaah tamu, sebenarnya sudah disediakan beberapa tukang cukur, akan tetapi tidak
sedikit juga diantara jamaah saling cukur dengan cara masing-masing. Sayapun
mencoba untuk bercukur bergantian dengan salah seorang jamaah dari Thailand. Dengan
modal gunting dan satu cermin kecil, maka saya mencoba mengunting rambutnya
secara berangsur hingga pendeknya merata dan rapi sesuai keinginannya. Akan
tetapi ketika giliran dia menggunting rambut saya, saya meminta agar tidak
terlalu pendek, tapi cukup sisakan 2 cm merata. Kami tidak menggunakan kaca
depan dan belakang untuk mengontrol hasil guntingan itu, kecuali hanya sebuah kaca
cermin di depan. Selebihnya adalah rasa saling percaya saja. Maka selesailah
satu sesi yang memungkinkan kami dapat melepas pakaian ihram.
Apa
yang kemudian saya ketahui di sore harinya adalah ternyata rambut bagian
belakang saya digunting tidak karuan, belang-belang, bergaris-garis, dan
sebagian tebal sebagian begitu tipis bahkan kurang dari setengah sentimeter.
Hal ini saya ketahui setelah mencoba memotret bagian belakang kepala dengan
menggunakan handphone, wadouhh!…. tidak dapat saya bayangkan betapa itu
memalukan, karena ini kepala sudah saya bawa kemana-mana keluar tenda pada
waktu siangnya. Lebih herannya lagi, tidak satupun diantara jama’ah tamu lain
mengingatkan saya tentang hal ini. Karena itu saya segera mencari pertolongan kepada salah seorang jamaah, kalau-kalau ada yang membawa mesin potong rambut untuk merapikan rambut saya, dan alhamdulillah
dengan batuan salah seorang jamaah dari Indonesia menjelang maghrib rambut saya
sudah dirapikan secara merata sesuai ukuran terpendek hasil karya teman
Thailand saya itu, meskipun terpaksa harus plontos, dan tidak seperti yang saya
inginkan semula,….. namun, ini menjadi
pengalaman plontos kedua bagi saya sesudah plontos untuk perpeloncoan waktu
masuk perguruan tinggi lebih dari 30 tahun yang lalu.
Sesuai
penjadwalan panitia, kami jamaah tamu kerajaan hanya mengambil Nafar Awal,
oleh karenanya mabit di Mina sampai hari kedua tasyriq. Hari ini
kami jamaah tamu secara berombongan berangkat ke jamaraat untuk melempar
ketiga jumrah untuk kemudian langsung meninggalkan Mina. Semua tas dikumpulkan
untuk di bawa langsung ke Madinah, sementara semua jamaah kembali ke Makkah
untuk menunaikan thawaf ifadah. Selesai melempar jumrah ‘Aqabah seyogianya
di luar area sudah menunggu bus-bus kerajaan yang akan membawa kami kembali ke
hotel, namun karena kemacetan lalu lintas Mina dan Makkah, bus kami terpaksa
menunggu kurang lebih 3 km dari Mina. Karena itu kami harus berjalan kaki ke
tempat bus tersebut. Kali ini saya benar-benar merasakan berhaji yang
sesungguhnya, berbaur bersama jamaah yang bermacam ragam dan berjalan di panas
terik dengan suhu yang sangat tinggi. Saya merasakan bagaimana berebutan air
mineral yang dibagikan dari atas truk serta semprotan dari truk-truk air untuk membantu
kelembaban udara, serta menghayati bagaimana hausnya kafilah yang menyusuri padang
pasir di panas terik. Meskipun kami
berjalan diatas jalan beraspal yang panas dan menyisir banyak sekali
kendaraan yang terpaksa parkir karena macet, namun ini cukup menjadi pengalaman
yang berharga.
Sesampai
di hotel semua jamaah beristirahat menunggu maghrib untuk kemudian menyelesaikan rukun
terakhir pelaksanaan ibadah haji ini, yaitu thawaf ifadhah. Pelaksanaan
thawaf ifadhah di Masjidil Haram diserahkan kepada masing-masing jamaah. Saya
dengan beberapa orang berangkat ke Masjidil Haram setelah maghrib dan
menyelesaikan thawaf dan sa’i hingga jam 10.00 WSA. Dengan
demikian setelah tahallul tsani, berakhirlah pelaksanaa ibadah haji dengan
harapan kiranya semua rangkaian ibadah ini diterima Allah SWT sebagai hajjan
mabruran, wa sa’iyan masykuuran wa zanban maghfuuran, wa tijaaratan lan
tabuuran……aamiiin.... (baca lanjutannya.....klik di sini)
© Irhash A. Shamad
20.17
Jam 16.00 WSA sore, iring-iringan rombongan bus jama’ah tamu kerajaan sampai di ‘Arafah. Masing-masing telah disediakan tenda sesuai negara dan wilayah regional masing-masing. Kami jama’ah tamu dari Indonesia ditempatkan satu tenda dengan Malaysia dan Philipina. Tenda-tenda yang cukup besar untuk menampung jamaah ini berada pada blok tersendiri. Di sini fasilitas untuk jama’ah sangat memadai, tersedia tenda yang berfungsi sebagai masjid, tenda ruang makan, restoran, klinik pengobatan, MCK serta fasilitas umum lainnya.
Selesai shalat jum’at, saat saat dimana wuquf di mulai, para jamaah mencari tempat masing-masing secara bebas untuk berzikir dan berdo’a menjelang terbenamnya matahari ; ada yang kembali ke tenda, ada yang mengambil tempat dipojok-pojok tenda, tetapi saya dan salah seorang teman dari Jawa Barat sengaja mengambil tempat di luar tenda, persisnya di tempat yang agak jauh dari tenda, Ini sengaja kami lakukan untuk sedikit merasakan panasnya suhu padang Arafah, meski tidak kena matahari langsung, namun cukup untuk sedikit menghayati padang Arafah dalam arti yang sesungguhnya. Do’a-do’a wuquf yang melantun di tengah suhu seperti ini terasa lebih menjiwai, karenanya kesempatan wuquf ini saya gunakan sebaik-baiknya untuk tidak saja mewiridkan zikir dan do’a seperti yang diajarkan Rasulullah, tetapi do’a-do’a dan segala ‘pengaduan’ atas segala hal yang telah berlaku dalam kehidupan saya dan semua keluarga saya, baik suka maupun duka yang telah kami alami selama ini, segala alpha dan kelemahan diri yang disesali. Terasa betapa ‘malu’ diri ini dihadapanNya atas semua itu, dan betapa kecilnya diri ini dan bahkan rasanya kurang pantas untuk berharap kehadiratNya, mengingat belum sempurnanya segala kewajiban tertunai sesuai syari’atNya, dan betapa terlalu banyak karunia dan kasih sayangnya yang telah dicurahkanNya kepada saya dan keluarga yang kadang tanpa kesyukuran yang berarti dari kami yang tak tahu diri…..betapa berdosanya diri ini kurasakan!. Konflik batin ini kurasakan tak ubahnya bagai pengadilan “mahsyar” atas diri saya sendiri. Tak sedikit air mata yang tercurah mengiringi “ratapan” dan do’a-do’a itu, hingga terleraikan oleh waktu ‘Ashar. Setelah shalatpun semua itu terulang kembali hingga saatnya kami bersiap-siap untuk diberangkatkan ke Mudzdalifah saat mata hari terbenam.
