Akhir-akhir ini pembahasan tentang Tuanku Imam Bonjol kembali menguat. Meski sebagai pahlawan nasional keberadaannya sudah final, ternyata masih muncul wacana untuk mereduksi kepahlawanannya itu, terutama sejak diterbitkannya karya Basyral Hadi Harahap yang berjudul : Greget Tuanku Rao (2007) menyambut diterbitkannya kembali buku Mangaraja Onggang Parlindungan yang berjudul Pongki Nangolngolan Sinambela Tuanku Rao (2006). Tulisan Basyral ini menggugat kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol sebagai pahlawan nasional, dan bahkan mengusulkan dicabutnya kembali gelar tersebut dengan alasan “kebrutalan” tokoh-tokoh Paderi dibawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol saat menyebarkan Islam ke tanah Batak. Setelah itu media massapun melansir berbagai tulisan terkait dengan “pencideraan” tokoh pahlawan dari Sumatera Barat ini. Beberapa seminar dan diskusipun dilaksanakan oleh tokoh-tokoh intelektual Minang perantauan untuk merespon wacana tersebut.
Berbarengan dengan itu muncul pula wacana utk menggugat konsensus "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah" (ABS-SBK) oleh segelintir kalangan. Beberapa jejaring sosial serta milis-milis yang sengaja dibuat untuk mempersoalkan eksistensi ABS-SBK, mulai dari tuduhan-tuduhan ‘inkarussunnah’ hingga ketidaksesuaian Minangkabau kini ‘menyandang’ adagium itu. Wacana yang muncul ini kemudian mendapatkan reaksi yang spontan dari masyarakat pengguna layanan jaringan maya, terlebih lagi dari mereka yang berasal dari latar kultur Minangkabau sendiri. Dari reaksi yang muncul ternyata sembilan dari sepuluh konten (thread dan komen) milis yang ada menyatakan perlawanan terhadap ‘gugatan’ itu, bahkan sebagian besar diantaranya dengan nada “mengamuk” karena ketersinggungan kultural terhadap apa yang disadari sejak lama telah menjadi bagian dari kehidupan mereka, dan sebagian kecil lainnya mencoba mencari ‘jalan tengah’ dan menyarankan perlunya revitalisasi ABS-SBK dalam masyarakat Minangkabau hari ini.
Gugatan-gugatan di atas muncul sebagai imbas dari hembusan nafas liberalisme dan deislamisasi global yang merasuki beberapa orang Minang dan luar Minang. Mereka kemudian mencoba menggoyahkan kemapanan kultural Minangkabau melalui upaya pendangkalan peran historis umat Islam di Minangkabau. Bila keberadaan Tuanku Imam Bonjol dan Paderi digugat dengan menstigmatisasi kepahlawanannya sebagai ‘kebrutalan’ melalui pemunculan fakta-fakta baru yang belum tentu obyektif, maka ABS-SBK justru dipancing dengan penelusuran asal usulnya yang (katanya) tidak dapat dibuktikan oleh sejarah, karena dokumen tentang “Sumpah Satie Bukik Marapalam” hingga kini tidak pernah dapat ditemukan. Adagium Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah (ABS-SBK) merupakan memori kolektif masyarakat Minangkabau yang sudah mapan. Adagium ini, telah berproses demikian lama dan mendasari kultur Minangkabau dan sejak lama menjadi nilai yang diperpegangi dalam setiap aspek kehidupan sosial masyarakatnya. Oleh karenanya adagium ini, baik yang bersifat sirkular "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Adat" (ABS-SBA) , maupun yang bersifat linear "Adat basandi Syara', Syara' Basandi kitabullah" (ABS-SBK), telah mendapat pengukuhan sebagai konsensus sosial/adat Minangkabau sejak masa-masa awal Islam menjadi anutan masyarakat di wilayah ini. Sepanjang itu, ternyata tidak ditemukan resistensi yang signifikan dari masyarakat Minangkabau hingga hari ini, it is true history!, meskipun tidak ada pencatatan tertulis tentang asal muasal terciptanya konsensus ini di masyarakat.
