Pengalaman kepemimpinan Hasan Basri Durin sebagai Pamong telah diawalinya ketika ia selama 11 tahun menduduki jabatan Walikota Padang (1971-1983). Ia kemudian menggantikan Azwar Anas sebagai gubernur Sumatera Barat yang juga telah menyelesaikan tugasnya sebagai gubernur selama dua priode. Pada saat memulai tugasnya sebagai gubernur, kondisi Sumatera Barat digambarkan sebagai berikut :
.. nagari-nagari yang terkerat-kerat dan menjadi desa-desa yang rapuh secara sosial budaya, ekonomi dan pemerintahan. Di satu sisi desa-desa memang mencatat kemajuan dalam sarana-dan prasarana ekonomi, namun di sisi lain terjadi krisis sosial budaya serta makin derasnya aliran manusia-manusia terdidik ke kota-kota.
Secara makro situasi perekonomian nasional juga mengalami persoalan-persoalan yang cukup serius, terutama setelah negara ini mengalami krisis ekonomi yang beruntun semenjak awal tahun 80an setelah penurunan harga minyak di pasar internasional disusul kemudian dengan berbagai kebijaksanaan ekonomi yang diambil oleh pemerintah, telah mempengaruhi suasana politik dalam negeri . Keadaan sepanjang tahun 1980-an sebenarnya tidak terlalu mempengaruhi hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah, meskipun akibat merosotnya perekonomian nasional ini telah menggeser perimbangan keuangan dari pusat ke daerah, namun kontrol pemerintah pusat terhadap daerah tidak semakin menurun.
Hasan Basri Durin, --yang selain telah mempunyai pengalaman dalam birokrasi pemerintahan juga sebagai seorang ninik mamak pemangku adat--, memahami dengan baik apa yang harus ia kerjakan setelah diangkat menjadi orang nomor satu di daerah ini. Beberapa kebijaksanaan yang diambil selama kepemimpinannya dinilai cukup memenuhi harapan masyarakat di daerah, meskipun sebagai "tangan" pemerintahan pusat di daerah, dia juga mengalami berbagai keterbatasan untuk berbuat secara maksimal.
Hal menarik yang patut dicatat di masa kepemimpinannya di Sumatera Barat ialah peristiwa pemilihan gubernur pada tahun 1992, ketika ia akan memasuki jabatan kedua sebagai gubernur. Peristiwa pemilihan yang banyak menyita halaman halaman pers daerah dan ibu kota ini, berpangkal dari ketegangan antara elit tingkat atas soal calon gubernur ini, yaitu antara Mendagri dengan beberapa tokoh daerah yang juga duduk dalam kabinet. Mendagri yang sejak semula sudah memperlihatkan ketidaksimpatiannya terhadap Hasan Basri untuk melanjutkan jabatan kedua kalinya sebagai gubernur, justru ditelikung oleh dua tokoh Azwar Anas dan Bustanul Arifin (yang pada waktu itu masing-masing menjabat sebagai Menteri Perhubungan dan Menteri Koperasi). Kedua orang ini diduga telah merekayasa pencalonan kembali Hasan Basri Durin dengan akses langsung kepada Presiden. Peristiwa ini merebak dan tak urung menimbulkan berbagai kontradiksi di daerah antara pihak yang mendu-kung dan menolak Hasan Basri Durin . Akhirnya kemelut itu diakhiri dengan terpilihnya Hasan Basri Durin pada Sidang DPRD tanggal 19 Desember 1992. Banyak gunjingan di luar yang menyudutkannya dengan hasil pemilihan itu, terutama dari pihak-pihak yang telah dengan terang-terangan menolaknya. Namun Hasan Basri Durin yang berkarakter low profile ini dapat menghadapinya dengan tenang dan tidak mempengaruhi tugas-tugasnya sebagai gubernur berikutnya.
