Semua
kegiatan ilmu pengetahuan pada intinya adalah mencari kepastian jawaban dari
berbagai pertanyaan analitis tentang penyebab sesuatu fenomena, baik fenomena
fisik (alam) maupun fenomena non-fisik (kemanusiaan). Kebenaran jawaban
analitis itu, selain ditentukan oleh kesesuaian jawaban yang diberikan dengan
aktualitas yang sebenarnya, juga oleh seberapa akurat pengamatan terhadap
fenomena itu dilakukan. Hal itu, antara lain, akan sangat bergantung dari sisi
pandang (perspektif) yang digunakan untuk mengamati fenomena itu. Apa yang
disebut terakhir ini, lebih banyak menentukan hasil akhir penyelidikan tentang
obyek fenomena non-fisik (kemanusiaan), karena obyek seperti ini memiliki
dimensi yang beragam serta memerlukan penyebaban-penyebaban yang beragam pula.
Dengan demikian, kebenaran jawaban yang dihasilkan akan sangat ditentukan oleh
dimensi apa dan dari sisi mana obyek itu diamati.
Prinsip
Historikalitas pada Obyek Manusia
Untuk mengerti
perubahan yang terjadi dalam fenomena kehidupan manusia dari sisi non-fisik,
terutama dalam konteks kehidupan sosialnya, memerlukan penganalisisan terhadap
aspek-aspek yang terkait dengan keberadaan manusia sebagai individu yang unik
sifatnya, baik sebagai bagian dari sistem besar kehidupan yang terdapat di
alam, maupun kehidupan yang merupakan suatu kuntinum dari kenyataan-kenyataan
yang terus bergerak dari waktu ke waktu.
Manusia, sebagai
diasumsikan oleh para filosof, pada dasarnya tidak berada dalam waktu, akan
tetapi secara ontologis manusia "mewaktu", artinya, kesadaran
ke"kini"annya adalah merupakan bagian dari suatu struktur yang
mensejarah (historikal). Menurut Husserl, pengalaman manusia berretensi
(menggenggam) masa lalu dan berpretensi (menjangkau) masa datang (cf. W.
Poespoprodjo,1987: 27). Masa kini mengandaikan masa lalu dan masa datang. Ini
menjelaskan bahwa pengalaman manusia tidaklah statis, akan tetapi merupakan
dialogi (perjumpaan) yang terus menerus antara masa lalu dan masa datang dalam
suatu wadah yang disebut "masa kini". Oleh karenanya, upaya untuk
mengerti manusia, prilaku-prilaku serta tindakan-tindakan aktualnya hari ini,
tidak serta merta dapat "ditangkap" dalam konteks kekiniannya.
Demikianpun untuk mencari penyebaban prilaku dan tindakan-tindakan, baik
individual maupun sosial, lebih memerlukan penganalisisan terhadap berbagai
dimensi realitas masa lalu yang diduga. Diantara dimensi-dimensi itu adalah :
1. Dimensi
Struktur dan Proses
Banyaknya dimensi
yang diperlukan dalam mengamati fenomena manusia telah menyebabkan munculnya
pemikiran-pemikiran dalam rangka penciptaan pola dan model yang valid untuk
mengerti berbagai dimensi perubahan yang terjadi di dalamnya. Para sosiolog
pada awalnya berusaha menerapkan kaidah-kaidah teoritis ilmu alam untuk
mengerti fenomena yang terjadi pada masyarakat manusia. Fenomena masyarakat
yang dijadikan domain utama dalam kajian sosiologi itu, meski terbentuk dari struktur
individu-individu, namun keberadaan individu disini dianggap tidak berperan
apa-apa dalam perubahan sosial. Ia hanya tunduk pada kekuatan-kekuatan struktur
diluarnya, seperti ekonomi, politik dan sebagainya. Realitas perubahan dalam
struktur sosial itu dipahami sebagai hasil pergerakan mekanis struktur sosial
itu sendiri, dengan kata lain perubahan suatu struktur akan sangat bergantung
dari perubahan pada struktur yang lain (determinis). Pendekatan ini disebut
dengan pendekatan sinkronik, yaitu pengamatan antar lapis struktur (comparative
cross sectional).
Adanya
prinsip-prinsip historikalitas pada pengalaman manusia seperti yang telah
dikemukakan terdahulu, menjadikan persoalan kehidupan manusia tidak cukup
memadai untuk dimengerti hanya lewat pendekatan struktur semata, apalagi untuk
mengerti perubahan-perubahan. Dalam kaitan ini, kenyataan historikalitas
manusia memerlukan tempat tersendiri dalam menganalisis penyebaban fenomena
sosial. Inilah yang disebut dengan perspektif historis. Perspektif ini
menekankan pada analisis prosesual dengan menggunakan pendekatan diakronik
artinya penyebaban fenomena diarahkan pada analisis antar waktu (comparative
longitudinal).
