Ekspansi Jepang ke selatan, khususnya Asia tenggara selain bertujuan untuk eksploitasi sumber daya alam, terutama minyak bumi, juga dalam rangka meraih supremasi dan pertahanan dalam negeri serta penguasaan wilayah dengan menggunakan slogan “kemakmuran bersama Asia Timur Raya” (Dai to A Kyo Ei Ken). Namun demikian ekspansi ke selatan ini menghadapi berbagai kondisi yang tidak sama di tiap wilayah, karena perbedaan situasi politik wilayah jajahan serta latar belakang potensi alam dan budaya di masing-masing wilayah yang menuntut pendekatan dan penanganan yang berbeda pula. Namun demikian, ada persamaan karakteristik ekspansi, yaitu ekspansi atas nama kepentingan politik dan militer. Sama halnya juga dengan Tiongkok yang merupakan wilayah ‘nyawa’ bagi Jepang dalam pemasokan keperluan ekonomi dan militer, maka wilayah selatan (Asia tenggara) dirasakan tidak kurang pula pentingnya , baik dari sudut sumber daya alam (logistik dan minyak bumi), maupun potensi-potensi yang dimiliki dalam rangka mendukung aksi militer Jepang menghadapi sekutu.
Awal ekspansi Jepang ke selatan pada dasarnya telah dimulai semenjak sebelum Perang Dunia II. Vietnam, diduduki untuk mengamankan jalur transportasi perdagangan Jepang dan Cina (Yunan). Bersamaan dengan itu juga Thailand diduduki secara damai. Indo Cina dilihat sebagai pemenuhan kebutuhan logistik terutama untuk keperluan perang karena potensi alamnya yang kaya dengan beras. Seperti halnya dengan Indo Cina, maka wilayah Philipina diduduki hanya untuk diberikan kemerdekaan. Wilayah yang disebutkan terakhir lebih dimotivasi oleh pengamanan strategis dan karena menyangkut keberadaan Amerika. Sedangkan Indonesia dan Malaysia adalah merupakan wilayah sumber alam minyak yang penting, oleh karenanya akan dipertahankan sebagai wilayah pendudukan.
Melihat latar belakang kultural masyarakat Asia tenggara, secara umum, Jepang beranggapan bahwa untuk menguasai wilayah ini harus menggunakan pendekatan terhadap golongan konservatif, karena dengan demikian diharapkan tidak munculnya gerakan-gerakan kebangsaan. Disamping itu kekuatan propaganda dengan slogan “Asia untuk Asia” sangat efektif untuk “menjinakkan” masyarakatnya, karena pada umumnya rakyat Asia tenggara tengah berhadapan dengan kolonialis Barat.
Pendekatan pertama tidak mengalami hambatan di beberapa wilayah seperti Malaysia dimana Jepang berhasil merangkul elit tradisional yang konservatif. Oleh karenanya di sini tidak muncul perlawanan rakyat yang berwujud gerakan kebangsaan. Di Birma tokoh gerakan kebangsaan (Aung San) telah dirangkul terlebih dahulu pada saat Birma berhadapan dengan Inggeris. Berbeda halnya dengan di Indonesia yang sebelum kedatangan Jepang telah muncul gerakan kebangsaan dibawah pimpinan Soekarno dan Hatta. Namun akhirnya Jepangpun berhasil berkolaborasi dengan elit nasional ini untuk menjalankan propagandanya yaitu dengan masuknya Soekarno ke dalam gerakan “Tiga A”. Pendekatan Jepang ini hampir-hampir tidak menemui kendala, meskipun ada perlawanan-perlawanan rakyat terutama dari golongan kiri (komunisme) seperti munculnya gerakan anti Jepang MPAJA (Malay People’s Anti Japan Army) dan perlawanan Tan Malaka, kecuali itu, yang atas nama kepentingan kolonial di Indonesia dilakukan oleh KNIL.