Penataan Kembali Desa dalam Nagari
Menyadari beberapa dampak negatif dari akibat dipecahnya nagari menjadi desa-desa di Sumatera Barat yang telah mengakibatkan banyak desa yang rapuh dan sulit dibangun, maka pemerintah daerah pada tahun 1988 menjalankan program penataan kembali desa-desa tersebut . Penataan kembali (regrouping) desa-desa ini ditujukan antara lain untuk terciptanya desa-desa yang (a) punya pendapatan sendiri. (b) paling kurang penduduknya 2500 jiwa dengan 500 kepala keluarga, (c) luasnya memadai dan teratur, (d) dengan partisipasi masyarakat yang tinggi, (e) dengan pelayanan pemerintah yang baik, dan (f) dengan aparat pemerintahan yang andal sebagainya . Untuk itu pemerintah daerah melalui Instruksi Gubernur No.11/IST/GSB//1988 menyelenggarakan program penataan ini secara bertahap. Pertama untuk desa-desa dengan penduduk kurang dari 250 jiwa, kemudian dilanjutkan dengan desa-desa berpenduduk kurang dari 500 jiwa, dan terakhir desa-desa dengan penduduk kurang dari 1000 jiwa. Pada tahap pertama, jumlah desa telah berkurang dari 3.138 (1983) menjadi 2.586 desa, tahap kedua berkurang lagi menjadi 2.132 dan tahap ketiga menjadi 2.059 , hingga akhirnya dengan penataan ulang ini jumlah desa di Sumatera Barat menjadi 1.753 desa. Dari jumlah itu 72 diantaranya sudah kembali ke dalam wilayah Nagari, seperti waktu sebelumnya sesuai dengan usulan yang diajukan oleh masyarakat desa yang bersangkutan kepada pemerintah daerah .
Sebagai konsekuensi penataan kembali desa-desa ini adalah berkurangnya jumlah dana bantuan Inpres pembangunan desa yang mengalir ke Sumatera Barat. Sebelum dilaksanakannya kebijaksanaan ini, agaknya pemerintah bersama masyarakat Sumatera Barat sudah siap dengan segala konsekuensi yang ditimbulkannya. Di sini, kepentingan akan keutuhan masyarakat Nagari lebih diutamakan ketimbang kebutuhan dana pembangunan. Karena itulah kebijaksanaan ini mendapat dukungan dan disambut baik oleh masyarakat desa di Sumatera Barat, bahkan oleh para perantau Minang di luar Sumatera Barat. Malah kebijaksanaan ini pada awalnya lebih dimotivasi oleh adanya keinginan masyarakat terutama kalangan intelektual dan tokoh masyarakat di daerah dan di rantau . Pemerintah Daerah sendiri juga mempersiapkan berbagai program untuk mengantisipasi berkurangnya jumlah dana pembangunan desa dengan menerapkan beberapa strategi pembangunan, seperti Manunggal Sakato, Musyawarah Pembangunan Nagari, Sarjana Masuk Desa, dan sebagainya.
Strategi Pembangunan "Manunggal Sakato".
Untuk meningkatkan pelaksanaan pembangunan pedesaan secara lebih menyeluruh, terpadu dan terarah, pemerintah daerah pada tahun 1990 menetapkan suatu kebijaksanaan strategi pembangunan pedesaan melalui konsep Manunggal Sakato dan dikukuhkan dengan SK Gubernur No. 17 A Tahun 1990. Konsep ini pada dasarnya merupakan upaya solusi kulturil atas terkendalanya pelaksanaan pembangunan di pedesaan dengan hilangnya beberapa elemen nilai tradisional kehidupan bernagari akibat terpecahnya nagari menjadi desa. Terjadinya berbagai anomie dalam kehidupan masyarakat selama ini telah menjadi kendala pelaksanaan pembangunan terutama di wilayah pedesaan. Solidaritas sosial, kebersamaan serta prinsip gotong royong yang menjadi ciri dari kehidupan bernagari sebagai pepatah : "barek samo dipikua , ringan samo dijinjing" (berat sama dipikul, ringan sama dijinjing) dirasakan telah semakin menipis. Oleh karena itu pemerintah merasa perlu mensosialisasikan kembali nilai-nilai itu melalui berbagai pendekatan yaitu pendekatan legalitas, struktural, empiris dan sosio kultural.