Perspektif
historis, sebagai yang disebutkan terakhir, dalam perkembangannya telah
melengkapi pemahaman para ilmuan tentang perubahan yang terjadi dalam fenomena
manusia. Sebaliknya, sejarah tidak pula dapat mengabaikan penganalisisan
tentang struktur-struktur sosial dalam melihat realitas masyarakat masa lalu.
Berikut ini akan dikemukakan tentang beberapa dimensi analitis terhadap kajian
kemanusiaan dan kemasyarakatan
2. Dimensi
obyektiv-mekanistis dan subyektiv-anti mekanistis
Perkembangan
kajian ilmiah tentang masyarakat kemudian memunculkan pula dua kutub yang
berbeda dalam menganalisis tentang tindakan (action) dan tatanan (order)
sosial, yaitu : Kutub
pertama, yang mendasarkan analisisnya pada konsep tindakan yang mekanistis.
Dengan konsep ini, fenomena sosial dianalogikan sebagai mesin yang bergerak
dengan prinsip aksi-reaksi, dimana, intensitas reaksi sangat ditentukan oleh
intensitas aksi, dan reaksi yang ditimbulkan oleh suatu aksi akan bersifat
otomatis, obyektiv, dan dapat diprediksikan.Prinsip aksi-reaksi yang diterapkan
pada individu memunculkan ilmu psikologi.
Sementara itu,
masyarakat dianggap merupakan suatu entitas tersendiri yang mirip dengan obyek
benda alam. Bila benda alam terdiri dari struktur-struktur yang berupa
senyawa-senyawa kimiawi yang membentuknya, maka entitas masyarakat juga terdiri
dari struktur-struktur yang berperan dalam mengintegrasikan individu-individu
di dalamnya. Struktur-struktur itu juga bergerak secara mekanistis. Tatanan
yang berkaitan dengan tindakan yang mekanistis itu memiliki daya paksa yang
kuat dan bersifat mengharuskan (coercive) terhadap individu. Sehingga individu
tidak dapat menentukan prilakunya dalam masyarakat, tetapi ditentukan oleh
struktur-struktur sosialnya. Pandangan ini berasal dari
historisme-materialismenya Karl Marx (Marxisme).
Marx menganggap
bahwa sumber terjadinya perkembangan dan perubahan disebabkan oleh
faktor-faktor obyektif dari kepentingan rasional berupa tatanan politis dan
ekonomis, bukan disebabkan oleh faktor-faktor subyektif. Faktor-faktor obyektif
yang disebutkan pertama dirumuskannya sebagai base yang dibedakan dengan
super-structure (faktor subyektif), yakni gejala-gejala budaya, ritual
keagamaan, gagasan, seni, intelektual dan sebagainya. Menurutnya,
superstructure ditentukan oleh base, karenanya, untuk menjelaskan gejala-gejala
budaya itu harus dengan memeriksa elemen materialnya atau struktur-struktur itu
sendiri.
Kutub kedua bertumpu pada konsep anti mekanistis yang
mendasarkan pada pendekatan subyektif terhadap tindakan dan tatanan. Pendekatan
ini menganggap bahwa terjadinya suatu tindakan dimotivasi oleh apa yang ada
dalam diri seseorang, yang dapat berupa perasaan, persepsi, maupun kepekaan.
Tatanan yang sesuai dengan tindakan seperti itu adalah tatanan yang bersifat
ideasional, yaitu tatanan yang tersusun dari berbagai hal yang terdapat dalam
fikiran manusia dan bersifat subyektiv. Pandangan ini diwakili oleh Hegel. Ia
mengemukakan bahwa perkembangan historis dipicu oleh rasa frustrasi yang muncul
akibat adanya keterbatasan yang dimiliki oleh setiap priode. Oleh karenanya,
setiap priode harus diuraikan berdasarkan geist atau "semangat zaman"
nya. Geist merupakan konsep klasik dalam bahasa Jerman yang sekarang dikenal
dengan istilah culture.