Ketiadaan pencatatan tertulis bukan berarti kehilangan sejarah, karena sejarah yang sesungguhnya adalah apa yang difikirkan dan dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat dalam suatu komunitas. Fakta bahwa hampir dua abad masyarakat Minang di kampung dan di rantau memaknai kehidupan kultural mereka di bawah adagium ABS-SBK tanpa reserve. Demikianpun berbagai aspek kehidupan sosial kultural masyarakat telah diwarnai dengan nuansa keislaman dan adat yang berpadu utuh, bahkan tak dapat dipungkiri, mereka akan marah kalau dikatakan tidak Islam sama seperti kalau dikatakan tidak beradat. Ini gambaran bagaimana kedua landasan ini begitu mengakar dalam kehidupan mereka, dan ini menjadi suatu fakta historis yang tak terbantahkan. Jika begitu, kenapa penggalian asal muasal menjadi perlu untuk pengukuhan sebuah konsensus sosial?, bukankah pembenaran historis berdasarkan konsideran logis realitas kehidupan masyarakat Minang itu merupakan dokumen historis yang sebenarnya sudah sangat kokoh?
Begitu juga penelusuran fakta kesejarahan masa lalu yang ‘kelam’ dan disadari telah menyulut konflik berkepanjangan dalam rentangan sejarah masyarakat ini. Konflik internal kaum agama dan kaum adat awal abad ke-19 yang berdarah-darah digambarkan sebagai bentuk ‘kebrutalan’ tokoh-tokoh agama dalam rangka menyebarkan agama Islam di wilayah ini . Antusiasme penggalian terhadap fakta-fakta peristiwa yang “hitam” ini (bukan “merah”) menjadi meningkat manakala ada berbagai kepentingan untuk menyudutkan Islam secara historis. Belanda sangat menyadari itu, dan dari awal telah ‘mempersiapkan’ bahan mentah untuk penggalian sejarah pada waktu-waktu kemudian. Beberapa tulisan telah dipersiapkan oleh para ahli mereka, dan beberapa diantaranya oleh kalangan kita sendiri.
Beberapa fakta yang dikemukakan dalam tulisan-tulisan itu patut dicurigai telah disitir oleh tangan-tangan ahli kolonial. Sebagai contoh apa yang terungkap dalam catatan Faqih Shaghir tentang tingkah laku kaum Paderi (dimana ia memposisikan diri bersebarangan dengan tindakan Paderi itu), tentang kebobrokan moral kalangan Tuanku yang dijuluki “Harimau Nan Salapan” digambarkan sebagaimana Belanda melihatnya, tidakkah patut dicurigai bahwa sebagian isi naskah itu sudah dimasuki kepentingan kolonial?, karena, seperti apa yang dikatakan Headler, bahwa catatan itu dibuat atas permintaan pemerintah kolonial (Headler,2010 : 30). Atau mungkinkah juga gambaran ‘penyesalan’ Tuanku Imam Bonjol seperti yang dimuat dalam Naskah Imam Bonjol yang juga ditulis dalam iklim yang sama, juga telah disitir sedemikian rupa?, wallahua’lam. Belum lagi bila kita menyebut referensi yang banyak ditulis oleh pegawai-pegawai kolonial lainnya yang secara terselubung mengemban kepentingan mereka di wilayah jajahan ini. Peristiwa Koto Tangah misalnya dalam banyak sumber disebutkan sebagai puncak pertikaian kaum agama dan keluarga kerajaan. Peristiwa ini digambarkan sebagai peristiwa tersadis dari kecurangan kaum Paderi terhadap keluarga kerajaan. Dikabarkan tentang Tuanku Lintau beserta pasukannya telah menjebak keluarga kerajaan dengan mengundang mereka untuk berunding. Kesempatan ini oleh Tuanku Lintau dan pasukannya digunakan secara licik untuk menghabisi seluruh keluarga kerajaan. Peristiwa ini diungkapkan oleh B.d salah seorang pegawai Belanda di Batavia bertanggal 10 Agustus 1827, namun baru dipublikasikan 18 tahun kemudian (cf. Rusli Amran, 1981:393). Padahal dalam salah satu majalah yang terbit di Belanda Tijdschrift van Nederlandsche Indie (1851) yang memuat salah satu karangan yang tidak disebutkan penulisnya menceritakan kisah sesungguhnya tentang pertikaian keluarga kerajaan dengan pasukan Tuanku Lintau yang tidak sesadis dan securang seperti digambarkan oleh B.d. itu (ibid,1981:394-5). Namun ternyata yang paling sering dirujuk untuk penulisan tentang peritiwa itu oleh penulis-penulis Belanda maupun pribumi adalah karya yang pertama.
