©Irhash FB 21 September 2013
TERBARU
22.55
Menangkap semilir embun kesyukuran realitas hari ini, tuk menepis
kejenuhan malam agar tak berkeluh kesah bak siluet ketika fajar di kesibukan
pagi ibukota yang tak pernah jenuh dan lelah melintasi teriknya mentari
kehidupan, selagi fajar masih menjanjikan esok hari
Inspirasi : Fajar Menyapa 9
Written By Irhash A. Shamad on 30 Mei 2014 | 22.55
Labels:
Fajar Menyapa 9,
Inspirasi,
Sarunai Malam
22.46
Wisata Sejarah : Istana Maimun (Kesuthanan Deli), Medan
Istana Maimun adalah salah satu istana kerajaan dari zaman
keemasan Melayu, seperti istana Sultan Siak, istana Pagaruyung dan lain-lain.
Istana Maimun dibangun di era kejayaan Kesultanan Deli yang berlangsung dari
1873 – 1924, atau tepatnya dibangun hampir di akhir era kejayaan Kesultanan
Deli IX pada tahun 1888 yaitu pada masa Sultan Al Ma'mun daya Rasyid Perkasa Alam. Sultan Ma'mun meletakkan batu pertama bangunan pada
tanggal 26 Agustus 1888. Tiga tahun kemudian Pembangunan selesai dan diresmikan
pada 18 Mei 1891. Luas bangunan istana sebenarnya itu adalah 412 m2 memiliki 30
ruang dan didirikan di atas lahan seluas 2772 m². Perancang gedung itu sendiri
adalah seorang arsitek Belanda bernama TH Van Erp. Istana ini dirancang dengan
menggabungkan berbagai elemen yang mendasari budaya pemesannya. Pengaruh budaya
Melayu dengan visikositas Islam sangat terasa pada bangunan istana ini, namun
juga memiliki sentuhan Eropa seperti gaya Spanyol, Persia dan Italia juga tak
ketinggalan dalam dalam seni desainnya. Hal ini membuat bangunan istana ini
kelihatan sangat menarik. Dari kekayaan desain arsitektur dan motif seni yang mewarnai
bangunan istana ini memberikan gambaran kemajuan dan kemakmuran ekonomi, serta
pluralisme budaya pada masa pemerintahan Sultan Deli. ©Irhash FB 25 Maret 2012
Labels:
Istana Maimun,
Medan,
Tentang Saya,
Wisata Sejarah
22.47
Irhash Gallery : "Al-Anfal 2-4"
Written By Irhash A. Shamad on 23 Mei 2014 | 22.47
Labels:
Al-Anfal 2-4,
Gallery,
Kaligrafi,
Kaligrafi Digital
20.27
Wisata Sejarah : Masjid Baiturrahman, Banda Aceh
Written By Irhash A. Shamad on 18 Mei 2014 | 20.27
Masjid ini dibangun dalam masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda (1607-1636 M.). Akan tetapi masjid itu mengalami kebakaran pada masa
pemerintahan Sultan Nurul Alam (1675-1678), namun kemudian dibangun kembali di
tempat yang sama. Pada masa kolonial masjid ini, selain tempat beribadah juga
berperan sebagai markas pertahanan masyakarat Aceh. Sejarah perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda dalam merebut kembali masjid ini
dari penguasaan Belanda telah mencatatkan kematian Mayor Jenderal J.H.R Kohler
bersama lebih dari 400 orang pasukannya. Pada saat terjadi Tsunami di Aceh
tahun 2004, masjid tetap tegar berdiri ditengah reruntuhan bangunan yang porak
poranda, bahkan di masjid inilah ribuan orang terselamatkan dari keganasan
Tsunami itu ©Irhash FB 240312
Labels:
Banda Aceh,
Masjid Baiturrahman,
Tentang Saya,
Wisata Sejarah
21.24
Inspirasi : Fajar Menyapa 8
Written By Irhash A. Shamad on 17 Mei 2014 | 21.24
Gradian waktu terbelah kokok
ayam dan kicau murai yang memecah sisa halimun malam adalah penanda bagi yang
