“Sejarah itu benar-benar ilmu pengetahuan,
tidak lebih dan tidak kurang”, demikian John B. Bury menegaskan
dalam pidato pengukuhannya di Cambridge
tahun 1903 (Garraghan,1957;37). Penegasan
ini dikemukakannnya ditengah bermunculan pendapat-pendapat yang “miring”
tentang keberadaan sejarah sebagai ilmu. Kebenaran yang dihasilkan oleh sejarah
sering tidak memuaskan secara metodologis. Banyak karya sejarah dibuat hanya
untuk tujuan tertentu, sehingga mengabaikan objektivitas fakta yang
dihasilkannya. Tujuan-tujuan mana sering dikaitkan dengan
kepentingan-kepentingan yang menyertai penulisannya, seperti moral, politik
agama, ideologi dsb. Demikian juga keabsahan penulisan sejarah sangat
ditentukan oleh konsepsi kesejarahan yang dimiliki oleh penulisnya a.l. :
apakah arti sejarah sudah ia tempatkan sebagai terminologi yang berkonotasi
ilmiah?, apa tujuan yang ingin ia capai dengan penulisan itu? dan bagaimana
pula dengan sumber serta prosedur kerja yang ia gunakan dan sebagainya.
Berkaitan
dengan apa yang dikemukakan itu, pada tulisan yang sederhana ini akan dikemukakan
tinjauan atas sebuah karya sejarah yang ditulis oleh : Anton E. Lucas yang
berjudul : ”Peristiwa Tiga Daerah,
Revolusi dalam Revolusi”. Buku ini
secara umum memiliki kekuatan tersendiri dalam menyoroti salah satu episode
sejarah lokal dalam kerangka Revolusi Indonesia secara keseluruhan.
Latar Belakang
Peristiwa Tiga
Daerah adalah peristiwa yang berlatar belakang sosio-ekonomis. Akar-akar
sejarahnya sudah ditanamkan sejak lama oleh penguasa-penguasa kolonial.
Pengalaman sejarah yang diwarnai dengan tekanan, penindasan, kesengsaraan dan
kemelaratan telah membangkitkan rasa benci dan dendam terhadap sistem dan
struktur yang telah menyebabkan kesengsaraan itu. Perasaan itu tidak hanya
ditujukan terhadap pemerintahan jajahan, akan tetapi juga terhadap
penguasa-penguasa tradisional, terutama penguasa-penguasa yang memperlihatkan
tanda-tanda kerjasama dengan pemerintahan jajahan itu. Penindasan dan tekanan
yang dijalankan oleh kedua elit kekuasaan ini telah menyebabkan terjadinya
eksploitasi ganda terhadap rakyat (cf.
Onghokham,1985;19), terutama dalam lapangan perekonomian. Keadaan yang
demikianlah yang dianggap cukup untuk meledakkan sebuah pergolakan sosial.
Peristiwa ini terjadi dalam sebuah keresidenan yaitu
Pekalongan. Tiga daerah yang menjadi objek penelitian Lucas di keresidenan ini
adalah Brebes, Tegal dan Pemalang dalam kurun waktu yang sangat pendek, yaitu
antara bulan Oktober sampai Desember 1945.
Kondisi perekonomian rakyat di tiga daerah itu sangat buruk
di masa kolonial, terutama pada saat dijalankannya Tanam Paksa. Eksploitasi
dalam lapangan ekonomi dijalankan tidak saja oleh pemerintahan jajahan akan
tetapi juga oleh penguasa-penguasa tradisional dan pedagang-pedagang kaya,
sehingga rakyat jelata, petani kecil serta pekerja dan buruh menjadi sangat
menderita. Pengalaman ini kemudian berlanjut pula pada masa pendudukan Jepang.