Tijdschrift van Nederlandsche Indie adalah majalah yang diterbitkan di Belanda yang tidak mengemban misi kolonialisme, bahkan sangat kritis terhadap kebijakan pemerintahan Hindia Belanda. Tidak dicantumkannya nama penulis dalam majalah ini seyogianya dapat menjadi indikasi tentang betapa kuatnya kontrol pemerintahan Hindia Belanda terhadap penulisan sejarah yang menyangkut daerah jajahannya pada waktu itu.
Begitulah hingga saat ini kita seperti digiring kepada perspektif penulisan sejarah yang menempatkan kebenaran hanya bila rujukan yang digunakan adalah penulisan asing. Sumber-sumber itu dianggap paling kredibel oleh banyak penulis sejarah. Begitu juga menempatkan kredibilitas secara membabibuta itu pada sumber manuskrip, karena dianggap primer tanpa melihat konteks serta iklim politik dan intelektual pada saat manuskrip itu ditulis. Semua itu kemudian telah dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan ideologi besar dan global dalam rangka melemahkan potensi Islam di wilayah yang dianggap berbasis keislaman yang kuat ini.
Apa yang dikemukakan bukanlah sebuah pesimisme sejarah, akan tetapi justru akan menjadi sebuah kesadaran sejarah yang dipertimbangkan, karena menjadi sejarawan adakalanya perlu menyadari bahwa hari kini kita sesungguhnya juga sedang menciptakan sejarah.
Wallahu a’lamu bish-shawab
© Irhash A. Shamad
Disampaikan sebagai makalah bandingan pada Seminar Nasional “Eksistensi Historis Tuanku Imam Bonjol dan Purifikasi Islam di Minangkabau” yang diselenggarakan oleh Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang, Hotel Hayam Wuruk Padang, 12 Desember 2012
Berbarengan dengan itu muncul pula wacana utk menggugat konsensus "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah" (ABS-SBK) oleh segelintir kalangan. Beberapa jejaring sosial serta milis-milis yang sengaja dibuat untuk mempersoalkan eksistensi ABS-SBK, mulai dari tuduhan-tuduhan ‘inkarussunnah’ hingga ketidaksesuaian Minangkabau kini ‘menyandang’ adagium itu. Wacana yang muncul ini kemudian mendapatkan reaksi yang spontan dari masyarakat pengguna layanan jaringan maya, terlebih lagi dari mereka yang berasal dari latar kultur Minangkabau sendiri. Dari reaksi yang muncul ternyata sembilan dari sepuluh konten (thread dan komen) milis yang ada menyatakan perlawanan terhadap ‘gugatan’ itu, bahkan sebagian besar diantaranya dengan nada “mengamuk” karena ketersinggungan kultural terhadap apa yang disadari sejak lama telah menjadi bagian dari kehidupan mereka, dan sebagian kecil lainnya mencoba mencari ‘jalan tengah’ dan menyarankan perlunya revitalisasi ABS-SBK dalam masyarakat Minangkabau hari ini.