3. Dimensi
Holis dan Individualis
Telaahan tentang
masyarakat dan perubahan sosial, setidaknya sampai akhir tahun tujuh puluhan,
secara garis besar, prinsip-prinsip metodologisnya telah terbelah kepada apa
yang disebut individualisme dan holisme (Lloyd,1993: 44-47). Kedua prinsip ini
terutama berhubungan dengan masalah asumsi filosofis dalam menempatkan
perspektif terhadap dimensi penyebaban (kausasi) perubahan dan transformasi
sosial. Individualisme berusaha menjelaskan proses dan fenomena-fenomena
sosial, prilaku dan kesadaran mengenai tindakan dan motivasi individu yang
dikonsepsikan sebagai suatu entitas dari fenomena makroskopic dengan
menghubungkan kausasi dan keberadaannya pada komponen-komponen mikroskopicnya.
Individualisme
secara ontologis menganggap bahwa peristiwa individual, tindakan dan
kepercayaan mereka adalah nyata, sedangkan masyarakat dianggap merupakan
agregat individu dan hanya bersifat instrumental. Secara metodologis,
individualisme berusaha membangun suatu analisa sosial dengan mempelajari
individu dan motivasi-motivasi mereka bertindak. Sedangkan holisme menganggap
bahwa masyarakat sebagai suatu entitas yang tertutup dan merupakan sistem
supraindividual dengan kekuatan pengaturan sendiri. Dengan demikian metodologi
holisme mengkonsepsikan masyarakat dan mempelajari keseluruhannya sebagai suatu
totalitas --di mana struktur-struktur ada di dalamnya--, dengan mencari
mekanisme ketergantungan internal dan makna dasar evolusi struktural.
Konvergensi
Teoritis Sosial dan Budaya
Perkembangan
kontemporer dari pemikiran tentang masyarakat telah memperlihatkan titik temu
yang "menggairahkan" dengan memadukan berbagai perspektif dalam
melihat dimensi-dimensi kehidupan sosial serta penyebaban-penyebaban perubahan
yang terjadi di dalamnya. Bagian ini akan mengemukakan beberapa pemikiran
kontemporer yang memperlihatkan kecendrungan konvergensi (titik temu) teoritis
itu, khususnya tentang perspektif budaya dalam analisis sosial (cf. Jeffrey C.
& Richard Schaht (ed.). Part I), yaitu :
1. Fungsionalisme
Analisis
fungsional berkonsentrasi pada usaha "institusionalisasi" kebudayaan,
yaitu bagaimana kebudayaan menjadi bagian dari struktur nyata sistem sosial.
Analisis ini lebih memfokuskan diri pada nilai (values), bukan pada sistem
simbol semata. Institusionalisasi atau pelembagaan nilai berarti bahwa suatu
standar nilai telah menjadi ciri hakiki dari setiap peran individu. Bila
seseorang, suatu kelompok, atau komunitas melenceng dari nilai yang telah
dilembagakan itu, maka ia akan mendapatkan sanksi, sebaliknya, bila mengikuti
akan mendapatkan ganjaran (reward).
Dengan
konsentrasi pada sanksi dan ganjaran, masalah proses internal dari sistem
budaya tidak menjadi interest utama, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah
bagaimana suatu pola dilembagakan. Kekuatan dari pendekatan fungsionalisme
adalah kemampuannya untuk menjalin analisis dengan penekanan budaya (analisis
kultural) dengan analisis tentang tindakan sosial (analisis struktural).
Robert Merton,
salah seorang penganut pendekatan ini berhasil mengidentifikasi seperangkat
elemen budaya yang menunjukkan dengan sangat jelas pengaruh dari struktur
normatif tersebut terhadap tindakan dan organisasi sosial. Demikian juga
Lipset, telah menunjukkan pula bagaimana pola nilai berkorelasi dengan berbagai
macam prilaku institusional berbeda, ia membuat variabel normatif ini menjadi
lebih tepat dan dapat dipercaya. Namun, walaupun Lipset telah secara hati-hati
menempatkan nilai pada titik yang tepat dalam struktur sosial, namun ia
terjebak dalam konstelasi nilai itu sendiri, karena melakukan generalisasi dari
prilaku kelompok yang aktual, bukan dengan menafsirkan dinamika internal dari
perkembangan budaya.
2. Semiotika
Semiotika dan
strukturalisme merupakan alternatif pendekatan semiotik yang menitikberatkan
perhatian pada sistem budaya itu sendiri, bukan pada identifikasi simbol-simbol
yang diinstitusionalisasi dalam sistem sosial. Mereka menekankan adanya
integritas internal dari suatu organisasi simbolis dan berpendapat bahwa
organisasi tersebut harus dipelajari tanpa mengacu pada proses atau tahapan
lain.