Rakyat menemui kenyataan ekonomi yang malah lebih buruk di masa ini ; adanya
wajib setor padi, penjatahan beras dan bahan pangan, disamping banyak terdapat
korupsi dan penindasan oleh pihak penguasa tradisional dari pemungutan setoran
oleh masyarakat.
Berita kekalahan
Jepang telah diketahui oleh rakyat di tiga daerah, terutama oleh golongan bawah
tanah yang pernah melakukan perlawanan aktif selama pendudukan Jepang, seperti
golongan komunis terselubung, Negen Broeder, KRI dan Barisan Pelopor yang
berideologi Marxis. Setelah kemerdekaan di proklamirkan disambut dengan sangat
antusias oleh rakyat. Namun tidak
demikian halnya dengan kalangan elit birokratis. Berita ini bagi mereka pada
umumnya disambut dengan sikap ragu-ragu. Sikap ini diiringi dengan kekhawatiran
akan reaksi Jepang terhadap perjuangan rakyat. Bahkan diantara elit birokratis
ini ada yang melarang untuk menaikkan bendera merah putih, karena menganggap
bahwa meskipun Jepang sudah kalah, maka penguasa lama (Belanda) akan segera
datang kembali. Sikap yang ditunjukkan oleh elit birokratis ini telah
melebarkan jurang antara mereka dengan rakyat pejuang.
Kenyataan inilah yang telah memancing munculnya gejolak
sosial di tiga daerah. Dimulai dengan aksi protes yang dilakukan oleh rakyat
terhadap seorang Lurah di wilayah Tegal selatan, kemudian meluas ke
daerah-daerah lainnya seperti desa Pekalongan, rakyat menuntut penggantian
penguasa. Aksi-aksi daulat serupa berlangsung mendobrak sistem birokrasi serta
aksi kekerasan, penganiayaan, bahkan pembunuhan para pejabat desa dan
pihak-pihak elit ekonomi lainnya yang dianggap telah ikut menyengsarakan rakyat
selama ini. Aksi ini tidak saja meluas akan tetapi juga lebih buas dan liar
seperti yang terjadi di Pemalang dan Tegal. Lebih dari itu, peristiwa-peristiwa
ini makin meluas menjadi makar politik, ditandai dengan berdirinya Front Rakyat
(Nopember 1945) yang berideologi komunis. Kenyataan ini akhirnya mengharuskan
pemerintahan pusat untuk turun tangan, sehingga gerakan ini kemudian dapat
dipadamkan.
Tinjauan
Metodologis
Dalam menyajikan
karyanya ini, Anton E. Lucas telah mengkombinasikan antara pendekatan
strukturalis dan pendekatan individualis, meskipun yang disebutkan pertama
lebih dominan terlihat dalam karya ini. Pendekatan struktural memperhatikan
masalah kontinuitas dalam sejarah (cf. : Sartono,1986;108-19). Karena itu
Anton E. Lucas menjelaskan revolusi yang terjadi di tiga daerah ini, melihat
akar-akar kausalitasnya historisnya pada beberapa fenomena kesejarahan yang
terjadi pada waktu-waktu yang jauh ke belakang seperti Tanam Paksa, terutama
menyangkut dengan faktor perekonomian. Kondisi-kondisi struktur sosio ekonomis
masyarakat dideskripsikan sebagai fenomena yang cukup untuk meledakkan suatu gejolak
sosial.
Dalam melihat
gejolak sosial, Lucas menggunakan teori Marxis dari Karl Marx. Ia melihat
adanya dua kelompok sosial yang saling bertentangan, yaitu pihak elit
birokratis serta para tuan tanah dan orang-orang kaya sebagai kelompok atas
dengan rakyat kecil sebagai kelompok bawah. Gaya hidup kedua kelompok ini
berbeda sangat tajam. Perbedaan ini pada akhirnya membawa ‘dendam’ dan
kebencian yang mendalam, terutama dari golongan bawah di wilayah ini. Keadaan
ini memudahkan pihak-pihak tertentu (baca: komunis) untuk memobilisasi massa
untuk melakukan gerakan protes. Koalisi pihak komunis dengan rakyat tertindas
ini membentuk sebuah wadah perjuangan yang disebut dengan Front Rakyat atau Gabungan
Badan Perjuangan Rakyat Tiga Daerah (GBP3D).