Gugatan-gugatan di atas muncul sebagai imbas dari hembusan nafas liberalisme dan deislamisasi global yang merasuki beberapa orang Minang dan luar Minang. Mereka kemudian mencoba menggoyahkan kemapanan kultural Minangkabau melalui upaya pendangkalan peran historis umat Islam di Minangkabau. Bila keberadaan Tuanku Imam Bonjol dan Paderi digugat dengan menstigmatisasi kepahlawanannya sebagai ‘kebrutalan’ melalui pemunculan fakta-fakta baru yang belum tentu obyektif, maka ABS-SBK justru dipancing dengan penelusuran asal usulnya yang (katanya) tidak dapat dibuktikan oleh sejarah, karena dokumen tentang “Sumpah Satie Bukik Marapalam” hingga kini tidak pernah dapat ditemukan. Adagium Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah (ABS-SBK) merupakan memori kolektif masyarakat Minangkabau yang sudah mapan. Adagium ini, telah berproses demikian lama dan mendasari kultur Minangkabau dan sejak lama menjadi nilai yang diperpegangi dalam setiap aspek kehidupan sosial masyarakatnya. Oleh karenanya adagium ini, baik yang bersifat sirkular "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Adat" (ABS-SBA) , maupun yang bersifat linear "Adat basandi Syara', Syara' Basandi kitabullah" (ABS-SBK), telah mendapat pengukuhan sebagai konsensus sosial/adat Minangkabau sejak masa-masa awal Islam menjadi anutan masyarakat di wilayah ini. Sepanjang itu, ternyata tidak ditemukan resistensi yang signifikan dari masyarakat Minangkabau hingga hari ini, it is true history!, meskipun tidak ada pencatatan tertulis tentang asal muasal terciptanya konsensus ini di masyarakat.
Ketiadaan pencatatan tertulis bukan berarti kehilangan sejarah, karena sejarah yang sesungguhnya adalah apa yang difikirkan dan dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat dalam suatu komunitas. Fakta bahwa hampir dua abad masyarakat Minang di kampung dan di rantau memaknai kehidupan kultural mereka di bawah adagium ABS-SBK tanpa reserve. Demikianpun berbagai aspek kehidupan sosial kultural masyarakat telah diwarnai dengan nuansa keislaman dan adat yang berpadu utuh, bahkan tak dapat dipungkiri, mereka akan marah kalau dikatakan tidak Islam sama seperti kalau dikatakan tidak beradat. Ini gambaran bagaimana kedua landasan ini begitu mengakar dalam kehidupan mereka, dan ini menjadi suatu fakta historis yang tak terbantahkan. Jika begitu, kenapa penggalian asal muasal menjadi perlu untuk pengukuhan sebuah konsensus sosial?, bukankah pembenaran historis berdasarkan konsideran logis realitas kehidupan masyarakat Minang itu merupakan dokumen historis yang sebenarnya sudah sangat kokoh?
Begitu juga penelusuran fakta kesejarahan masa lalu yang ‘kelam’ dan disadari telah menyulut konflik berkepanjangan dalam rentangan sejarah masyarakat ini. Konflik internal kaum agama dan kaum adat awal abad ke-19 yang berdarah-darah digambarkan sebagai bentuk ‘kebrutalan’ tokoh-tokoh agama dalam rangka menyebarkan agama Islam di wilayah ini . Antusiasme penggalian terhadap fakta-fakta peristiwa yang “hitam” ini (bukan “merah”) menjadi meningkat manakala ada berbagai kepentingan untuk menyudutkan Islam secara historis. Belanda sangat menyadari itu, dan dari awal telah ‘mempersiapkan’ bahan mentah untuk penggalian sejarah pada waktu-waktu kemudian. Beberapa tulisan telah dipersiapkan oleh para ahli mereka, dan beberapa diantaranya oleh kalangan kita sendiri.