Barthes, salah
seorang penganut pendekatan semiotik, menjelaskan pemikirannya dengan
menganalogikan olah raga gulat sebagai teks. Menurut Barthes, gulat harus
dilihat sebagai teks. Artinya, gulat tidak benar-benar merupakan tindakan yang
termotivasi, tetapi suatu yang scripted atau tersusun dalam skenario seperti
sebuah drama yang dipentaskan. Olah raga gulat tidak mengacu pada suatu situasi
darurat, tetapi mengacu pada makna yang telah lama diterima, yang berupa pola
yang harus dipelajari oleh pegulat. Oleh karenanya, gulat harus dianggap bukan
sebagai suatu peristiwa tetapi sebagai sebuah pentas yang mengandung sistem
makna yang sangat terstruktur.
Sahlin adalah
penganut pendekatan semiotika lainnya mengemukakan bahwa analisis sosial dapat
dilakukan melalui abstraksi prilaku konkrit menjadi prilaku budaya. Jika
abstraksi budaya dapat dicapai, elemen sosial menjadi berkorelasi dalam suatu
sistem simbolis. Elemen sosial tersebut kemudian dilihat sebagai elemen dalam
sebuah teks yang terbuka, bukan sebagai gambaran dalam sistem sosial.
3. Dramaturgi
Dramaturgi adalah
pendekatan yang memberi tempat khusus bagi peran individu. Penganut pendekatan
ini, salah satunya adalah Goffman. Dia mengakui bahwa dalam interaksi sosial,
individu-individu secara konstan dibanjiri oleh rangsangan dari luar sebagai
tambahan dari rangsangan yang telah terkandung dalam kerangka budaya. Aktor
individu harus memiliki kemampuan yang baik dalam menyaring rangsangan agar
tidak terjerumus ke dalam tindakan di luar kerangka budaya yang telah ada.
Seperti dalam drama, baik pelaku ataupun penonton sering menghadapi arahan
panggung dan sekaligus unsur ekstratekstualnya.
Salah seorang
penganut pendekatan dramaturgi adalah Clifford Geertz. Melalui penelitiannya
tentang kegiatan adu ayam di Bali, misalnya, Geertz menerapkan perspektif
dramaturgis ke dalam proses aktual dari penciptaan bentuk kebudayaan yang
relatif independen. Dia menguraikan makna sebagai sesuatu yang ditentukan.
Makna suatu tindakan tidak hanya mengacu pada kaidah disekitar tindakan itu,
tetapi juga mengacu pada fenomena lain.
Adu ayam, pada
kenyataannya dapat dianggap sebagai suatu hal yang membosankan dan sepele, dan
dapat juga dianggap sebagai suatu yang penuh makna, menarik, dan dramatis. Uang
taruhan adalah alat yang menjadikan adu ayam sebagai peristiwa penuh makna,
karena uang taruhan itu menentukan status petaruhnya dalam masyarakat.
Akhirnya, Geertz melihat bahwa yang penting dalam budaya sabung ayam di Bali
adalah besarnya peranan para pelaku dalam membentuk struktur, misalnya dengan
memperbesar jumlah taruhan demi harga diri.
4. Weberianisme
Kaum Weberian
membuat konsepsi kebudayaan sebagai sistem simbolis. Sistem ini diciptakan dari
dalam diri manusia yang merupakan reaksi terhadap keperluan metafisis. Ide
religius dari konsep teologis tetap menjadi aspek paling penting dari teori
mereka. Salah seorang penganut pendekatan itu ialah Michael Walzer.
Puritanisme, menurut Walzer, menumbuhkan etos kerja tinggi melalui konsep
aktivisme. Paham ini juga mengukuhkan peran lembaga keagamaan sebagai forum
sekular untuk mendobrak kemapanan ekonomi. Dimotivasi oleh kepatuhan mereka
terhadap suatu disiplin yang lebih kritis, kaum puritan Inggeris menjadi
revolusioner dalam melancarkan transformasi sosial. Dengan demikian, Walzer
menganggap bahwa komitmen modern terhadap revolusi lahir karena reinterpretasi
subyektiv dan adanya perluasan makna, dan bukan karena tanggapan mekanistik
terhadap keharusan obyektiv.
Karena
keinginannya mengenali logika internal dari sistem simbol, analisis Weberian
dianggap lebih bersifat semiotis bila dibandingkan dengan pendekatan
dramaturgis dan fungsionalis ; pada saat yang bersamaan, pendekatannya terhadap
kebudayaan lebih bersifat historis dan sosial.