Dalam mengemukakan pola kelakuan kolektif dalam situasi revolusi, Lucas menggunakan
teori psikologi. Ia menggambarkan gejolak sosial yang penuh kekerasa dan
anarkis dengan penjelasan berdasarkan motivasi, sikap dan tindakan kolektif
yang dianalisis melalui berbagai faktor prilaku kolektif, seperti kepemimpinan.
organisasi, mobilisasi, ideologi dan kondisi sosial.
Dalam studinya ini
Lucas menggunakan kombinasi sumber tertulis dan sumber lisan. Khusus untuk
sumber lisan, ia telah menempuh prosedur sejarah lisan secara mengagumkan.
Jumlah informan yang diwawancarai sangat luar biasa yaitu 324 orang yang
berasal dari berbagai kelompok sosial, baik yang terlibat dan mengalami
langsung peristiwa yang diteliti, maupun yang mengetahui jalannya peristiwa.
Klassifikasi informan terdiri dari bekas elit birokrasi, anggota Front Rakyat,
kelompok agama, kaum nasionalis, kelompok pemuda, guru serta TKR. Ia telah
menyelami lebih jauh bagaimana individu atau kelompok dari berbagai
lapisan mengalami sendiri kehidupan
mereka dengan pendekatan verstehen seperti
yang disarankan oleh Weber (cf. Rex Martin,1977;14-15).
Ulasan
(epilog)
Revolusi sosial yang terjadi di berbagai daerah di
Indonesia pasca kemerdekaan pada umumnya dapat diakarkan kepada penderitaan
panjang yang dialami oleh rakyat semenjak masa kolonial yang berlanjut hingga
masa kemerdekaan. Pada bahagian lain sikap dan prilaku ekonomis dari elit
birokrasi dan tuan-tuan tanah tidak kurang pula telah ikut mematangkan situasi
bagi munculnya sebuah revolusi.
Peristiwa
Tiga Daerah yang terjadi di Keresidenan Pekalongan selama bulan Oktober sampai
Desember 1945, benar-benar luar biasa, bila dilihat dari bentuk dan
karakteristik aksi yang dilakukan. Apa yang disebut dengan “kegaduhan
sibernetik” (cybernetic noise)[1] juga terlihat dari aksi
rakyat di tiga daerah ini.
Dibanding dengan revolusi-revolusi sosial yang terjadi di
Indonesia dalam waktu yang bersamaan, maka peristiwa tiga daerah ini terdapat
perbedaan mendasar. Revolusi sosial yang terjadi di tiga daerah ini lebih
bernuansa “kiri” (didalangi komunisme). Hal ini dapat dilihat dari pola
kepemimpinan serta ideologi yang dianut serta peranan penting yang dimainkan
oleh Front Rakyat (komunis) dalam memobilisasi rakyat dalam revolusi sosial ini
© Irhash A. Shamad
Daftar
Bacaan
Garraghan
SJ, Gilbert J. A Guide To Historical Method, (edited by : Jean
Delanglez,SJ),(Chicago), Fordham University Press,1957.
Lucas,
Anton E., Peristiwa Tiga Daerah, (Jakarta),
PT. Temprint, 1989.
Martin,
Rex, Historical Explanation
Re-Conectiment and Practical Inference, Ithaca, New York), Cornel
University Press, 1977.
Onghokham,
Elite dan Monopoli dalam Perspectif
Sejarah, Prisma No.2/1985, thn.XIV.
Sartono
Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial
dalam, Metodologi Sejarah, (Jakarta), Gramedia, 1986.
Posting Komentar