Beberapa fakta yang dikemukakan dalam tulisan-tulisan itu patut dicurigai telah disitir oleh tangan-tangan ahli kolonial. Sebagai contoh apa yang terungkap dalam catatan Faqih Shaghir tentang tingkah laku kaum Paderi (dimana ia memposisikan diri bersebarangan dengan tindakan Paderi itu), tentang kebobrokan moral kalangan Tuanku yang dijuluki “Harimau Nan Salapan” digambarkan sebagaimana Belanda melihatnya, tidakkah patut dicurigai bahwa sebagian isi naskah itu sudah dimasuki kepentingan kolonial?, karena, seperti apa yang dikatakan Headler, bahwa catatan itu dibuat atas permintaan pemerintah kolonial (Headler,2010 : 30). Atau mungkinkah juga gambaran ‘penyesalan’ Tuanku Imam Bonjol seperti yang dimuat dalam Naskah Imam Bonjol yang juga ditulis dalam iklim yang sama, juga telah disitir sedemikian rupa?, wallahua’lam. Belum lagi bila kita menyebut referensi yang banyak ditulis oleh pegawai-pegawai kolonial lainnya yang secara terselubung mengemban kepentingan mereka di wilayah jajahan ini. Peristiwa Koto Tangah misalnya dalam banyak sumber disebutkan sebagai puncak pertikaian kaum agama dan keluarga kerajaan. Peristiwa ini digambarkan sebagai peristiwa tersadis dari kecurangan kaum Paderi terhadap keluarga kerajaan. Dikabarkan tentang Tuanku Lintau beserta pasukannya telah menjebak keluarga kerajaan dengan mengundang mereka untuk berunding. Kesempatan ini oleh Tuanku Lintau dan pasukannya digunakan secara licik untuk menghabisi seluruh keluarga kerajaan. Peristiwa ini diungkapkan oleh B.d salah seorang pegawai Belanda di Batavia bertanggal 10 Agustus 1827, namun baru dipublikasikan 18 tahun kemudian (cf. Rusli Amran, 1981:393). Padahal dalam salah satu majalah yang terbit di Belanda Tijdschrift van Nederlandsche Indie (1851) yang memuat salah satu karangan yang tidak disebutkan penulisnya menceritakan kisah sesungguhnya tentang pertikaian keluarga kerajaan dengan pasukan Tuanku Lintau yang tidak sesadis dan securang seperti digambarkan oleh B.d. itu (ibid,1981:394-5). Namun ternyata yang paling sering dirujuk untuk penulisan tentang peritiwa itu oleh penulis-penulis Belanda maupun pribumi adalah karya yang pertama.
Tijdschrift van Nederlandsche Indie adalah majalah yang diterbitkan di Belanda yang tidak mengemban misi kolonialisme, bahkan sangat kritis terhadap kebijakan pemerintahan Hindia Belanda. Tidak dicantumkannya nama penulis dalam majalah ini seyogianya dapat menjadi indikasi tentang betapa kuatnya kontrol pemerintahan Hindia Belanda terhadap penulisan sejarah yang menyangkut daerah jajahannya pada waktu itu.
Begitulah hingga saat ini kita seperti digiring kepada perspektif penulisan sejarah yang menempatkan kebenaran hanya bila rujukan yang digunakan adalah penulisan asing. Sumber-sumber itu dianggap paling kredibel oleh banyak penulis sejarah. Begitu juga menempatkan kredibilitas secara membabibuta itu pada sumber manuskrip, karena dianggap primer tanpa melihat konteks serta iklim politik dan intelektual pada saat manuskrip itu ditulis. Semua itu kemudian telah dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan ideologi besar dan global dalam rangka melemahkan potensi Islam di wilayah yang dianggap berbasis keislaman yang kuat ini.
Apa yang dikemukakan bukanlah sebuah pesimisme sejarah, akan tetapi justru akan menjadi sebuah kesadaran sejarah yang dipertimbangkan, karena menjadi sejarawan adakalanya perlu menyadari bahwa hari kini kita sesungguhnya juga sedang menciptakan sejarah.
Wallahu a’lamu bish-shawab
© Irhash A. Shamad
Disampaikan sebagai makalah bandingan pada Seminar Nasional “Eksistensi Historis Tuanku Imam Bonjol dan Purifikasi Islam di Minangkabau” yang diselenggarakan oleh Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang, Hotel Hayam Wuruk Padang, 12 Desember 2012