Jepang dan Islam di Sumatera Barat
Sikap Jepang terhadap Islam di Indonesia telah digambarkan dalam “Prinsip-Prinsip Mengenai Pemerintahan Militer di Wilayah Pendudukan” (Senryochi Gunsei Jisshi Yoko) yang dikeluarkan pada tanggal 14 Maret 1942 yang menyatakan antara lain “bahwa agama-agama harus dihormati sejauh mungkin untuk menjaga kestabilan pikiran rakyat….kaum muslim, harus diberikan perhatian khusus untuk memanfaatkan mereka dalam rangka mencengkram pikiran rakyat ” (Kurasawa, 1993: 274). Dengan demikian jelas bahwa upaya mendekati kalangan agama dan memberi tempat tersendiri dalam kebijakan pemerintahan pendudukan Jepang di Indonesia merupakan bagian dari operasi propaganda Jepang. Kaum agama (baca : ulama) oleh pemerintahan pendudukan, dianggap memiliki potensi untuk memanipulasi pikiran rakyat dalam rangka memobilisasi rakyat untuk perang “Asia Timur Raya”. Tidak itu saja, Jepang telah membentuk beberapa organisasi ulama seperti Masyoemi, namun juga kelembagaan yang akan berfungsi sebagai pengontrol, seperti shumuka (seksi urusan keagamaan) di setiap keresidenan. Bahkan untuk kaum ulama dilaksanakan program pelatihan khusus yang disebut dengan ”Kiyai Koshokai” dalam rangka mempersiapkan mereka menjadi alat propaganda Jepang.
Jepang masuk di Sumatera Barat (Minangkabau) tanggal 13 Maret 1942 dan empat hari setelah itu hampir semua kota penting diduduki tanpa perlawanan dari Belanda. Seiring dengan itu di Padang dilaksanakan serah terima kekuasaan atas Sumatera Barat antara Jepang dan Belanda. Kadatangan Jepang ke Sumatera Barat pada awalnya sangat mencemaskan masyarakat, namun dalam berbagai kesempatan Jepang menyerukan bahwa kedatangannya adalah sebagai saudara tua untuk membebaskan rakyat dari penjajahan barat. Jepang menyiarkan slogan “Asia untuk Asia” melalui agen-agen mereka. Rakyat banyak di berbagai kota menyambut kehadiran Jepang dengan sangat antusias, terutama rakyat yang tidak mengerti sama sekali dengan perkembangan politik global.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya di Sumatera Barat, Jepang pada awalnya tidak banyak melakukan perubahan struktur pemerintahan, kecuali perubahan nomenklatur ke bahasa Jepang seperti Sumatera Westkust diganti Sumatra Neishi Kaigun shu, Asisten Residen diganti dengan Bun Shuco, afdeling dengan Bun, Onder afdeling dengan Fuku Bun, Distrik dengan Gun, dan seterusnya. Jepang juga masih menggunakan pegawai-pegawai pribumi yang dulu pernah bekerja dengan Belanda. Ini disebabkan oleh karena bangsa Jepang yang datang pertama kali adalah serdadu-serdadu yang tidak mengerti soal pemerintahan sipil. Jepang juga tidak melarang rakyat di daerah ini mengibarkan bendera Merah Putih bergandengan dengan bendera Hinomaru. Rakyat diberi kebebasan untuk mendirikan perkumpulan-perkumpulan dan sekolah-sekolah. Pemimpin masyarakat juga dibolehkan,--bahkan menganjurkan-- untuk mendirikan Komite Rakyat yang bergerak di bidang sosial, terutama mengurangi ekses akibat perang.
Keadaan seperti digambarkan di atas ternyata tidak berlangsung lama. Setelah Jepang merasakan makin terdesak oleh pasukan gabungan Sekutu, “keramahan” Jepang terhadap rakyat mulai berbalik seratus delapan puluh derajat. Apalagi keperluan finansial bagi perang menghadapi Sekutu makin meningkat, sementara sumber penghasil tidak bertambah. Karena itu kebijakan eksploitasi tenaga kerja rakyat untuk kepentingan Jepang mulai terlihat. Rakyat dipaksa bekerja pada pabrik-pabrik. Penyiksaan-penyiksaan kejam terhadap rakyat yang membangkang oleh kempetai terlihat dimana-mana. Kebebasan para pemimpin rakyat dibatasi, demikian juga organisasi dan perkumpulan hanya diperbolehkan melaksanakan kegiatan yang berorientasi pengabdian bagi kepentingan Jepang.