(baca lanjutannya..... klik di sini)
© Irhash A. Shamad
"Hadza Min Fadhli Rabby" : Pengalaman Haji Atas Undangan Raja Saudi Arabia 2014 (Bagian 4)
Written By Irhash A. Shamad on 15 Februari 2015 | 20.17
Jam 16.00 WSA sore, iring-iringan rombongan bus jama’ah tamu kerajaan sampai di ‘Arafah. Masing-masing telah disediakan tenda sesuai negara dan wilayah regional masing-masing. Kami jama’ah tamu dari Indonesia ditempatkan satu tenda dengan Malaysia dan Philipina. Tenda-tenda yang cukup besar untuk menampung jamaah ini berada pada blok tersendiri. Di sini fasilitas untuk jama’ah sangat memadai, tersedia tenda yang berfungsi sebagai masjid, tenda ruang makan, restoran, klinik pengobatan, MCK serta fasilitas umum lainnya.
Kenyamanan
lingkungan blok ini lebih dirasakan dengan adanya pohon-pohon pelindung serta
pekarangan yang seluruhnya ditutupi dengan karpet rumputan berwarna hijau,
meski dengan rerumputan artifisial, namun cukup menimbulkan kesan yang sejuk.
Suasana di dalam tenda juga tidak kurang kenyamanannya. Satu tenda besar yang ditempati
oleh l.k. 100 orang mungkin terkesan sumpek dan gerah, namun karena
masing-masing tenda juga dilengkapi dengan air conditioner (AC) yang cukup, sehingga
suasana didalamnya cukup sejuk. Semua tenda-tenda itu juga dilengkapi dengan
kasur dan selimut untuk setiap jama’ah tamu. Dengan demikian pelaksanaan ibadah
dan zikir jama’ah didalamnya dapat dilakukan dengan lebih khusyu’.
Demikian
juga MCK tersedia cukup banyak sehingga hampir tidak memerlukan waktu untuk antrian,
namun yang sedikit agak perlu menyesuaikan adalah air wudhu’ dan air mandi yang
tersedia cukup panas menurut ukuran biasa, sehingga setiap kali sehabis mandi dan wudhu’ tidak terasa segar. Makanan
serta minuman yang disediakan khusus untuk jamaah tamu ditempatkan pada satu
tenda khusus. Tidak ada kesan “darurat” dalam pelayanan makanan dan minuman, bahkan juga dalam penyajiannya. Semua itu
persis sama dengan pelayanan yang ada di hotel, termasuk variasi menu yang
disediakan, yang berbeda hanyalah tidak tersedianya kursi dan meja untuk makan.
Soal yang terakhir ini yang sedikit berkesan “darurat” ; para tamu dipersilakan
mencari sendiri tempat duduk, apakah di tenda masing, di taman-taman atau di
gang-gang antara tenda yang memang sudah dialasi karpet hijau, apalagi pula
terdapat banyak pohon pelindung.
Apa
yang dikemukakan tentu dapat dimaklumi. Bahkan menurut saya, pengalaman spritual
ibadah haji sepatutnya benar-benar menjadi ‘napak tilas’ pelaksanaan haji Rasulullah
SAW, paling tidak segala duka dan
kesulitan di masa itu dapat dihayati. Saat pikiran saya mencoba untuk membayangkan
realitas masa Rasulullah, rasanya apa yang kami alami dalam pelaksanaan haji kali
ini sudah terlalu “mewah”, bahkan terkadang hati kecil saya seperti merasa
tidak sempurna dan kurang afdhal saja pelaksanaan
ibadah haji ini, meski tetap berharap tidak akan kurang nilainya di mata Allah
SWT.
Kami jamaah tamu mendengarkan
khutbah Arafah pada Jum’at 03 Oktober di dalam tenda yang dikhususkan untuk
masjid. Khutbah Arafah hanya kami saksikan melalui layar monitor. Untuk setiap negara-negara
‘ajam (yang tidak berbahasa Arab) masing-masing dibantu oleh seorang interpreter yang bertugas
menterjemahkan isi khutbah kepada bahasa masing-masing. Lautan manusia yang
mendengarkan khutbah Arafah di lapangan hanya dapat disaksikan lewat monitor. Dalam
hati, saya rasanya mau protes kenapa
kami tidak diberi pengalaman menyatu dengan umat muslim yang banyak itu saat
ini? ; seyogianya di saat saat seperti inilah kami dapat merasakan “padang
mahsyar” dunia itu, karena saat ini semua jamaah haji dari seluruh dunia
berkumpul pada satu titik dan detik secara bersamaan….betapa indahnya. Namun
apa hendak dikata, semua kami tunduk pada aturan-aturan yang menjadi ketetapan
penyelenggara yang mengurus penyelenggaraan haji tamu Khadim Haramayn ini. Selesai shalat jum’at, saat saat dimana wuquf di mulai, para jamaah mencari tempat masing-masing secara bebas untuk berzikir dan berdo’a menjelang terbenamnya matahari ; ada yang kembali ke tenda, ada yang mengambil tempat dipojok-pojok tenda, tetapi saya dan salah seorang teman dari Jawa Barat sengaja mengambil tempat di luar tenda, persisnya di tempat yang agak jauh dari tenda, Ini sengaja kami lakukan untuk sedikit merasakan panasnya suhu padang Arafah, meski tidak kena matahari langsung, namun cukup untuk sedikit menghayati padang Arafah dalam arti yang sesungguhnya. Do’a-do’a wuquf yang melantun di tengah suhu seperti ini terasa lebih menjiwai, karenanya kesempatan wuquf ini saya gunakan sebaik-baiknya untuk tidak saja mewiridkan zikir dan do’a seperti yang diajarkan Rasulullah, tetapi do’a-do’a dan segala ‘pengaduan’ atas segala hal yang telah berlaku dalam kehidupan saya dan semua keluarga saya, baik suka maupun duka yang telah kami alami selama ini, segala alpha dan kelemahan diri yang disesali. Terasa betapa ‘malu’ diri ini dihadapanNya atas semua itu, dan betapa kecilnya diri ini dan bahkan rasanya kurang pantas untuk berharap kehadiratNya, mengingat belum sempurnanya segala kewajiban tertunai sesuai syari’atNya, dan betapa terlalu banyak karunia dan kasih sayangnya yang telah dicurahkanNya kepada saya dan keluarga yang kadang tanpa kesyukuran yang berarti dari kami yang tak tahu diri…..betapa berdosanya diri ini kurasakan!. Konflik batin ini kurasakan tak ubahnya bagai pengadilan “mahsyar” atas diri saya sendiri. Tak sedikit air mata yang tercurah mengiringi “ratapan” dan do’a-do’a itu, hingga terleraikan oleh waktu ‘Ashar. Setelah shalatpun semua itu terulang kembali hingga saatnya kami bersiap-siap untuk diberangkatkan ke Mudzdalifah saat mata hari terbenam.