5. Durkheimisme
Seperti
pendekatan Weberian, pendekatan Durkheimian terhadap kebudayaan juga menjadikan
agama sebagai komponen sentral yang memungkinkan mereka menekankan kompleksitas
internal dan otonomi sistem simbolik, dan pada saat yang bersamaan menekankan
pentingnya acuan sosial. Akan tetapi, pendekatan ini tidak terlalu terfokus
pada pemahaman historis tentang proses kebudayaan, namun lebih kepada struktur
dan proses dari sistem penuh makna yang dianggap universal tanpa
memperhitungkan masalah historisnya. Dari segi itu, pendekatan Durkheimian
dianggap lebih bersifat semiotis dan strukturalis.
Salah seorang
penganut pendekatan Durkheimisme, Mary Douglas, beranggapan bahwa secara
agamis, sistem budaya dapat dilihat sebagai kerangka oposisi suci (sacred) dan
tercemari (profane). Mediasi dari keduanya adalah ritual, sebab dalam ritual
terdapat interaksi emosional yang mengarah pada simbol yang sakral.
6. Marxisme
Pendekatan ini
mengalami banyak modifikasi dari bentuk awalnya terutama untuk menghindari
kesan mekanistis dari teorinya. Pendekatan kontemporer Marxis terhadap
kebudayaan, memunculkan pandangan yang lebih reduksionis tentang hubungan
antara kehidupan ekonomi dan budaya. Penganut pendekatan ini antara lain E.P.
Thompson dan Paul Willis.
Dalam usahanya
menjelaskan pertumbuhan kesadaran dan militansi kelas dari kaum pekerja di
Inggeris, Thompson lebih memfokuskan perhatiannya pada penciptaan komunitas
daripada perubahan ekonomi. Dalam rangka menjadikan kelas pekerja Inggris
evolusioner, pengetahuan tentang kondisi dan minat mereka tidak cukup. Yang
lebih penting adalah pertumbuhan dari budaya kelas pekerja yang independen.
Menurut Thompson, kebudayaan menjadi lebih dari sekedar variabel analitis, akan
tetapi menjadi keharusan historis dan politis.
7. Pasca Strukturalisme
Pendekatan ini
muncul pada era 1960-an, baik dari dalam kubu Marxisme maupun strukturalisme.
Berbeda dengan semiotika dan strukturalisme yang lebih idealis, mereka
menerapkan pendekatan fungsionalisme yang menekankan adanya kaitan sosial
antara simbolisme dengan kekuasaan dan kelas sosial. Mereka beranggapan bahwa
struktur sosial, seperti otoritas kelas dan politis, tidak dapat diinterpretasi
sebagai akting yang "melawan" kebudayaan, karena pemahaman semacam
itu mengimplikasikan bahwa sistem sosial tidak dapat dipenetrasi oleh makna.
Foucault salah
seorang penganut pascastrukturalisme menelaah masalah perilaku seksual dan
mengaitkannya dengan transisi dari suatu periode awal modernisasi yang
masyarakatnya lebih represif --di mana penyelewengan seksual diancam dengan
hukuman-- ke priode yang lebih modern dan lebih menerapkan paedagogis dan
terapis. Ia menganggap bahwa perkembangan yang lebih modern itu tidak harus
diartikan sebagai suatu pengurangan kontrol sosial terhadap perilaku seksual,
namun suatu aturan seksual yang dilihat sebagai kekuasaan budaya (cultural
power) yang mendisiplinkan seksualitas.
Menurut
Alexander, berbagai perkembangan terbaru kajian kebudayaan mempunyai satu titik
temu, yaitu sama-sama menekankan sifat otonom kebudayaan dari pengaruh struktur
sosial. Karena kebudayaan adalah sistem yang sarat makna, maka makna dari suatu
sistem ideologi atau kepercayaan tidak dapat dilihat dari perilaku sosial ;
makna itu harus dipelajari sebagai pola yang ada di dalam ideologi atau
kepercayaan itu sendiri. Ia menyimpulkan bahwa kita tidak dapat memahami
kebudayaan tanpa mengacu pada makna subyektif, dan kita tidak dapat memahaminya
tanpa mengacu pada kendala struktur sosial. Kebudayaan dan masyarakat adalah
masalah yang kompleks. Keduanya tidak dapat dipelajari dengan hanya satu
kerangka pemikiran kelompok tertentu.
© Irhash A.
Shamad
dipulikasikan juga di www.irhash.webs.com on April 19,2009 at 11:58 AM
dipulikasikan juga di www.irhash.webs.com on April 19,2009 at 11:58 AM
Posting Komentar