Karya Roman Hamka “Di Bawah Lindungan Ka’bah” berada pada setting sosial masyarakat Minangkabau pada awal abad ke-20. Pada waktu ini kehidupan masyarakat berada di bawah pemerintahan kolonial dan jauh dari gambaran kehidupan masyarakat Padang masa kini, dimana alat transportasi dan komunikasi masih sangat jauh tertinggal dibandingkan waktu sekarang.
Melalui roman yang ditulis sekitar
tahun 1936 ini, Hamka ingin menyampaikan pesan tentang realitas masyarakat yang
masih dibelenggu perbedaan kelas sosial
(kaya dan miskin). Realitas ini pula yang membuat cinta sepasang remaja (Hamid
dan Zainab yang menjadi tokoh utama kisah ini), menjadi tidak kesampaian
(Kasiah Tak Sampai). Bagian ini kemudian oleh Hamka dimanfaatkan untuk
menyampaikan pesan agama melalui alur cerita ‘pelarian’ Hamid untuk membendung
hasrat cinta yang terhalang perbedaan kelas itu dengan cara ‘menemui Tuhan’, yang
dia tahu, dalam Islam (di mata Tuhan) tidak ada perbedaan kelas sosial (kaya dan miskin), kecuali hanya oleh derajat
keimanan dan ketaqwaan manusia itu sendiri.
Pada tahun 1981 Asrul Sani pernah mengangkat
kisah ini ke layar lebar dengan judul yang sama. Film ini oleh Asrul Sani dikaitkan dengan
perlawanan terhadap penjajahan Belanda dan otoritas ortodoksi agama dalam
kerangka pembaharuan Islam. Namun karena iklim politik masa pemerintahan Orde
Baru yang alergi dengan apapun yang berbau Ka’bah, akhirnya judul film ini
diganti dengan “Para Perintis Kemerdekaan”
Tahun 2011, setelah mencatat kisah
sukses beberapa film produksinya, produser Dhamoo Punjabi dan Manoj Punjabi
melalui MD Picture kembali mengangkat karya Hamka Di Bawah Lindungan Ka’bah ini untuk menyusul sukses film Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman
El-Shirazy, kemudian film “Ketika Cinta
Bertasbih I dan II”, dan terakhir film Dalam
Mahrab Cinta karya novelis yang sama
Ketiga film ini sukses besar karena
berhasil memenuhi selera zaman (zeitgeist)
dimana trend muslimah berjilbab menjadi arus utama gaya hidup di kalangan muslim
Indonesia kontemporer, tema-tema
tontonan kisah cinta perempuan berjilbab mendapatkan tempat tersendiri di
masyarakat. Bahkan perkembangan ini telah dikondisikan pula oleh trend
buku-buku bacaan Islam serta kisah-kisah cinta Islami yang sangat laku di pasaran.
Kedua fenomena itulah yang agaknya
mendorong MD Picture tahun yang lalu mengangkat kembali Roman karya Hamka ini
ke layar lebar untuk konsumsi suasana lebaran Idul Fitri 1432 H yang lalu.
Penggarapan film Di Bawah Lindungan
Ka’bah versi MD Picture yang disutradarai Hanny R. Saputra dan penulis scenario
Armantona dan Titien Wattimena ini, boleh dibilang luar biasa. Paling tidak,
dari segi pembiayaannya yang konon mencapai angka 25 Milyar itu jelas jauh
lebih tinggi dan melampaui pembiayaan film-film yang mendahuluinya. Hampir
semua properti dibuat mendekati bentuk serta ukuran aslinya, apalagi
artis-artis yang membintanginya terbilang cukup senior di blantika perfilman
nasional, seperti Widyawati, Didi Petet,
Yenny Rachman, dan Leroy Osmani, ditambah lagi dengan bintang-bintang yunior
yang sedang berkilau Herjunot Ali, Laudya Chintia Bella, Tarra Budiman dan
Niken Anjani, cukup menjadi jaminan bahwa film ini akan tergarap optimal serta
memenuhi tuntutan penggemar film nasional.
Penggarapan sebuah film yang katanya
: based on Indonesia’s best remembered
novel by Buya Hamka ini, meski
telah berusaha untuk masuk ke setting zaman tahun 20an, namun terasa ada saja
beberapa frame tertentu yang membuat karya
besar ini terekspresikan menjadi film yang cenderung “picisan”, terutama manakala tuntutan selera penonton masa kini disajikan ahistoric dan
tanpa mempertimbangkan latar budaya masyarakat yang jauh dari jangkauan modernisasi.