mampu memaknai waktu untuk tak sekedar berlalu dalam selimut ketidakpedulian,
penanda bagi yang dapat menangkap arti pergantian waktu untuk tak dibiarkan
berganti tanpa ikhtiar perubahan, penanda bagi yang tak merelakan waktu menjadi
ampas-ampas kosong tanpa setetes keberartian yang dapat ditinggalkan
©Irhash
FB 17 September 2013
Labels:
Fajar Menyapa 8,
Inspirasi,
Sarunai Malam
14.11
Inspirasi : Fajar Menyapa 7
'Senyum sapa' seikhlas fajar menyebar
di kelelahan malam yang tersaput kabut dingin, melarutkan kegusaran bumi akan
ketidakhadiran matahari pagi untuk pohon-pohon yang dihidupinya.... 'senyum
sapa' seikhlas pohon yang meneteskan embun pada bumi tempat ia berpijak,
mengurai semangat humus untuk kesuburan bumi yang gusar akan ketiadaan lahan
hidup bagi yang hidup,...'senyum sapa' seikhlas hati yang tulus mengayomi,
mensirnakan kegusaran hati akan ketiadaan rasa kasih sayang dan saling
menghargai sesama dalam kebersamaan
©Irhash FB 24 Agustus 2013
Labels:
Fajar Menyapa 7,
Inspirasi,
Sarunai Malam
18.15
Irhash Gallery : Annisa` 105-106
Written By Irhash A. Shamad on 15 Mei 2014 | 18.15
Labels:
Annisa`105-106,
Gallery,
Kaligrafi,
Kaligrafi Digital
10.42
Anakku!........Hidup itu ibarat menapaki anak tangga,..... syukurilah langkahmu pada setiap anak tangga manapun yang telah mampu kau tapaki, karena SYUKUR itu adalah ENERGI untuk naik ke anak tangga berikutnya. SYUKUR bukan berarti harus berpuas diri dan lalu berhenti pada anak tangga tertentu, tetapi untuk mengokohkan setiap anak tangga yang telah kau tapaki agar tidak kembali tersurut ke bawah, sekaligus akan menjadi peredam antusiasme nafsumu untuk 'meloncat' ke anak tangga yang lebih tinggi yang justru mungkin akan membahayakan dirimu sendiri .
Quotes : “Tangga Kehidupan”
Written By Irhash A. Shamad on 10 Mei 2014 | 10.42
©Irhash Quotes 250613
Labels:
Quotes,
Sarunai Malam,
Tangga Kehidupan
08.31
Inspirasi : Fajar Menyapa 6
Ketika sejenak tuma'ninah ke
tempat sujud setelah munajat menyambut hari ini, tak ada yang lebih indah
daripada ketika kepala melepas semua beban yang memberatkan dengan menghapus
sisa-sisa memori tak menyenangkan dari situasi ataupun 'kealpaan' orang lain
yang berlaku hari kemaren......semoga hari ini masih tercurah berkah atas semua
hati yang ikhlash........aamiiin
©Irhash FB 29 Juli 2013
Labels:
Fajar Menyapa 6,
Inspirasi,
Sarunai Malam
14.34
Quotes : “Waktu”
Written By Irhash A. Shamad on 06 Mei 2014 | 14.34
Waktu adalah hidup dan hidup itu menjalani waktu, seberapa
besar kita menghargai waktu, sebesar itu pula kita telah menghargai hidup
©Irhash-quotes 080311
Labels:
Quotes,
Sarunai Malam,
Waktu
14.30
Quotes : “Takut”
Yang takut JATUH tidak akan pernah NAIK.....!
©Irhash-quotes 080311
Labels:
Quotes,
Sarunai Malam,
Takut
14.26
Quotes : “Syukur”
Menyesali masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan akan
menjadikan hari ini tanpa kesyukuran
©Irhash-quotes 010311
Labels:
Quotes,
Sarunai Malam,
Syukur
23.04
Ketika fajar masih menjanjikan matahari, hari inipun masih akan
menyisakan punggungnya untuk diukir dengan indah, atau akankah sekedar hanya
untuk kau terawangkan angan tak nyata sampai ia membalikkan punggung untuk
menatap tajam atas ketololanmu hari ini....?