Ada perbedaan mendasar pola penerapan yang dilakukan oleh pemerintah ini dengan apa yang berlaku dalam kehidupan bernagari di masa lalu. Prinsip gotong royong dalam masyarakat tradisional lebih berorientasi partisipasi, sedangkan dalam pelaksanaan Manunggal Sakato justru lebih cendrung bersifat mobilisasi . Namun pelaksanaan strategi Manunggal Sakato ini telah membawa pengaruh positif terhadap kelancaran pelaksanaan pembangunan di wilayah pedesaan. Hal ini dilihat dari tingkat partisipasi yang diberikan oleh masyarakat yang setiap tahun terus meningkat. Selama Pelita V masyarakat desa berhasil membangun 50.000 proyek. Hingga tahun keempat Pelita V tersebut, proyek yang dibangun dengan Manunggal Sakato tercatat 43.732 buah. Nilai dari proyek-proyek itu jauh melebihi jumlah dana Bandes yang diterima. Pada tahun 1989/1990 seluruh desa memperoleh dana Bandes sebanyak Rp.3,544 miliar, sedangkan hasil yang dicapai bernilai Rp.18,21 miliar. Dari angka ini maka swadaya masyarakat bernilai Rp.14,58 miliar. Tahun berikutnya dengan nilai dana Bandes sebesar Rp.4,78 miliar, berhasil dikerjakan proyek senilai Rp,23,6 miliar
Musyawarah Pembangunan
Untuk lebih memuluskan jalannya program Manunggal Sakato, pemerintah daerah melihat berbagai kemungkinan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Salah satu upaya peningkatan itu adalah dengan member-dayakan lembaga musyawarah yang telah menjadi tradisi di nagari-nagari masa lalu. Untuk itu pada tahun 1991 pemerintah mengeluarkan instruksi kepada seluruh jajaran pemerintah tingkat II di daerah ini, untuk menyelenggarakan Musyawarah Pembangunan Nagari di tiap-tiap nagari di Sumatera Barat dengan menunjuk KAN bersama seluruh Kepala Desa/Kelurahan yang ada di Nagari tersebut sebagai pelaksana. Musyawarah Pembangunan Nagari dimaksudkan sebagai wadah untuk merumuskan rencana pembangunan pedesaan sesuai dengan aspirasi anak nagari berdasarkan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Nagari dan dilaksanakan sekali dalam setahun . Dengan ketetapan ini setiap desa yang berada dalam satu wilayah nagari harus merencanakan dan melaksanakan pembangunannya secara terpadu dan terkoor-dinasi. Setiap sumber daya yang ada pada masing-masing desa dalam nagari harus disatukan kembali dalam gerak pembangunan yang ditopang dan diorientasikan kepada kepentingan dan kebutuhan masyarakat nagari .
Berjalannya mekanisme musyawarah dalam masyarakat pedesaan dengan "pola" nagari ini, ternyata membawa dampak yang cukup baik terhadap kegairahan masyarakat desa dalam membangun. Banyak nagari --melalui musyawarah nagari ini-- yang menerapkan kembali hukum adat bagi anak nagari setempat, memecahkan berbagai persoalan di nagari dengan melaksanakan berbagai bentuk pengembangan usaha anak nagari, mengatasi masalah pengangguran serta berbagai usaha pelestarian nilai budaya dan pemberantasan maksiat dan kejahatan. Bahkan ada nagari yang mewajibkan pemuda yang akan menikah untuk menanam sejumlah pohon kayu manis sebelum melangsungkan pernikahannya .
Meskipun Musyawarah Pembangunan Nagari ini bukan untuk mengembalikan otoritas Nagari seperti sebelum berlakunya UUPD 1979, namun suasana kehidupan bernagari itu sudah hampir terasa dan cukup banyak keputusan-keputusan musyawarah itu yang telah membawa perubahan serta kemajuan di banyak nagari di Sumatera Barat. Akan tetapi bila dilihat secara lebih obyektif, dalam kontek sistem pembangunan yang sentralistis dengan birokrasi yang paternalis, seperti yang mewarnai budaya politik Orde Baru, maka tidak dapat dipungkiri bahwa apapun bentuk dialog atau musyawarah yang dilaksanakan --apalagi yang disebut dengan bottom up planning--, hampir dapat dipastikan bahwa hal itu tidak akan selalu berada pada koridor demokrasi dalam arti yang sesungguhnya. Yang mungkin dapat dipastikan adalah bahwa, baik pelaksanaan maupun hasil-hasil yang diperoleh, dipahami lebih pada aspek formalitas dan seremonialnya ketimbang aktualisasi dari nilai musyawarah itu sendiri.
Sarjana Masuk Desa
Salah satu kendala pembangunan di wilayah pedesaan Sumatera Barat, antara lain adalah kurangnya sumber daya manusia di desa. Kekurangan ini disebabkan oleh besarnya arus urbanisasi kalangan pemuda terpelajar yang terus menerus mengalir ke wilayah perkotaan. Arus urbanisasi ini, selain disebabkan oleh budaya merantau yang telah menjadi tradisi bagi masyarakat di sini, juga kecendrungan banyak pemuda untuk belajar ke kota sebagai konsekuensi tidak tersedianya sarana pendidikan secara memadai di desa. Biasanya, setelah mereka menyelesaikan pendidikan di kota, enggan untuk pulang ke desa. Akibatnya ialah desa semakin sepi dari tenaga-tenaga terdidik.