Dalam bidang pendidikan Jepang melakukan perubahan-perubahan secara mendasar. Sekolah-sekolah dimobilisasi untuk kepentingan Jepang. Melalui jalur ini pemerintahan pendudukan ini berusaha untuk men“jepang”kan anak-anak Indonesia dengan berbagai cara. Di sekolah para murid sekolah dalam berbagai tingkatan diajarkan bahasa Jepang, mereka juga dilatih taiso (sejenis senam pagi ala Jepang), bergotong royong ala Jepang, bahkan juga latihan militer. Kegiatan-kegiatan ini justru lebih banyak dilaksanakan dibanding belajar. Para pemuda dilatih secara militer untuk keperluan Kei-bo-dan (pembantu polisi), Sei-nen-dan (penjaga keamanan kampung), Hei-ho (prajurit Asia Timur Raya), Romusha (tentara pembangun Asia Timur Raya), dan Gyugun (tentara Sukarela) (Martamin,1978:104). Tujuan diberikannya latihan-latihan militer oleh Jepang adalah dalam rangka mempersiapkan tentara untuk Perang Asia Timur Raya. Meskipun kemudian sangat bermanfaat bagi bangsa ini dalam memperjuang dan mempertahankan kemerdekaan.
Untuk membantu mobilisasi kalangan pemuda, pemerintahan Jepang memaksakan kepada para ulama untuk memfatwakan bahwa perang Asia Timur Raya sebagai perang Sabil. Oleh kalangan ulama, kewenangan ini digunakan justru untuk meyakinkan rakyat bahwa memerangi bangsa asing termasuk perang sabil, dalam hal ini termasuk bangsa Jepang. Para ulama yang tergabung dalam Majlis Islam Tinggi (MIT) bersama-sama dengan golongan Cadiak Pandai dan golongan adat memberikan dorongan kepada pemuda untuk mengikuti pelatihan-pelatihan militer seperti yang dianjurkan oleh Jepang.
Majlis Islam Tinggi (MIT) sebagai satu-satunya organisasi ulama Sumatera Barat, pada waktu ini meminta kepada Jepang agar diizinkan mendirikan Gyugun. Pemuda-pemuda Sumatera Barat didorong untuk menjadi pasukan Gyugun supaya mendapat pelatihan kemiliteran dari Jepang. Dengan dorongan para pemimpin rakyat itu banyak pemuda-pemuda mendaftarkan diri menjadi Gyugun. Diantara pemuda Islam yang tercatat adalah M. Dahlan Djambek, Ismail Lengah, Syarif Usman, Dahlan Ibrahim, Syofyan Nur, Syofyan Ibrahim. A. Thalib, Nurmatias, Sayuti Amin, Alwi St. Marajo, Syefei Ali, Mahyuddin Tonek, Burhanuddin, Munir Latif dan banyak lagi yang lain. Pada umumnya mereka adalah pemuda-pemuda terbaik daerah ini (Martamin,1978:109). Sedangkan tokoh yang ditugaskan untuk merekrut calon-calon Gyugun itu adalah : Ahmad Dt. Simarajo dari golongan adat, Mahmud Yunus dari golongan alim ulama (yang kemudian dikenal sebagai tokoh pendidikan Islam Indonesia), dan Khatib Sulaiman dari golongan cendikawan (BPSIM,1978,I :123 ; Mahmud Yunus, 1979;122). MIT melalui ketiga tokoh itu meminta kepada pemuda-pemuda yang masuk Gyugun agar selalu berjiwa Islam dan nasionalis. Pemuda-pemuda terlatih dalam Gyugun inilah yang pada masa revolusi menjadi lasykar-lasykar rakyat bentukan partai dan organisasi di daerah ini dalam mempertahankan kemerdekaan.
“Dukungan semu” yang diberikan oleh kaum ulama Sumatera Barat pada masa pemerintahan Jepang, ternyata telah membutakan mata Jepang dalam melihat apa yang ada dibalik dukungan ulama dalam pembentukan Gyugun. Tokoh masyarakat seperti ulama dan tokoh adat serta para cendikawan pada waktu ini hanyalah berfikir bagaimana kemerdekaan dapat segera di capai. Dengan mempersiapkan tenaga terlatih, tentu pada saatnya akan memuluskan rencana “belakang layar” itu.