Inspirasi : Fajar Menyapa 5
Written By Irhash A. Shamad on 04 Mei 2014 | 23.04
©Irhash FB 28 Juni 2013
Labels:
Fajar Menyapa 5,
Inspirasi,
Sarunai Malam
17.15
Irhash Gallery : "Kejujuran"
Written By Irhash A. Shamad on 01 Mei 2014 | 17.15
Labels:
Gallery,
Kaligrafi,
Kejujuran,
Lukis Kaligrafi
08.23
Memaknai hari sebagai bentangan luas lembaran mewaktu yang penuh
detik-detik peluang yang takkan terulang, tanpa format, dan nyaris tanpa sekat
yang mengikat,......DIA menciptakan hari, menyediakan sekat dan format,
tetapi DIA tetap memberi kita potensi dan kebebasan untuk mengisi sekat dan format itu, dan bahkan kitapun diberi 'kebebasan' untuk menggunakan sekat dan formatNya atau tidak.....namun, kita sering keterlaluan dan angkuh
dengan potensi itu, lalu secara bebas menggurat hari tanpa sekat dan
format,.....hari inipun kami memohon keampunanMu atas kelemahan kami itu ya
Allah.........
Inspirasi : Fajar Menyapa 4
©Irhash FB 25 Juni 2013
Labels:
Fajar Menyapa 4,
Inspirasi,
Sarunai Malam
03.12
Inspirasi : Anniversary 29th
tak terasa
hampir tiga dasawarsa.......; masa yang cukup untuk mematangkan stabilitas
keharmonian sebuah keluarga....
©Irhash
FB 4 Desember 2010
Labels:
Anniversary 29th,
Inspirasi,
Sarunai Malam
03.00
Bencana beruntun yang terjadi selama Oktober meninggalkan duka yang begitu dalam di setiap sanubari yang peka, meruntuhkan banyak sekali harapan, dan meninggalkan jejak trauma psikologis bagi yang ikut merasakan. Meski bagi korban berlalunya bencana adalah “ketenangan”, dan mereka tidak perlu lagi terusik dengan berbagai kecemasan. Namun bagi yang ditinggalkan adalah kepedihan yang tak terkatakan, menggumam pilu (seperti) tidak rela dengan apa yang telah menimpa orang tua, istri, suami, anak, saudara, dan semua yang mereka cintai ; sebegitu kejamnya alam merenggut semua itu dari mereka. Tidak hanya keluarga terdekat, mereka yang nun jauh di ujung sanapun dapat merasakan kepedihan yang menimpa warga yang terkena bencana, diantara mereka, yang meskipun, tidak dapat melakukan apa-apa untuk meringankan penderitaan itu, paling tidak, ikut berempati dengan penderitaan sesama. Banyak naluri kemanusiaan tersentak untuk menyatakan belasungkawa, untuk menyisihkan sebagian harta dalam rangka mengurangi penderitaan mereka, mengorbankan waktu dan tenaga membantu meringankan beban-beban mereka, atau, paling tidak, untuk sekadar besimpuh menadahkan tangan bermohon pada Yang Kuasa agar yang “pergi” memperoleh ketenangan di sisiNya dan yang ditinggalkan selalu tabah dan sabar……..
Bencana demi bencana tak urung telah mengusik kesadaran keTuhanan manusia. Banyak yang berspekulasi tentang kemarahan Tuhan atas sikap-sikap manusia yang telah kehilangan rasa takut untuk mengingkari ketentuanNya. Tak sedikit pula yang menyadari bencana sebagai peringatan dan ujian ilahiyah dalam rangka mengukuhkan keimanan terhadap ‘kekuasaan yang tak terbatas’ yang dimiliki sang Khaliq atas makhluq ciptaanNya atau sebagai wujud bukti kasih sayangNya. Banyak juga di sana yang berspekulasi tentang bencana sebagai siklus alam yang bukan sunnahNya, dan dengan angkuh mengkultus ilmu, mendewakan perhitungan matematis, lalu memberikan prediksi-prediksi “menakutkan” untuk menambah beban traumatis warga daerah bencana, menebar keputusasaan dalam duka yang tak pernah putus dan nyaris kehilangan harapan. Ada di sana manusia klenis namun fanatis menunjukkan keyakinan dirinya dengan menyanggah kekuasaan Ilahi secara salah, menerobos batas-batas alamiah menjalin interaksi semu dengan alam untuk menundukkan keganasannya dengan niteni yang bersifat naluriah, membungkus fanatisme tradisional keratonan yang meyakini alam dikuasai oleh sejumlah penguasa ; eyang empu dan eyang panembahan sapujagad. Namun tatkala wedhus gembel menyambanginya …keyakinannyapun luruh, kemudian “bersujud” entah untuk keyakinannya lalu “menyediakan diri” ditelan bencana, atau sebagai pernyataan pertobatan atas kekeliruannya pada kekuasaan Tuhan…..tidak ada yang tahu!