Kelangkaan yang dihadapi oleh daerah akibat urbanisasi ini tidak saja berdampak terhadap pelaksanaan pembangunan, malahan untuk mendapatkan seorang kepala desa yang memenuhi syarat saja menjadi sulit, Apalagi kebutuhan terhadap kepala desa semakin besar akibat pemecahan desa-desa pasca UU No.5 tahun 1979.
Untuk mengatasi keadaan tersebut, pemerintah daerah pada tahun 1988 menggagaskan suatu program yang disebut Sarjana Pelopor Pembangunan Desa (SPPD). Program ini bertujuan untuk mengirim manusia-manusia berpendidikan tinggi ke desa untuk menggerakkan dan mempercepat kemajuan dan pertumbuhan pembangunan ekonomi di wilayah pedesaan. Selain itu kehadiran sarjana di desa juga diarahkan untuk berperan dalam usaha meningkatkan kemampuan serta fungsi kelembagaan yang terdapat di pedesaan, meningkatkan kemampuan dan keterampilan masyarakat, meningkatkan peranserta masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan serta dalam rangka membuka lapangan kerja baru dengan memanfaatkan potensi yang ada di desa masing-masing . Pada tahun 1989, untuk pertama kalinya dikirim 200 orang sarjana dari berbagai disiplin ilmu ke desa-desa di Sumatera Barat, demikian juga pada tahun-tahun berikutnya. Selama Pelita V telah dikirim sebanyak 457 sarjana ke ratusan desa di Sumatera Barat.
Program SPPD ini kemudian telah memperlihatkan hasilnya, seiring dengan keberhasilan para sarjana itu dalam mengelola usaha-usaha produktif di desa, meskipun ada diantara mereka yang gagal. Namun program ini terus didorong oleh pemerintah daerah dengan menyediakan fasilitas kredit dengan bunga yang sangat rendah . Secara ekonomis kehadiran sarjana ke desa telah mampu membangkitkan gairah perekonomian masyarakat pedesaan, bahkan tidak sedikit juga kalangan masyarakat yang ikut termotivasi dalam pengembangan usaha mereka. Dengan program ini tentu diharapkan akan terjadi transformasi ekonomi masyarakat dengan memanfaatkan lahan-lahan yang selama ini terlantar agar menjadi lebih produktif. Akan tetapi tidak demikian halnya bila dilihat dari sisi kultural, yang terjadi justru transformasi pola hidup perkotaan yang telah diserap oleh para sarjana itu ikut terbawa ke desa. Hal ini tak kurang juga telah pula mempengaruhi nilai-nilai kehidupan pedesaan
© Irhash A. Shamad
Sumber : Irhash A. Shamad, 2001, Hegemoni Politik Pusat dan Kemandirian Etnik di Daerah, Sumatera Barat di Masa Orde Baru, Padang, IAIN IB Press, Bagian 4
.. nagari-nagari yang terkerat-kerat dan menjadi desa-desa yang rapuh secara sosial budaya, ekonomi dan pemerintahan. Di satu sisi desa-desa memang mencatat kemajuan dalam sarana-dan prasarana ekonomi, namun di sisi lain terjadi krisis sosial budaya serta makin derasnya aliran manusia-manusia terdidik ke kota-kota.
Secara makro situasi perekonomian nasional juga mengalami persoalan-persoalan yang cukup serius, terutama setelah negara ini mengalami krisis ekonomi yang beruntun semenjak awal tahun 80an setelah penurunan harga minyak di pasar internasional disusul kemudian dengan berbagai kebijaksanaan ekonomi yang diambil oleh pemerintah, telah mempengaruhi suasana politik dalam negeri . Keadaan sepanjang tahun 1980-an sebenarnya tidak terlalu mempengaruhi hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah, meskipun akibat merosotnya perekonomian nasional ini telah menggeser perimbangan keuangan dari pusat ke daerah, namun kontrol pemerintah pusat terhadap daerah tidak semakin menurun.
Hasan Basri Durin, --yang selain telah mempunyai pengalaman dalam birokrasi pemerintahan juga sebagai seorang ninik mamak pemangku adat--, memahami dengan baik apa yang harus ia kerjakan setelah diangkat menjadi orang nomor satu di daerah ini. Beberapa kebijaksanaan yang diambil selama kepemimpinannya dinilai cukup memenuhi harapan masyarakat di daerah, meskipun sebagai "tangan" pemerintahan pusat di daerah, dia juga mengalami berbagai keterbatasan untuk berbuat secara maksimal.