Beberapa bagian ini, menurut penulis, merupakan penggarapan yang sangat mendangkalkan
ide cerita secara keseluruhan. Hukuman sosial terhadap Hamid atas kesalahannya
berbuat sumbang dengan memberi bantuan pernafasan melalui mouth to mouth ventilation kepada Zainab yang tercebur ke sungai,
terasa sangat anakronis dengan situasi zaman. Kasus ini pula yang oleh penulis
skenario dijadikan alasan kenapa Hamid kemudian harus terusir dari kampung
halamannya.
Alur cerita novel roman karya Hamka,
sebenarnya, ingin memberikan alasan bagi ‘pelarian’ Hamid yaitu keputusasaan
atas realitas sosial masyarakatnya yang mempertahankan perbedaan status sosial
kaya dan miskin yang sangat bertolak belakang dengan ajaran agama Islam. Lalu ‘memaksa’nya
meninggalkan Zainab dan berangkat menuju Makkah sebagai yang pernah ia
cita-citakan, dengan keyakinan bahwa segala cita2 dan hasrat cinta seorang
hamba hanya akan ditentukan oleh Allah SWT. Namun dalam film ini alasan tersebut
menjadi sedikit terganggu oleh kisah pengusiran Hamid dan meninggalnya sosok
ibu sebagai satu-satunya keluarga Hamid yang seolah dijadikan alasan lain
kenapa Hamid kemudian meninggalkan kampungnya buat selama-lamanya.
Kisah romantic film ini memfokus
pada kisah percintaan zaman doeloe yang tentunya puncak paling kritis dari plot
cerita ditempatkan pada ‘perpisahan’ kedua insan ini pada waktu Hamid akan
meninggalkan Zainab. Namun, tanpa mengurangi akting Herjunot Ali dan Laudya
Chintya Bella di saat saat tragis di tempat rendezvous
di mana keduanya saling berbicara di balik dinding kayu atau di saat Zainab
mengejar Hamid ke stasiun, ternyata ter’kalah’kan oleh ekspressi cinta Hamid
dan ibunya yang diperankan Yenny Rachman dengan sangat luar biasa. Yenny
Rachman yang telah memiliki pengalaman akting begitu banyak ini mampu
menerjemahkan ide cerita dengan sangat bagus. Sebagai janda yang mengalami
konflik batin antara menyetujui keinginan anaknya dan merestui hubungan
“terlarang” Hamid dengan putri majikannya atau melarang hubungan itu karena
tebalnya garis pembatas antara status sosial keluarganya dengan keluarga
majikannya dan lalu dia harus menyakiti perasaan anaknya sendiri. Ini adalah parental complex sydrom yang terekspresikan
dengan lebih baik pada film ini melebihi sindrom “kasiah tak sampai” nya Hamid dan Zainab yang merupakan tema utama
cerita sesungguhnya.
Pencitraan karya roman yang diangkat
ke layar lebar menjadi sangat ironis ketika penggunaan peran pembantu dan
properti-properti yang tidak mempertimbangkan situasi sosial dimana dan kapan
cerita aslinya disetting oleh penulis. Dalam film ini sangat terasa ‘kegagalan’
sutradara yang ‘memaksakan diri’ menampilkan sosok tokoh besar dalam alur
cerita yaitu Kiyai Haji Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan (Kyai Haji)
Agussalim. Keduanya tidak asing lagi dalam sejarah perjuangan bangsa ini. Namun
pemunculan keduanya dalam beberapa frame sebagai obyek “foto bersama” terkesan tidak
memiliki historisitas, bahkan sangat memprihatinkan.
Hal yang lebih parah lagi bila
kesyahduan kisah roman ini diinterpolasi pula dengan pariwara terselubung yang sangat
anakronis, seperti munculnya beberapa
frame yang ‘memperlihatkan Kacang Garuda dalam bungkus yang dilabel dengan
ejaan lama “Garoeda Katjang Koelit” yang kita tahu bahwa sejarah Garuda Food
yang memproduksi kacang, baru pada akhir tahun 1950an, demikian juga obat
nyamuk yang dibakar di atas kertas pembungkus yang bermerek Baygon yang juga
muncul pada beberapa frame, menjadi sebuah manipulasi sejarah yang salah untuk
pembenaran historis pengalaman produk yang mensponsori film ini tentunya.
Namun demikian, diakui bahwa
kehadiran film ini di tengah kegersangan film nasional bermutu, terasa sangat
besar artinya bagi perfilman nasional, beberapa komentar dari negara-negara
tetangga tentang film ini, memberi peluang film nasional yang satu ini akan mampu
berkompetisi di ajang kompetisi film internasional, atau paling tidak di
tingkat Asean, mudah-mudahan….amiin.
© Irhash A.
Shamad.
Disampaikan
dalam acara Bedah Film dan Pameran Dokumenta Historika, Laboratorium Sejarah
pada Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang
07 Maret 2012
Posting Komentar