Di sana juga ada manusia-manusia tak memiliki naluri kemanusiaan yang tak mampu menunjukkan empati dan kepedulian terhadap penderitaan sesama. Manusia yang telah kehilangan sensitifitas karena terlanjur “tercebur” ke dalam limpahan kesenangan dan “semerbakwangi”nya kehidupan Senayan, hingga tidak lagi mampu mencium dan merasakan “wangi”nya penderitaan rakyat kecil, padahal, untuk rakyat kecil itulah ia bisa “menikmati” Senayan, dan kepadanyalah, seyogianya, digantungkan nasib rakyat. Namun, pada saat rakyat menjeritkan penderitaan atas bencana yang menimpa,… dengan enteng ia berkata : “itulah resiko tinggal di daerah rawan bencana, kalau takut bencana ya pindah sajalah!.......sebuah kalimat yang menyayat hati dan tak seharusnya keluar dari mulut seorang pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat yang (katanya) sangat terhormat di negeri ini…….. la’anallahu lahu wa na’uzubillah min zalik……
©Irhash FB 30 Oktober 2010
Inspirasi : Duka Oktober….di Wajah Miris Bangsa Ini
Bulan
Oktober ini sepertinya tak henti menyisakan kepedihan. Tuhan ternyata telah
memberlakukan kehendakNya diluar apa yang kita mau, sehingga alam ciptaanNya
enggan untuk berdamai dengan manusia. Amukan banjir bandang di Papua barat 4
Oktober yang memporakporandakan Wasior, Manggurai, Wondamai hingga Wandiboy,
meluluhlantakkan pemukiman dan menewaskan hampir 200 orang warga. Jakarta, kota
metropolitan yang setiap tahun menjadi langganan banjir, pada bulan ini
mencatatkan kerugian akibat banjir sebagai yang tertinggi dalam sejarahnya,
begitupun banjir-banjir yang terjadi di hampir 100 kabupaten dan kota di
Indonesia. Merapi, gunung api terbilang paling aktif di dunia yang terletak di
pulau Jawa, bulan ini, ikut memperlihatkan keberingasannya sejak tanggal 25
Oktober. Letusan-letusan asap dan material disertai awan panas yang terbilang
dahsyat (mendekati 600 derjat celcius) yang terjadi 27 Oktober telah
menghanguskan apapun yang ada di sekitarnya, rumah, pohon ,ternak, dan manusia
dalam sekejap menjadi gosong dan kaku tak berdaya. Pekikan parau , tangisan dan
suara-suara pilu seperti tertelan oleh gemuruh longsoran material Merapi.
Sebaran abu vulkanik yang menyesakkan dada membuat sejumlah desa dalam radius
lebih dari sepuluh kilometer diseputar Merapi menjadi buram seperti tak
berpengharapan. Gempa bumi berskala 7,2 SR, disusul gelombang Tsunami di pulau
Pagai Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai terjadi menjelang tengah malam (25
Oktober). Goncangan bumi yang terjadi saat warga desa Belagu dan Muntai Baru
yang terletak di pesisir Pagai selatan, membuai seakan menjadi pengantar tidur,
namun sekonyong disusul terjangan gelombang yang menyapu bersih kedua desa ini,
dan akhirnya menyisakan puing dan jasad-jasad manusia yang tercabik-cabik oleh
ganasnya hempasan air, kayu, batu dan material bangunan rumah-rumah mereka
sendiri. Ratusan orang telah menjadi korban dan ratusan lainnya dinyatakan
hilang entah kemana…..