Sama seperti di masa Belanda, pada masa pendudukan Jepang ini peran ulama sangat besar sekali, terutama dalam menyelamatkan rakyat dari penindasan dan pengibirian terhadap Islam sendiri serta mempersiapkan kalangan pemuda dalam rangka menuju kemerdekaan. Melawan secara terang-terangan tentu merupakan perhitungan yang keliru pada waktu ini, karena itu kalangan ulama memberikan motivasi yang sangat kuat kepada rakyat untuk melawan dengan diam-diam, sambil berlindung dibalik dukungan terhadap Perang Asia Timur Raya yang didengungkan oleh Jepang.
© Irhash A. Shamad
Sumber Utama : Irhash A. Shamad, 2007, Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau, Jakarta : PT. Tintamas Indonesia, Bagian VI
Awal ekspansi Jepang ke selatan pada dasarnya telah dimulai semenjak sebelum Perang Dunia II. Vietnam, diduduki untuk mengamankan jalur transportasi perdagangan Jepang dan Cina (Yunan). Bersamaan dengan itu juga Thailand diduduki secara damai. Indo Cina dilihat sebagai pemenuhan kebutuhan logistik terutama untuk keperluan perang karena potensi alamnya yang kaya dengan beras. Seperti halnya dengan Indo Cina, maka wilayah Philipina diduduki hanya untuk diberikan kemerdekaan. Wilayah yang disebutkan terakhir lebih dimotivasi oleh pengamanan strategis dan karena menyangkut keberadaan Amerika. Sedangkan Indonesia dan Malaysia adalah merupakan wilayah sumber alam minyak yang penting, oleh karenanya akan dipertahankan sebagai wilayah pendudukan.
Melihat latar belakang kultural masyarakat Asia tenggara, secara umum, Jepang beranggapan bahwa untuk menguasai wilayah ini harus menggunakan pendekatan terhadap golongan konservatif, karena dengan demikian diharapkan tidak munculnya gerakan-gerakan kebangsaan. Disamping itu kekuatan propaganda dengan slogan “Asia untuk Asia” sangat efektif untuk “menjinakkan” masyarakatnya, karena pada umumnya rakyat Asia tenggara tengah berhadapan dengan kolonialis Barat.
Pendekatan pertama tidak mengalami hambatan di beberapa wilayah seperti Malaysia dimana Jepang berhasil merangkul elit tradisional yang konservatif. Oleh karenanya di sini tidak muncul perlawanan rakyat yang berwujud gerakan kebangsaan. Di Birma tokoh gerakan kebangsaan (Aung San) telah dirangkul terlebih dahulu pada saat Birma berhadapan dengan Inggeris. Berbeda halnya dengan di Indonesia yang sebelum kedatangan Jepang telah muncul gerakan kebangsaan dibawah pimpinan Soekarno dan Hatta. Namun akhirnya Jepangpun berhasil berkolaborasi dengan elit nasional ini untuk menjalankan propagandanya yaitu dengan masuknya Soekarno ke dalam gerakan “Tiga A”. Pendekatan Jepang ini hampir-hampir tidak menemui kendala, meskipun ada perlawanan-perlawanan rakyat terutama dari golongan kiri (komunisme) seperti munculnya gerakan anti Jepang MPAJA (Malay People’s Anti Japan Army) dan perlawanan Tan Malaka, kecuali itu, yang atas nama kepentingan kolonial di Indonesia dilakukan oleh KNIL.
Jepang dan Islam di Sumatera Barat
Sikap Jepang terhadap Islam di Indonesia telah digambarkan dalam “Prinsip-Prinsip Mengenai Pemerintahan Militer di Wilayah Pendudukan” (Senryochi Gunsei Jisshi Yoko) yang dikeluarkan pada tanggal 14 Maret 1942 yang menyatakan antara lain “bahwa agama-agama harus dihormati sejauh mungkin untuk menjaga kestabilan pikiran rakyat….kaum muslim, harus diberikan perhatian khusus untuk memanfaatkan mereka dalam rangka mencengkram pikiran rakyat ” (Kurasawa, 1993: 274). Dengan demikian jelas bahwa upaya mendekati kalangan agama dan memberi tempat tersendiri dalam kebijakan pemerintahan pendudukan Jepang di Indonesia merupakan bagian dari operasi propaganda Jepang. Kaum agama (baca : ulama) oleh pemerintahan pendudukan, dianggap memiliki potensi untuk memanipulasi pikiran rakyat dalam rangka memobilisasi rakyat untuk perang “Asia Timur Raya”. Tidak itu saja, Jepang telah membentuk beberapa organisasi ulama seperti Masyoemi, namun juga kelembagaan yang akan berfungsi sebagai pengontrol, seperti shumuka (seksi urusan keagamaan) di setiap keresidenan. Bahkan untuk kaum ulama dilaksanakan program pelatihan khusus yang disebut dengan ”Kiyai Koshokai” dalam rangka mempersiapkan mereka menjadi alat propaganda Jepang.