Kami
berangkat ke Mudzdalifah pada saat menjelang maghrib dengan manaiki bus-bus
tamu kerajaan yang memang telah standby di luar area sesuai dengan nomor
bus yang ditentukan sedari awal. Membayangkan caravan onta Rasulullah
dulu, bus-bus kamipun bergerak ke Mudzdalifah di tengah keramaian umat dengan
berbagai macam jenis kendaraan, bahkan ada diantaranya yang berjalan kaki,
sesekali saya berfikir alangkah lebih afdhalnya ibadah mereka yang benar-benar
merasakan perjalanan malam ke Mudzdalifah tanpa menggunakan kendaraan itu.
Jarak antara Arafah dan Mudzdalifah
tidaklah begitu jauh, namun masa tempuhnya begitu lama, karena bus kami tidak
bisa bergerak cepat akibat ramainya lalu lintas pada waktu ini. Lebih kurang jam 10.00 WSA malam, kami sampai
di Mudzdalifah. Bus-bus jamaah tamu yang seragam ini berjejer disepanjang jalan
Jawhara. Kami semua turun untuk mabit dengan terlebih dahulu shalat
Maghrib dan Isya’ yang dijama’ serta memungut kerikil-kerikil yang akan
digunakan nanti di jamarat. Begitu bus-bus kami berhenti, panitia langsung membentangkan
beberapa permadani di jalanan diantara bus-bus tersebut, agar para jamaah dapat
melaksanakan shalat, berzikir dan berdoa selama mabit, dan menunggu saat-saat perjalanan
dilanjutkan ke Mina menjelang Shubuh............(baca lanjutannya..... klik di sini)
© Irhash A. Shamad
22.29
Hari-hari selanjutnya di Makarim Ummul Qura menjelang pelaksanaan wuquf terasa begitu melambat kami rasakan karena ketidaksabaran kami untuk segera melaksanakan ibadah haji (wuquf di ‘Arafah). Apalagi pelaksanaan wuquf tahun ini bertepatan pada hari Jum’at, yang menurut sementara pendapat disebut sebagai Haji Akbar. Suatu kesempatan berhaji yang sangat langka untuk didapatkan, bahkan menurut sebagian ulama Haji Akbar dianggap sebagai yang memiliki beberapa keutamaan.
"Hadza Min Fadhli Rabby" : Pengalaman Haji Atas Undangan Raja Saudi Arabia 2014 (Bagian 3)
Written By Irhash A. Shamad on 13 Februari 2015 | 22.29
Hari-hari menjelang wukuf (Haji), hanya diisi dengan kegiatan ibadah
malam di Masjidil Haram, karena waktu-waktu siangnya kami lebih memilih berada di hotel, karena suhu pada waktu siang sangat begitu
menyengat. Untuk ibadah malam ini memang diatur sendiri-sendiri, kadang saya
berangkat sebelum Maghrib dan pulang setelah Isya untuk makan malam dan kembali
lagi jam 03.00 hingga Shubuh, dan tak jarang juga ke Masjidil Haram sebelum
Isya dan pulangnya pagi. Tidak ada pengaturan oleh panitia menyangkut ibadah, kecuali
transportasi yang selalu tersedia, juga hidangan makan, snack malam serta
buah-buahan yang selalu ada. Bagi saya, pelayanan jamaah tamu ini dirasakan
sangat luar biasa, karena benar-benar memberi kemudahan dan sangat
menyenangkan. Suatu hal yang sangat berkesan pula adalah pada saat setiap
keluar dan masuk hotel selalu disambut dengan tuangan air zamzam dan hidangan
kurma oleh petugas yang khusus untuk itu. Namun ada satu hal yang selalu harus
kami ingat setiap akan keluar hotel, yaitu memakai ID Card Haji Undangan Khadim
Haramayn yang telah diberikan kepada kami sewaktu tiba di Makkah. ID Card itu harus
selalu terpasang di dada. Kalau suatu saat kelupaan dan tidak bisa menunjukkan
kepada petugas, maka kami akan kesulitan untuk masuk ke hotel. Petugas security
sangat ketat dan tegas pada tamu-tamu yang tidak memiliki ID Card, namun juga
sangat ramah untuk ukuran petugas security, mereka bahkan juga tak segan-segan
melayani dan membantu pada saat tamu memerlukannya, meskipun itu bukan tugas
mereka.
Demikianlah hari-hari di hotel Makarim. Sesekali bercengkrama
dengan petugas, dengan tamu yang berbeda negara, begitu juga dengan panitia, sungguh
mengasyikkan juga, meski dengan bahasa yang pas-pasan. Suatu hal yang saya
sukar melupakan ialah dengan intensifnya interaksi para tamu seperti
digambarkan itu, terbentuk pula suatu “komunitas” khusus secara spontan tanpa
ada yang mensponsorinya. Meskipun “komunitas” ini didasari oleh kesamaan hobby
(yang sebenarnya tidak patut untuk dibanggakan). “Komunitas” ini terdiri dari
para “professional” dari berbagai belahan dunia, yang berkumpul secara spontan
tanpa diundang hadir pada suatu tempat khusus di sekitar hotel Makarim, apalagi
saat-saat selesai makan. Saking intensifnya pertemuan ini, muncul pula
“gagasan” segar oleh sebagian anggota untuk menamai pertemuan rutin ini dengan
“International Congres of Moslem Smokers”, yang anggotanya adalah
orang-orang “khusus” (mungkin tepatnya : “orang berkeperluan khusus”), yang
tidak saja terdiri dari sebagian jamaah calon haji tamu dari berbagai negara
itu, akan tetapi juga dari panitia dan petugas hotel sendiri (just kidding
lho!….tp itu berkesan juga), dan yang pasti, tidak ada suatu keputusan apapun
yang dihasilkan dalam “kongres” icak-icak tersebut.