(hingga tulisan ini dibuat, masih dilakukan pendataan)Bencana beruntun yang terjadi selama Oktober meninggalkan duka yang begitu dalam di setiap sanubari yang peka, meruntuhkan banyak sekali harapan, dan meninggalkan jejak trauma psikologis bagi yang ikut merasakan. Meski bagi korban berlalunya bencana adalah “ketenangan”, dan mereka tidak perlu lagi terusik dengan berbagai kecemasan. Namun bagi yang ditinggalkan adalah kepedihan yang tak terkatakan, menggumam pilu (seperti) tidak rela dengan apa yang telah menimpa orang tua, istri, suami, anak, saudara, dan semua yang mereka cintai ; sebegitu kejamnya alam merenggut semua itu dari mereka. Tidak hanya keluarga terdekat, mereka yang nun jauh di ujung sanapun dapat merasakan kepedihan yang menimpa warga yang terkena bencana, diantara mereka, yang meskipun, tidak dapat melakukan apa-apa untuk meringankan penderitaan itu, paling tidak, ikut berempati dengan penderitaan sesama. Banyak naluri kemanusiaan tersentak untuk menyatakan belasungkawa, untuk menyisihkan sebagian harta dalam rangka mengurangi penderitaan mereka, mengorbankan waktu dan tenaga membantu meringankan beban-beban mereka, atau, paling tidak, untuk sekadar besimpuh menadahkan tangan bermohon pada Yang Kuasa agar yang “pergi” memperoleh ketenangan di sisiNya dan yang ditinggalkan selalu tabah dan sabar……..
Bencana demi bencana tak urung telah mengusik kesadaran keTuhanan manusia. Banyak yang berspekulasi tentang kemarahan Tuhan atas sikap-sikap manusia yang telah kehilangan rasa takut untuk mengingkari ketentuanNya. Tak sedikit pula yang menyadari bencana sebagai peringatan dan ujian ilahiyah dalam rangka mengukuhkan keimanan terhadap ‘kekuasaan yang tak terbatas’ yang dimiliki sang Khaliq atas makhluq ciptaanNya atau sebagai wujud bukti kasih sayangNya. Banyak juga di sana yang berspekulasi tentang bencana sebagai siklus alam yang bukan sunnahNya, dan dengan angkuh mengkultus ilmu, mendewakan perhitungan matematis, lalu memberikan prediksi-prediksi “menakutkan” untuk menambah beban traumatis warga daerah bencana, menebar keputusasaan dalam duka yang tak pernah putus dan nyaris kehilangan harapan. Ada di sana manusia klenis namun fanatis menunjukkan keyakinan dirinya dengan menyanggah kekuasaan Ilahi secara salah, menerobos batas-batas alamiah menjalin interaksi semu dengan alam untuk menundukkan keganasannya dengan niteni yang bersifat naluriah, membungkus fanatisme tradisional keratonan yang meyakini alam dikuasai oleh sejumlah penguasa ; eyang empu dan eyang panembahan sapujagad. Namun tatkala wedhus gembel menyambanginya …keyakinannyapun luruh, kemudian “bersujud” entah untuk keyakinannya lalu “menyediakan diri” ditelan bencana, atau sebagai pernyataan pertobatan atas kekeliruannya pada kekuasaan Tuhan…..tidak ada yang tahu!
Di sana juga ada manusia-manusia tak memiliki naluri kemanusiaan yang tak mampu menunjukkan empati dan kepedulian terhadap penderitaan sesama. Manusia yang telah kehilangan sensitifitas karena terlanjur “tercebur” ke dalam limpahan kesenangan dan “semerbakwangi”nya kehidupan Senayan, hingga tidak lagi mampu mencium dan merasakan “wangi”nya penderitaan rakyat kecil, padahal, untuk rakyat kecil itulah ia bisa “menikmati” Senayan, dan kepadanyalah, seyogianya, digantungkan nasib rakyat. Namun, pada saat rakyat menjeritkan penderitaan atas bencana yang menimpa,… dengan enteng ia berkata : “itulah resiko tinggal di daerah rawan bencana, kalau takut bencana ya pindah sajalah!.......sebuah kalimat yang menyayat hati dan tak seharusnya keluar dari mulut seorang pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat yang (katanya) sangat terhormat di negeri ini…….. la’anallahu lahu wa na’uzubillah min zalik……
©Irhash FB 30 Oktober 2010
Labels:
Duka Oktober,
Inspiasi,
Sarunai Malam