Jepang masuk di Sumatera Barat (Minangkabau) tanggal 13 Maret 1942 dan empat hari setelah itu hampir semua kota penting diduduki tanpa perlawanan dari Belanda. Seiring dengan itu di Padang dilaksanakan serah terima kekuasaan atas Sumatera Barat antara Jepang dan Belanda. Kadatangan Jepang ke Sumatera Barat pada awalnya sangat mencemaskan masyarakat, namun dalam berbagai kesempatan Jepang menyerukan bahwa kedatangannya adalah sebagai saudara tua untuk membebaskan rakyat dari penjajahan barat. Jepang menyiarkan slogan “Asia untuk Asia” melalui agen-agen mereka. Rakyat banyak di berbagai kota menyambut kehadiran Jepang dengan sangat antusias, terutama rakyat yang tidak mengerti sama sekali dengan perkembangan politik global.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya di Sumatera Barat, Jepang pada awalnya tidak banyak melakukan perubahan struktur pemerintahan, kecuali perubahan nomenklatur ke bahasa Jepang seperti Sumatera Westkust diganti Sumatra Neishi Kaigun shu, Asisten Residen diganti dengan Bun Shuco, afdeling dengan Bun, Onder afdeling dengan Fuku Bun, Distrik dengan Gun, dan seterusnya. Jepang juga masih menggunakan pegawai-pegawai pribumi yang dulu pernah bekerja dengan Belanda. Ini disebabkan oleh karena bangsa Jepang yang datang pertama kali adalah serdadu-serdadu yang tidak mengerti soal pemerintahan sipil. Jepang juga tidak melarang rakyat di daerah ini mengibarkan bendera Merah Putih bergandengan dengan bendera Hinomaru. Rakyat diberi kebebasan untuk mendirikan perkumpulan-perkumpulan dan sekolah-sekolah. Pemimpin masyarakat juga dibolehkan,--bahkan menganjurkan-- untuk mendirikan Komite Rakyat yang bergerak di bidang sosial, terutama mengurangi ekses akibat perang.
Keadaan seperti digambarkan di atas ternyata tidak berlangsung lama. Setelah Jepang merasakan makin terdesak oleh pasukan gabungan Sekutu, “keramahan” Jepang terhadap rakyat mulai berbalik seratus delapan puluh derajat. Apalagi keperluan finansial bagi perang menghadapi Sekutu makin meningkat, sementara sumber penghasil tidak bertambah. Karena itu kebijakan eksploitasi tenaga kerja rakyat untuk kepentingan Jepang mulai terlihat. Rakyat dipaksa bekerja pada pabrik-pabrik. Penyiksaan-penyiksaan kejam terhadap rakyat yang membangkang oleh kempetai terlihat dimana-mana. Kebebasan para pemimpin rakyat dibatasi, demikian juga organisasi dan perkumpulan hanya diperbolehkan melaksanakan kegiatan yang berorientasi pengabdian bagi kepentingan Jepang.
Dalam bidang pendidikan Jepang melakukan perubahan-perubahan secara mendasar. Sekolah-sekolah dimobilisasi untuk kepentingan Jepang. Melalui jalur ini pemerintahan pendudukan ini berusaha untuk men“jepang”kan anak-anak Indonesia dengan berbagai cara. Di sekolah para murid sekolah dalam berbagai tingkatan diajarkan bahasa Jepang, mereka juga dilatih taiso (sejenis senam pagi ala Jepang), bergotong royong ala Jepang, bahkan juga latihan militer. Kegiatan-kegiatan ini justru lebih banyak dilaksanakan dibanding belajar. Para pemuda dilatih secara militer untuk keperluan Kei-bo-dan (pembantu polisi), Sei-nen-dan (penjaga keamanan kampung), Hei-ho (prajurit Asia Timur Raya), Romusha (tentara pembangun Asia Timur Raya), dan Gyugun (tentara Sukarela) (Martamin,1978:104). Tujuan diberikannya latihan-latihan militer oleh Jepang adalah dalam rangka mempersiapkan tentara untuk Perang Asia Timur Raya. Meskipun kemudian sangat bermanfaat bagi bangsa ini dalam memperjuang dan mempertahankan kemerdekaan.