Hari-hari selanjutnya di Makarim Ummul Qura menjelang pelaksanaan wuquf terasa begitu melambat kami rasakan karena ketidaksabaran kami untuk segera melaksanakan ibadah haji (wuquf di ‘Arafah). Apalagi pelaksanaan wuquf tahun ini bertepatan pada hari Jum’at, yang menurut sementara pendapat disebut sebagai Haji Akbar. Suatu kesempatan berhaji yang sangat langka untuk didapatkan, bahkan menurut sebagian ulama Haji Akbar dianggap sebagai yang memiliki beberapa keutamaan.
Meskipun
tidak diberitahukan sebelumnya melalui jadwal, namun panitia ternyata sudah
mempersiapkan beberapa agenda ziarah ke tempat-tempat tertentu untuk mengisi
kekosongan kegiatan pada waktu siang. Perjalanan ziarah pertama dilaksanakan
pada hari Senin tanggal 29 September (4 Dzulhijjah 1435 H) diawali dengan
kunjungan ke Museum Haramayn “Ri`asah al-‘Aamah li Syu`uni al Masjidi
al-Haram wa al-Masjid an-Nabawy”, sebuah lembaga yang menangani hal-hal
yang menyangkut urusan pengembangan Masjidil Haram dan Masjid Nabawy. Di
Lembaga ini juga terdapat museum Haramayn dimana kita bisa menyaksikan semua
alat dan kelengkapan yang pernah digunakan di kedua masjidil haram tersebut, seperti : pintu
Ka’bah yg digunakan sejak awal berikut kiswahnya, kerangka sumur Zamzam,
kerangka Maqam Ibrahim, mimbar Masjid
Nabawy, maket pengembangan kedua masjid tersebut, serta peninggalan-peninggalan
lainnya. Di bagian lain dapat pula disaksikan proses pengerjaan kiswah (kain
penutup) Ka’bah, mulai perancangan kaligrafi hingga penyulaman kiswah tersebut
oleh tenaga-tenaga sangat profesional dan yang khusus ditugaskan untuk itu.
Esoknya
Selasa 30 September kami dibawa mengunjungi Museum “Assalamu’alaika Ayyuhan
Nabiy” sebuah museum yang baru diresmikan setahun yang lalu. Museum ini
disamping memuat segala hal yang menyangkut kehidupan pribadi Rasulullah SAW
sejak kelahiran hingga wafatnya, benda-benda peninggalan properti Rasulullah,
dan replika situs Beliau bersama keluarga dan para shahabat serta berbagai
catatan yang komplit tentang kehidupan keseharian Rasulullah SAW. Itu semua
dilengkapi dengan tayangan apik teknologi multimedia yang terbilang mutaakhir.
Sehingga dari pintu masuk hingga ke pintu keluar, para pengunjung seperti
diajak berwisata menelusuri kehidupan Rasulullah SAW, bahkan kita seperti
merasakan kehadiran Rasul sendiri. Dari informasi yang disampaikan konon
dihabiskan waktu l.k. 10 tahun pengolahan museum canggih seperti ini dengan
melibatkan para pakar, ulama dan para muhadditsin dan dilanjutkan dengan
perancangan dan pengolahan display data dan deorama oleh pakar-pakar
multimedia. Bahkan semua arsip pengerjaan, yang terdiri dari catatan-catatan,
manuskrip, dan semua fasilitas yang digunakan seperti pena, lem, tinta, pisau
dan sebagainya yang digunakan untuk pengolahan data museum ini disimpan secara
rapi dan dipajang pada step akhir “perjalanan wisata” yang dipamerkan pada
museum ini….sangat menakjubkan!, wa hadza min fadhli Rabby.
Masih
di hari-hari menunggu wukuf ‘Arafah yang waktu-waktu terasa melambat dengan
ketiadaan kegiatan ziarah. Panitia sengaja mengosongkan kegiatan untuk memberi
kesempatan kepada semua tamu supaya dapat dimanfaatkan untuk persiapan fisik.
Tidak ada kegiatan keluar pada diwaktu siang, kecuali shalat Zhuhur dan ‘Ashar
di Mushalla hotel Makarim diselingi beberapa kegiatan tadarrusan dan ceramah
ringan oleh para ustaz yang sudah dipersiapkan, sedangkan pada malamnya ke
Masjidil Haram seperti malam-malam sebelumnya yang diatur secara bebas oleh
masing-masing tamu.
Pagi Kamis 2 Oktober semua tamu bersiap-siap untuk berangkat
ke ‘Arafah untuk pelaksanaan Haji. Saya dan semua tamu lainnyapun mengemas
barang-barang untuk persiapan keberangkatan ke ‘Arafah. Agar pelaksanaan ibadah
haji nantinya tidak terganggu dengan barang bawaan yang banyak, maka untuk para
tamu sudah dipersiapkan sebuah tas tentengan khusus yang seragam dan tidak
terlalu besar untuk mengemas keperluan di Arafah hingga Mina nantinya. Kamipun
hanya membawa pakaian seperlunya serta beberapa keperluan mandi yang memang
sudah disediakan oleh panitia bersama tas tentengan itu. Selain itu, menjelang
keberangkatan ke ‘Arafah panitia melengkapi semua jama’ah tamu masing-masing
sebuah handphone Nokia Asha 505 touchscreen lengkap dengan simcard Saudi yang
sudah terisi pulsa 50 real (lk. Rp.150.000).
Fasilitas yang disebut terakhir ini sudah tentu bertujuan untuk memudahkan
komunikasi antar jamaah tamu dan panitia saat pelaksanaan ibadah haji ‘Arafah
nantinya. Meskipun semua jam’ah membawa handphone, namun bagi jamaah, gadget
ini tentu memiliki kenangan tersendiri serta dapat dimanfaatkan untuk berbagai
komunikasi lainnya dalam jangka panjang, bahkan saat kembali ke tanah air
nantinya…alhamdulillah.
