Belum
berjarak dua minggu, aku sepertinya harus menulis lagi catatan harian yang
lagi-lagi bernada lirih, karena duka atas” kepergian” orang-orang yang sangat
dekat denganku. Setelah Ibunda, kepergian seorang saudaraku, yang sejak lebih
dari tiga puluh tahun selalu bersama, kembali mengusik ruang kesadaranku.
Saudaraku itu adalah Dr. H. Ahmad Shafwan Nawawi, M. Ag dan aku memanggilnya secara
akrab dengan sebutan Pak Haji. Ia dipanggil oleh Yang Maha Kuasa menghadapNya
pada dini hari Rabu 20 Oktober 2010 (jam 00.10) setelah menjalani operasi tumor
ginjal di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Pak Haji denganku (sejak 33 tahun yang
lalu) sama-sama mengayuh dalam satu biduk untuk mengemban amanah cita-cita,
mengawali pendidikan tinggi sejak tahun 1977 di fakultas yang sama (Adab), dan
setelah selesai menamatkan studi, di sini pulalah kami sama-sama mengawali
karir sejak dari CPNS (Cados) pada tahun 1986 yang lalu. Meski kami memiliki
latar pendidikan menengah yang sama, namun di sini kami memilih bidang studi
yang berbeda, tapi perbedaan bidang studi itu pulalah yang terkadang membuat
kami merasa selalu harus bersama. Bila pak Haji memilih studi Sastra Arab, aku
memilih menekuni Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Bagai halilintar menggelegar di tengah malam kurasakan saat aku mendengar informasi ‘kepergiannya’ yang aku terima beberapa menit setelah ia dinyatakan berpulang ke rahmatullah di ruang perawatannya nun di Jakarta sana. Saudaraku yang beberapa waktu sebelumnya masih terlihat segar tanpa sedikitpun ada bayangan sakit yang dideritanya, ternyata telah ‘pergi’ menghadap Khaliqnya. Masih segar dalam ingatanku dialog canda kami menjelang Ramadhan 1341 yang lalu sebelum almarhum berangkat ke Australia menunaikan tugas keummatan selama bulan suci itu. Kami “menertawakan” berbagai hal ketimpangan persepsi yang terjadi di lembaga kami yang kemudian menimbulkan dilemma antara tugas keummatan atau keislaman dengan realitas administratif pendidikan oleh Negara, meski lembaga ini sesungguhnya mempunyai misi yang berorientasi keummatan dan keislaman, namun dimensi administrasi sering membuat hakikat misi itu menjadi kaku. Dialog ini terjadi sehubungan dengan proses izin Pak Haji meninggalkan tugas-tugas selama berdakwah ke Australia. Sebagaiatasan administratif ada keharusan aku harus berjalan diatas aturan-aturan kaku yang terkadang bertolak belakang dengan pemikiranku. Pak Haji sangat memahami itu, namun, disinilah aku betul-betul melihat komitmen seorang Shafwan khusus dalam hal sikap keberagamaannya, “Bagiku tidak ada persoalan izin, karena yang akan kujalankan adalah misi lembaga kita juga, meski konsekuensinya saya harus diberhentikan sebagai pegawai negeri” ini dikemukakannya kepadaku setelah berbagai upaya untuk mendapatkan izin dari pihak pimpinan tertinggi lembaga kami, mengalami kebuntuan. Tema inilah yang kemudian memotivasi kami untuk terlibat dalam pembicaraan panjang sebelum Ramadhan itu. Perlu aku kemukakan, bahwa meskipun secara administratif aku adalah atasannya, namun dalam keseharian kami tetaplah sebagai teman. Jujur aku katakan bahwa sejak dulu dia banyak memberikan inspirasi terutama dalam hal sikap keberagamaanku, bahkan dalam hal ini kuakui, dia (sesungguhnya) adalah guru bagiku. Ini pulalah alasannya, kenapa dari dulu aku tidak pernah memanggilnya dengan menyebut nama tapi dengan sebutan Pak Haji, meski kami masih dalam satu generasi dan hanya terpaut beberapa tahun saja.