Untuk membantu mobilisasi kalangan pemuda, pemerintahan Jepang memaksakan kepada para ulama untuk memfatwakan bahwa perang Asia Timur Raya sebagai perang Sabil. Oleh kalangan ulama, kewenangan ini digunakan justru untuk meyakinkan rakyat bahwa memerangi bangsa asing termasuk perang sabil, dalam hal ini termasuk bangsa Jepang. Para ulama yang tergabung dalam Majlis Islam Tinggi (MIT) bersama-sama dengan golongan Cadiak Pandai dan golongan adat memberikan dorongan kepada pemuda untuk mengikuti pelatihan-pelatihan militer seperti yang dianjurkan oleh Jepang.
Majlis Islam Tinggi (MIT) sebagai satu-satunya organisasi ulama Sumatera Barat, pada waktu ini meminta kepada Jepang agar diizinkan mendirikan Gyugun. Pemuda-pemuda Sumatera Barat didorong untuk menjadi pasukan Gyugun supaya mendapat pelatihan kemiliteran dari Jepang. Dengan dorongan para pemimpin rakyat itu banyak pemuda-pemuda mendaftarkan diri menjadi Gyugun. Diantara pemuda Islam yang tercatat adalah M. Dahlan Djambek, Ismail Lengah, Syarif Usman, Dahlan Ibrahim, Syofyan Nur, Syofyan Ibrahim. A. Thalib, Nurmatias, Sayuti Amin, Alwi St. Marajo, Syefei Ali, Mahyuddin Tonek, Burhanuddin, Munir Latif dan banyak lagi yang lain. Pada umumnya mereka adalah pemuda-pemuda terbaik daerah ini (Martamin,1978:109). Sedangkan tokoh yang ditugaskan untuk merekrut calon-calon Gyugun itu adalah : Ahmad Dt. Simarajo dari golongan adat, Mahmud Yunus dari golongan alim ulama (yang kemudian dikenal sebagai tokoh pendidikan Islam Indonesia), dan Khatib Sulaiman dari golongan cendikawan (BPSIM,1978,I :123 ; Mahmud Yunus, 1979;122). MIT melalui ketiga tokoh itu meminta kepada pemuda-pemuda yang masuk Gyugun agar selalu berjiwa Islam dan nasionalis. Pemuda-pemuda terlatih dalam Gyugun inilah yang pada masa revolusi menjadi lasykar-lasykar rakyat bentukan partai dan organisasi di daerah ini dalam mempertahankan kemerdekaan.
“Dukungan semu” yang diberikan oleh kaum ulama Sumatera Barat pada masa pemerintahan Jepang, ternyata telah membutakan mata Jepang dalam melihat apa yang ada dibalik dukungan ulama dalam pembentukan Gyugun. Tokoh masyarakat seperti ulama dan tokoh adat serta para cendikawan pada waktu ini hanyalah berfikir bagaimana kemerdekaan dapat segera di capai. Dengan mempersiapkan tenaga terlatih, tentu pada saatnya akan memuluskan rencana “belakang layar” itu.
Sama seperti di masa Belanda, pada masa pendudukan Jepang ini peran ulama sangat besar sekali, terutama dalam menyelamatkan rakyat dari penindasan dan pengibirian terhadap Islam sendiri serta mempersiapkan kalangan pemuda dalam rangka menuju kemerdekaan. Melawan secara terang-terangan tentu merupakan perhitungan yang keliru pada waktu ini, karena itu kalangan ulama memberikan motivasi yang sangat kuat kepada rakyat untuk melawan dengan diam-diam, sambil berlindung dibalik dukungan terhadap Perang Asia Timur Raya yang didengungkan oleh Jepang.
© Irhash A. Shamad
Sumber Utama : Irhash A. Shamad, 2007, Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau, Jakarta : PT. Tintamas Indonesia, Bagian VI