Setelah
semua persiapan ke ‘Arafah selesai, maka ba’da Zhuhur saya dan jamaah tamu
lainnya sudah memakai pakaian ihram untuk pelaksanaa ibadah haji. Kami menunggu
keberangkatan di lobby hotel, sementara sebagian yang lain sudah ada yang mulai
mengatur bagasi. Agaknya antrian menaiki
buspun diatur sedemikian rupa sesuai dengan negara asal masing-masing.
Setidaknya
ada 26 buah bus jama’ah tamu kerajaan yang berangkat dari Hotel Makarim secara
bersamaan menuju ‘Arafah. Masing-masing tamu ditentukan nomor bus masing-masing
yang tidak boleh bertukar-tukar selama pelaksanaan haji ‘Arafah hingga Mina.
Untuk itu ID Card masing-masing ditempeli nomor bus yang akan digunakan agar
tidak terjadi kekeliruan menaiki bus, karena karoseri dan warnanya semua memang
sama...... (baca lanjutannya..... klik di sini)
© Irhash A. Shamad
© Irhash A. Shamad
01.27
"Hadza Min Fadhli Rabby" : Pengalaman Haji Atas Undangan Raja Saudi Arabia 2014 (Bagian 2)
Written By Irhash A. Shamad on 11 Februari 2015 | 01.27
Tepat jam 07.00 WSA
(atau jam 11.00 pada jam saya) pesawat SaudiAirline yang membawa kamipun mendarat di King Abdul Aziz Airport Jeddah,
para jamaah undangan ini langsung disambut oleh panitia yang sepertinya sudah
disiapkan khusus. Setelah menyelesaikan urusan imigrasi Bandara yang secara kolektif
juga dibantu oleh panitia, para jamaah undangan diminta untuk mengumpulkan
passport masing-masing dan menyerahkan kepada panitia penyambutan. Setelah itu
kami dibawa menuju tempat makan malam di sebuah restoran Bandara KAA. Di sini,
kami mulai merasakan betapa protein dalam sajian ala Saudi adalah sesuatu yang
sangat penting, sepiring nasi (pulen dengan minyak samin tentunya) dengan lauk
sepotong ayam yang ukurannya sangat luar biasa untuk ukuran Indonesia, serta
sayur mayur dan buah juga minuman kaleng tersaji untuk kami. Betapapun protein
dengan ukuran luar biasa itu, namun karena aroma dan rasa yang mendekati ayam
bakar Indonesia telah ‘memaksa’ saya menghabiskan potongan ayam itu tanpa nasi,
karena nasi pulen dengan minyak samin yang belum terbiasa di lidahku.
Setelah
hidangan makan malam itu kamipun bergerak keluar terminal kedatangan. Beberapa
bis khusus tamu kerajaan telah pula dipersiapkan di terminal kedatangan bandara
KAA untuk membawa kami menuju Makkah al-Mukarramah. Perjalanan darat dari
Jeddah ke Makkah seharusnya ditempuh l.k. 1 jam 20 menit menjadi sedikit
terlambat, karena ketatnya pemeriksaan menjelang masuk Kota Makkah. Meskipun
bis yang digunakan serta penumpang yang ada didalamnya adalah tamu kerajaan,
namun agaknya prosedur pemeriksaan tetap dilaksanakan seperti peziarah-peziarah
lainnya di musim haji. Alhamdulillah jam 10.00 WSA saya bersama rombongan calon
haji undangan Kerajaan akhirnya sampai di hotel Makarim Umm al-Qura yang memang
sudah dipersiapkan untuk penginapan para calon haji tamu kerajaan selama di
Makkah. Di lobby hotel kepada kami masing-masing
dibagikan ID Card khusus Haji tamu Raja Abdullah bin Abdul Aziz. Saya yang
semula heran kenapa passport harus di kumpulkan dan dipegang oleh panitia penyambutan,
saat inipun terjawab. Ternyata ID Card itulah yang menggantikan posisi passport,
sekaligus sebagai jaminan pelayanan yang akan diberikan untuk kami selama
berada di tanah suci.
Masih
dalam pakaian ihram, saya dan jamaah undangan lainnya ke hotel hanya sekedar
untuk memastikan kamar dan menaruh barang-barang bawaan, karena saat ini, meski
sudah malam, keinginan untuk segera thawaf dan sa’i umrah malam ini juga ke
Baitullah makin kuat. Walaupun saat ini terasa bahwa istirahat fisik sangat diperlukan
menurut ukuran perjalanan yang telah ditempuh, namun saya dan beberapa orang
lainnya seperti tidak sabar untuk segera ke Masjidil Haram. Ketidaksabaran itu
telah melupakan rasa lelah dan mengantuk yg semula sangat dirasakan. Jarak
hotel dengan Masjidil Haram kira-kira 1,5 km, dan itu sangat mungkin dilakukan
dengan berjalan kaki saja, karena dugaan kami, panitia tentu belum menyediakan
alat transportasi. Namun, rencana kepergian ini kemudian diketahui oleh pihak
hotel, dan tanpa ha-hu (maksudnya konfirmasi sana-sini), mereka segera
menyiapkan mobil hotel untuk kami yang akan ke Masjidil Haram. Petugas hotel bahkan
menjelaskan, bahwa pihaknya telah menyiapkan beberapa mobil yang dapat
digunakan oleh para tamu setiap saat kapan saja akan pergi dan pulang dari
Masjidil Haram selama 24 jam, alhamdulillahi Rabb al-alamiin….haza min
fadhly Rabby!
Menjelang
tengah malam, kami memasuki masjidil haram yang sudah sangat penuh sesak oleh muthawwif.
Kami semula berusaha untuk berkelompok lebih kurang 7 orang, namun di
pusaran tempat thawaf, kelompok ini jadi terpisah satu persatu, akhirmya aku
dan seorang teman dari Manado yang bertahan dapat bersama hingga putaran ke
tujuh. Di setiap putaran kami berusaha untuk mendekati Ka’batullah agar, paling
tidak, dapat mencium hajar aswad, namun hingga putaran ke tujuh hal itu tidak
kunjung terjangkau akibat padatnya pusaran muthawwif.
Semenjak
memasuki area Masjidil Haram hingga thawaf putaran ketujuh, energi saya terasa
seperti dicharge. Biasanya dalam kondisi seperti ini, apalagi setelah
menempuh perjalanan panjang, tanpa istirahat, akan terjadi penurunan energi
yang luar biasa, namun begitu memasuki Masjidil Haram dan menyaksikan Ka’batullah,
semua kelelahan itu tidak saya rasakan sama sekali, chemistry Baitullah
seperti memberi energi tambahan dengan sangat luar biasa. Selasai thawaf saya
segera mencari posisi untuk shalat sunat di tempat yang paling dekat dengan
maqam Ibrahim, namun padatnya orang yang thawaf, terpaksa shalat sunat hanya
bisa dilaksanakan di pelataran terluar tempat thawaf.