Meski antara aku dan Pak Haji memiliki kesamaan karir dan tujuan, namun kami pernah menempuh jalan yang berbeda. Kami miniti karir sebagai dosen fakultas Adab bersama-sama dalam bidang yang berbeda. Beberapa tahun kami pernah terpisah sebelum menyelesaikan tingkat sarjana, pak Haji menambah wawasan luar negeri (Sudan) sedangkan aku hanya memilih menuntaskan studi di fakultas Adab, namun kamipun akhirnya bersama kembali dalam menyelesaikan kesarjanaan di fakultas yang sama. Selesai pendidikan tingkat sarjana, pada tahun 1986, kamipun sama-sama membaktikan diri di dua lembaga yang dibentuk di almamater kami ; Aku memimpin Lembaga Kebudayaan Islam, sedangkan pak Haji memimpin Lembaga Bahasa dan Tarjamah pada fakultas yang sama, itupun karena perbedaan bidang yang kami tekuni masing-masing. Begitu juga selama berkarir sebagai dosen di fakultas Adab kamipun pernah memiliki interest aktifitas yang berbeda, pak Haji lebih banyak beraktifitas di bidang keagamaan dan kemasyarakatan serta beberapa waktu di dunia politik, sementara aku lebih banyak menekuni aktifitas internal lembaga saja. Aktifitas sosial keagamaannya itulah yang, menurutku, telah membentuk karakater yang begitu kuat dalam keperibadiannya. Bahkan prestasi pribadi dalam bidang ini boleh di bilang luar biasa, meski pernah (di waktu tertentu) dia hampir betul-betul “terjerumus” di dunia politik dan mengabaikan tujuan ideal pendidikannya sendiri dan bahkan nyaris mengabaikan karirnya di dunia perguruan tinggi. Tapi ini pulalah yang kemudian telah membuat aku begitu salut dari saudaraku ini. Pada saat ia “kembali” ke habitat semula, ia menyatakan padaku : “cukuplah bagi saya pengalaman dunia politik untuk proses pembelajaran, saya ambil apa yang seharusnya berguna bagi cita-cita ideal saya dalam berkomitmen pada umat”. Setelah itu, ternyata komitmen ini dia buktikan, dan secara kebetulan pula “pembelajaran” yang berguna itupun sangat mendukung cita-cita idealnya. Meskipun kemudian, kami kembali bersama dalam membaktikan diri di dunia pendidikan, namun aktifitas sosial yang dijalankannya tidak terlihat menurun, tapi justru malah makin menguat, komitmennya terhadap umat tidak makin pudar justru semakin mendapatkan bentuknya yang kokoh. Ini terbukti dari beberapa aktifitas keummatan yang dijalankannya beberapa tahun terakhir. Tanpa mengenal lelah ia membaktikan dirinya untuk pemberdayaan umat, meski dia harus membagi waktu secara ketat untuk tetap memenuhi tugas-tugas kelembagaan kami yang menjadi tugas utamanya. Ia membaktikan waktu-waktunya yang tersisa untuk berbakti pada umat. Namun sangat disayangkan pengabdiannya yang “keras” ini telah meluputkan perhatiannya pada kesehatan dirinya sendiri. Dari dulu aku mengerti betul tentang betapa kuatnya dia memegang sebuah komitmen, meski untuk itu dia harus mengorbankan kepentingannya sendiri, dia sosok pribadi yang tanpa pamrih bila itu menyangkut umat. Namun, sangat kusesali kenapa akupun luput mengingatkan dia untuk menyeimbangkan kedua interes ini dalam kehidupannya.
Kepergiannya membawa duka yang begitu dalam bagiku, dan tentunya juga, bagi banyak orang. Perasaan kehilangan seorang sosok teman dalam arti yang sesungguhnya. Banyaknya orang yang menunjukkan simpati atas kepergiannya cukup membesarkan hati, betapa temanku ini semasa hidupnya sangat berarti bagi banyak orang, namun itu belum cukup untuk mengurangi rasa duka atas kepergiannya. Sikap hidup yang dia tunjukkan telah memberi pelajaran berharga, setidaknya bagi aku sendiri. Masih banyak “dialog yang aku perlukan dengannya…..tapi ia keburu pergi menemui sang Khaliq. Selamat Jalan Saudaraku……..semoga pengabdianmu dibalasi oleh Allah dengan balasan yang setimpal, amiin !
©Irhash FB 21 Oktober 2010