Di
sujud terakhir shalat sunat inilah saya merasakan sesuatu yang sangat aneh pada
diri saya. Memori saya seperti berputar kencang untuk menampilkan berbagai
episode kehidupan pribadi saya, meski saat sujud hal itu saya biarkan berlalu,
namun setelah duduk tahiyat akhir kurasakan banjir airmata yang tercurah begitu
saja di pipiku…sungguh sangat tidak biasa!..entah berapa lama saya sujud tadi juga
hampir saya tidak bisa mengingatnya, lalu kenapa begitu banyak airmata yang
tercurah ketika saya sudah duduk kembali? wallahu a’lam.
Tanpa jeda setelah do’a-do’a di
hadapan maqam Ibrahim, sayapun segera menuju mas’a (tempat sa’i) di bukit
Shafa dan bukit Marwa. Meski tidak mudah berjalan diantara kerumunan orang-orang,
apalagi di dekat Shafa, namun semangat untuk menyelesaikan ‘umrah tetap tinggi,
pada hal sudah hampir jam 02.00 dinihari. Keringat pun terasa membasahi badan
meski blower tempat sa’i tak henti menghembuskan hawa dingin, tapi energi ini,
yang seharusnya sudah melorot, terasa tidak berkurang dan terus menggebu
menyelesaikan sa’i hingga step ke tujuh, dan sa’ipun dapat
diselesaikan menjelang jam 03.00 dinihari.
Selesai
sa’i seharusnya setiap jama’ah ‘umrah menyembelih hewan sebagai hadyu
untuk bisa tahallul, namun saya dan jamaah undangan lainnya agaknya
tidak perlu memikirkan itu, karena sebelum keberangkatan sudah diberi tahu
bahwa hewan sembelihan untuk hadyu akan dibayarkan oleh Raja. Dengan
demikian selesai pelaksanaan sa’i ‘umrah saya dan jama’ah undangan lainnya
dapat secara langsung tahallul tanpa harus memikirkan hadyu….. haza
min fadhly Rabby!.
Setelah
mengerjakan sa’i, saya seharusnya segera melakukan tahallul untuk bisa
melepas pakaian ihram, namun saya tidak mempersiapkan gunting untuk
melakukannya sendiri, karena itu, saya berusaha mencari-cari kalau ada jama’ah lain
yang sedang tahallul. Sambil berjalan diantara kerumunan orang-orang di lorong
keluar mas’a, saya berharap ada diantara jama’ah yang bisa dimintai
tolong, akan tetapi hingga sampai ke pelataran luar masjidil haram saya tidak
menemukannya. Akhirnya dengan berjalan di sela-sela arus keramaian jama’ah yang
hendak shalat shubuh, saya mencoba berjalan lebih keluar pelataran untuk bertahallul,
namun tetap sia-sia. Tanpa terfikir bahwa waktu shubuh sudah dekat, sayapun memutuskan kembali ke hotel untuk bisa tahallul.
Dengan dibantu oleh salah seorang staf hotel akhirnya tahallulpun
dapat dilaksanakan, artinya ibadah ‘umrah pun selesai. Namun untuk melaksanakan
shalat shubuh di Masjidil Haram sudah tidak memungkinkan karena seiring tahallul,
azan shubuhpun sudah berkumandang, dan akhirnya saya shalat shubuh bersama di
hotel setelah mengganti pakaian ihram dengan pakaian biasa.
Pagi
Jum’at 26 September, saat berbaring untuk istirahat di kamar hotel pagi ini,
masih muncul keinginan untuk segera ke Masjidil Haram lagi, tanpa menyadari
bahwa sejak malam saya belum tidur semenitpun sejak keberangkatan dari
Indonesia dan bahkan sampai di Mekkahpun langsung mengerjakan ‘umrah, padahal hari
ini adalah hari Jum’at, dimana pada jam 10.00 juga akan ke Masjidil Haram untuk
shalat jum’at, entah kenapa keinginan itu besar sekali. Namun setelah menyadari
itu, saya paksakan untuk bisa tertidur barang sejam atau dua jam saja. Akhirnya sayapun terbangun jam 10.00 dan setelah
mendapatkan istirahat lebih dua jam, saya segera mempersiapkan diri berangkat
ke masjidil haram untuk melaksanakan shalat jum’at.
Semula
saya memperkirakan bahwa pada jam ini tentu Masjidil Haram masih belum ramai,
jadi bisa mengambil tempat lebih dekat ke Ka’batullah. Namun kenyataannya tidak
sesuai dengan perkiraan. Jama’ah shalat jum’at sudah melimpah ke luar dari pelataran
luar Masjidil Haram, bahkan untuk mencapai pelataran luar saja saya tidak
sanggup karena padatnya jama’ah. Akhirnya terpaksa memutuskan untuk shalat di pinggiran jalan
masuk pelataran luar, dan itupun sudah sangat berdesak-desakan di tengah
teriknya matahari dan suhu yang sangat tinggi (l.k.44 °C), namun saya maupun
jamaah lainnya hampir-hampir tidak menghiraukannya.
Hari ini tamu hotel Makarim
Ummul Qura makin bertambah dengan datangnya rombongan tamu dari negara-negara
lain yang satu persatu check in di hotel ini. Mereka semua adalah calon haji
undangan Kerajaan yang sama dengan kami. Di sore hari kedua ini, tidak banyak
kegiatan yang dilakukan, kecuali berusaha berinteraksi dengan saudara-saudara
muslim kita itu. Sama seperti kami yang datang dari Indonesia, mereka terdiri
dari berbagai professi, ada yang akademisi, lawyer, dokter, ulama, guru, dan
penggiat-penggiat keislaman lainnya di negara masing. Interaksi dengan mereka berlangsung
lancar apalagi bila menyangkut masalah Islam atau masyarakat muslim di negara
masing-masing. Bagi saya, yang dengan kemampuan bahasa asing (Arab/Inggris)
pas-pasan dan tidak aktif, dan dengan sedikit terbata-bata, namun ini
kesempatan ini sangat berharga untuk melatih bicara bahasa Arab dan Inggris
secara aktif. Semula sangat canggung saya rasakan karena menduga para tamu ini
fasih berbahasa Inggris atau Arab, namun setelah komunikasi berjalan, ternyata
hampir semua juga seperti saya, mereka hanya memiliki kemampuan bahasa asing yang
pasif, kecuali mereka dari negara-negara yang berbahasa Arab atau Inggris ....(baca lanjutannya...klik di sini)
© Irhash A. Shamad
© Irhash A. Shamad
23.58
"Hadza Min Fadhli Rabby" : Pengalaman Haji Atas Undangan Raja Saudi Arabia 2014 (Bagian 1)
Written By Irhash A. Shamad on 09 Februari 2015 | 23.58
Bagi
saya dan keluarga, keinginan untuk menunaikan ibadah haji sejak beberapa tahun
terakhir sudah menjadi impian yang begitu
kuat namun masih saja terasa mengawang. Meskipun sudah ada niat untuk mendaftar
haji reguler pada tahun 2014 ini, namun masa tunggu yang begitu panjang (l.k.
12 tahun) membuat kami kembali mempertimbangkan untuk mendapatkan program yang
lebih singkat, dan satu-satunyanya cara adalah mendaftar ONH Plus. Akan tetapi dengan
menimbang situasi finansial kami sekarang, rasanya itupun juga terasa berat untuk saat ini. Selama dua
tahun terakhir ini banyak beban finansial yang harus ditunaikan, serta berbagai
masalah internal keluarga yang muncul tahun ini tercatat begitu menyita
pemikiran pula. Akan tetapi, justru hal itu pulalah yang membuat kami semakin
memerlukan wahana untuk lebih bertaqarrub kepada Sang Khaliq, dan tentu,
menunaikan ibadah haji adalah salah satu ibadah wajib yang paling tepat untuk
tujuan taqarrub itu.
Beberapa
hari sebelum Ramadhan 2014, secara kebetulan dan (pastinya) atas kehendak Allah
SWT, salah seorang sahabat alumni
Jami’ah Umm Quro Makkah, tiba-tiba meminta saya mempersiapkan dokumen berupa fotocopy
paspor dan Curiculum Vitae (CV) untuk Kedutaan
Saudi Arabia di Jakarta. Menurutnya, dukumen itu untuk melengkapi administrasi
calon jemaah haji dan pembuatan visa untuk pemberangkatan haji 2014 atas
undangan Raja Abdullah bin Abdul Aziz Al Saud. Subhanallah!,...meski
setengah percaya terhadap apa yang disampaikan, saya tetap mempersiapkan
dokumen-dokumen tersebut.
Beberapa
waktupun berlalu ; hingga akhir Ramadhan, Syawal, bahkan hingga awal Zulqai’dah,
info tentang kemungkinan berangkat haji itu seperti hilang begitu saja. Masih
saja belum ada kabar apa-apa tentang kelanjutannya, bahkan, saya hampir
memastikan, bahwa itu hanyalah harapan kosong yang mungkin belum perlu masuk
ruang agenda saya tahun ini, dan karena itu pula saya sengaja tidak memberitahu
siapa-siapa, termasuk anggota keluarga sendiri.
Pada
minggu pertama Zulqa’idah saya mendapat pesan (sms) yang meminta agar saya mengirimkan
Passport asli dan Kartu Kuning (vaksin mininginitis) ke Kedutaan Besar Saudi
Arabia melalui Atase Keagamaan di Jakarta. Dengan pesan ini, keyakinan sayapun
mulai sedikit menguat menjadi 75 persen, namun saya juga masih belum berani
untuk memberitahu keluarga besar, karena menurut informasi yang saya dapat,
bahwa itu juga belum dapat menjadi alasan bahwa saya pasti akan diberangkatkan,
meskipun hati kecil ini tetap berharap bisa melaksanakan ibadah haji dengan
undangan Raja Saudi ini. Untuk Itulah, diam-diam saya mempersiapkan diri dengan
manasik privat, perlengkapan ihram serta perlengkapan lainnya yang diperlukan untuk
di tanah suci nantinya.
Pada
tanggal 25 Zulqa’idah (20 September 2014) atau tidak sampai dua minggu sebelum
pelaksanaan haji ‘Arafah, barulah saya mendapat telepon langsung dari
salah seorang pejabat Atase Keagamaan
Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta yang memberitahukan bahwa saya bersama
tamu-tamu kerajaan lainnya akan diberangkatkan dari Jakarta tanggal 25
September 2014 untuk menunaikan ibadah Haji di Mekkah tahun ini (1435 H.). Diinformasikan
juga bahwa pelepasan jamaah calon haji undangan khusus Raja ini akan
dilaksanakan di rumah kediaman Duta Besar Saudi Arabia (jalan Teuku Umar
Jakarta Pusat), pada Kamis 25 September jam 07.00 pagi, dan semua undangan diharapkan
telah membawa serta semua perlengkapan pribadi seperlunya untuk perjalanan haji,
segala puji bagi Allah Rabb al-‘alamiin…haza min fadhly Rabby!. Dengan telepon terakhir ini sontak
keyakinan saya meningkat menjadi 95 persen. Artinya masih saja tersisa 5 persen
untuk kemungkinan gagal, karena hingga detik itu saya belum memiliki pegangan
tertulis apapun yang menyatakan bahwa pihak kedutaan memang akan
memberangkatkan saya, kecuali pemberitahuan lisan dari pihak Atase Keagamaan
yang orangnya secara pribadi bahkan belum saya kenal sama sekali (Bapak
Noorman).
Dengan
pemberitahuan ini, dan bagaimanapun rasa kekurangyakinan saya itu masih
tersisa, namun saya harus segera bersiap-siap untuk berangkat ke Jakarta,
paling lambat tanggal 24 September sore, dan saya segera mempersiapkan diri
sebaik-baik mungkin untuk itu, meski waktu sangat sempit untuk mempersiapkan
sebuah perjalanan spritual yang sangat bersejarah dalam hidup saya. Saya
sengaja membooking hotel yang lebih dekat dengan rumah kediaman Duta Besar
Saudi di jalan Teuku Umar Jakarta untuk
satu malam agar tidak terlambat untuk pagi-pagi sekali berada di sana dengan
semua persiapan keberangkatan ke tanah suci.
Berbekal
pemberitahuan lewat telepon itu, maka tanggal 24 September 2014 saya berangkat
ke Jakarta dengan tanpa ragu sambil mempersiapkan mental untuk kemungkinan
gagal berangkat haji. Oleh karenanya, suasana keberangkatan ini sengaja tidak
dibuat istimewa dan monumental seperti layaknya orang-orang pergi berangkat
Haji, apalagi pula tanpa diawali dengan walimatus
safar dalam rangka syukuran atau
apalah namanya. Saya ke bandara dengan
hanya diantar oleh keluarga kecil, istri, mantu, cucu, dan salah seorang adik ipar,
keberangkatan yang tidak lebih dari keberangkatan yang sangat biasa. Meskipun
sebelumnya semua keluarga inti saya ; istri, orang tua, anak-anak, mantu dan
saudara-saudara yang lain sudah diberitahu tentang hal ini, namun hanya sebatas
pengetahuan tentang kemungkinan, belum sebuah kepastian. Hal itu ternyata tak
mengurangi antusiasme mereka untuk memberikan support dengan cara mereka
masing-masing, meski saat keberangkatan ini, anak-anak saya tidak dapat ikut
mengantarkan, namun terasa ada nuansa keharuan tersendiri dengan keadaan yang
tidak lazim seperti ini.
Tepat jam 07.00 pagi tanggal 25 September 2014 saya sudah
berada di depan rumah Duta Besar Saudi Arabia. Pagi ini sudah ada beberapa
orang calon undangan lain yang datang dari berbagai daerah. Di pintu pagar
sudah ada kesibukan para petugas dan para tamu yang sedang menelusuri sebuah
daftar dan mencari nama masing-masing untuk memastikan bahwa mereka terdaftar.
Ada kekhawatiran di hati ini, jangan-jangan justru nama saya tidak tercantum di
daftar itu, sebagaimana juga kekhawatiran yang dirasakan oleh tamu-tamu yang
lainnya. Kekhawatiran ini lebih-lebih dirasakan oleh tamu-tamu yang
‘keberangkatan’ mereka saat ini diantar oleh sanak keluarga. Tidak bisa
dibayangkan, kalau saja mereka tidak jadi diberangkatkan. Namun, sekali lagi alhamdulillah,
nama saya memang ada didaftar itu. Ini artinya, saya akan berangkat ke tanah
suci untuk menunaikan ibadah haji atas undangan Raja Arab Saudi, alhamdulillahi
Rabb al-‘aalamiin, haza min fadhli Rabby!. Satu persatu tamu yang terdaftar diberikan ID
Card dan dipersilakan memasuki halaman Duta Besar, untuk kemudian masuk ke
dalam rumah. Meskipun saya dan para tamu lainnya tidak saling kenal pada
awalnya, namun pagi ini serasa mendadak muncul keakraban tersendiri. Selesai
temu ramah, upacara pelepasan calon haji undangan Raja Arab Saudi inipun
dimulai dengan sambutan oleh Bapak Dr. Ibrahim Al Nughaimsy (Atase Agama
Kedutaan Arab Saudi) dilanjutkan dengan pelepasan secara resmi oleh Duta Besar
Arab Saudi Bapak Syekh Musthafa Ibrahim Al-Mubarak. Acara, yang tentu saja
dilengkapi dengan jamuan ala Arab Saudi, ini kemudian diakhiri dengan
penyerahan pakaian ihram yang telah disediakan secara cuma-cuma untuk
masing-masing tamu undangan yang akan diberangkatkan.
Pada
jam 10.30 acarapun selesai, dan kami berangkat menuju bis yang akan membawa
kami menuju Bandara Soekarno-Hatta, sementara bagasi bawaan sudah terlebih
dahulu diurus oleh panitia dengan menggunakan mobil box tersendiri. Ada
kelegaan yang saya rasakan selama di perjalanan menuju Bandara. Semua keragu-raguan
akan kemungkinan tidak jadi berangkat menjadi sirna, yang ada hanyalah
kesyukuran dan kesyukuran atas semua karunia yang telah ditentukan Allah SWT
ini. Semogalah perjalanan ini diredhaiNya dan senantiasa diberi kekuatan dan
kesehatan hingga dapat menjalankan semua syarat dan rukun haji sesuai dengan
tuntunan Rasulullah SAW. dan kembali ke tanah air dengan selamat.
Di
terminal 2B Bandara Soekarno Hatta, panitia pemberangkatan membagikan tiket
masing-masing dan mengembalikan Passport asli beserta Kartu Kuning yang
beberapa waktu yang lalu dikirimkan. Kami mengira setelah passport
dikembalikan, semua urusan keberangkatan seperti bagasi, imigrasi, airport tax
dan lain-lain, selanjutnya akan diurus oleh masing-masing, namun ternyata semua
itu juga sudah diuruskan oleh panitia yang ditunjuk, kami dengan tentengan
tangan masing-masing langsung menuju imigrasi tanpa terlebih dahulu harus check
in di kounter untuk kemudian masuk ke ruang tunggu.
Pada
jam 13.05 semua jamaah undangan khusus Kerajaan ini berangkat ke Jeddah dengan
menggunakan maskapai penerbangan SaudiAirlines. Sebelum tinggal landas, kepada
kami diberitahukan bahwa pesawat akan langsung menuju Jeddah dan akan menempuh
perjalanan selama 10 jam tanpa transit. Daerah miqat akan dilewati di
atas pesawat, karenanya, kepada kami diharuskan menyiapkan pakaian ihram yg
sudah disediakan untuk dipakai di atas pesawat beberapa menit sebelum mendarat
di Jeddah, tepatnya di atas wilayah Qarnul manazil (Yalamlam).
Sekitar l.k. jam 10 malam pada jam saya (atau jam 06.00 sore WSA), kami jamaah
penumpang SaudiAirline diberitahu lewat monitor masing-masing agar bersiap-siap
mengganti pakaian dengan pakaian ihram, karena beberapa menit lagi pesawat akan
memasuki wilayah miqat. Saya dan semua jamaah penumpang bersegera
memakai pakaian ihram. Berhubung mushalla di atas pesawat luasnya terbatas,
begitu juga tempat wudhu’, maka pergantian pakaian ini dilakukan secara
bergantian.
Setelah semua selesai mengganti
pakaian, kemudian masing-masing melafazhkan niat ‘umrah (labbaika allahumma
‘umratan), dan segera setelah itu berkumandanglah talbiyah di dalam kabin
pesawat. Seiring lantunan talbiyah yang kian terasa sendu, hatikupun
terasa luruh, membayangkan karunia Allah yang saat ini aku terima, hingga
akhirnya aku dapat mengunjungi Baitullah tahun ini untuk menunaikan rukun Islam
yang kelima, tanpa harus menunggu beberapa tahun …. aku penuhi panggilanMU
ya Allah, aku penuhi panggilanMU…. terasa begitu bergetar karena panggilan itu
benar-benar saya rasakan dalam anugerah undangan khusus ini......... (baca lanjutannya.... klik di sini)
© Irhash A. Shamad
© Irhash A. Shamad