Hal menarik yang patut dicatat di masa kepemimpinannya di Sumatera Barat ialah peristiwa pemilihan gubernur pada tahun 1992, ketika ia akan memasuki jabatan kedua sebagai gubernur. Peristiwa pemilihan yang banyak menyita halaman halaman pers daerah dan ibu kota ini, berpangkal dari ketegangan antara elit tingkat atas soal calon gubernur ini, yaitu antara Mendagri dengan beberapa tokoh daerah yang juga duduk dalam kabinet. Mendagri yang sejak semula sudah memperlihatkan ketidaksimpatiannya terhadap Hasan Basri untuk melanjutkan jabatan kedua kalinya sebagai gubernur, justru ditelikung oleh dua tokoh Azwar Anas dan Bustanul Arifin (yang pada waktu itu masing-masing menjabat sebagai Menteri Perhubungan dan Menteri Koperasi). Kedua orang ini diduga telah merekayasa pencalonan kembali Hasan Basri Durin dengan akses langsung kepada Presiden. Peristiwa ini merebak dan tak urung menimbulkan berbagai kontradiksi di daerah antara pihak yang mendu-kung dan menolak Hasan Basri Durin . Akhirnya kemelut itu diakhiri dengan terpilihnya Hasan Basri Durin pada Sidang DPRD tanggal 19 Desember 1992. Banyak gunjingan di luar yang menyudutkannya dengan hasil pemilihan itu, terutama dari pihak-pihak yang telah dengan terang-terangan menolaknya. Namun Hasan Basri Durin yang berkarakter low profile ini dapat menghadapinya dengan tenang dan tidak mempengaruhi tugas-tugasnya sebagai gubernur berikutnya.
Penataan Kembali Desa dalam Nagari
Menyadari beberapa dampak negatif dari akibat dipecahnya nagari menjadi desa-desa di Sumatera Barat yang telah mengakibatkan banyak desa yang rapuh dan sulit dibangun, maka pemerintah daerah pada tahun 1988 menjalankan program penataan kembali desa-desa tersebut . Penataan kembali (regrouping) desa-desa ini ditujukan antara lain untuk terciptanya desa-desa yang (a) punya pendapatan sendiri. (b) paling kurang penduduknya 2500 jiwa dengan 500 kepala keluarga, (c) luasnya memadai dan teratur, (d) dengan partisipasi masyarakat yang tinggi, (e) dengan pelayanan pemerintah yang baik, dan (f) dengan aparat pemerintahan yang andal sebagainya . Untuk itu pemerintah daerah melalui Instruksi Gubernur No.11/IST/GSB//1988 menyelenggarakan program penataan ini secara bertahap. Pertama untuk desa-desa dengan penduduk kurang dari 250 jiwa, kemudian dilanjutkan dengan desa-desa berpenduduk kurang dari 500 jiwa, dan terakhir desa-desa dengan penduduk kurang dari 1000 jiwa. Pada tahap pertama, jumlah desa telah berkurang dari 3.138 (1983) menjadi 2.586 desa, tahap kedua berkurang lagi menjadi 2.132 dan tahap ketiga menjadi 2.059 , hingga akhirnya dengan penataan ulang ini jumlah desa di Sumatera Barat menjadi 1.753 desa. Dari jumlah itu 72 diantaranya sudah kembali ke dalam wilayah Nagari, seperti waktu sebelumnya sesuai dengan usulan yang diajukan oleh masyarakat desa yang bersangkutan kepada pemerintah daerah .
Sebagai konsekuensi penataan kembali desa-desa ini adalah berkurangnya jumlah dana bantuan Inpres pembangunan desa yang mengalir ke Sumatera Barat. Sebelum dilaksanakannya kebijaksanaan ini, agaknya pemerintah bersama masyarakat Sumatera Barat sudah siap dengan segala konsekuensi yang ditimbulkannya. Di sini, kepentingan akan keutuhan masyarakat Nagari lebih diutamakan ketimbang kebutuhan dana pembangunan. Karena itulah kebijaksanaan ini mendapat dukungan dan disambut baik oleh masyarakat desa di Sumatera Barat, bahkan oleh para perantau Minang di luar Sumatera Barat. Malah kebijaksanaan ini pada awalnya lebih dimotivasi oleh adanya keinginan masyarakat terutama kalangan intelektual dan tokoh masyarakat di daerah dan di rantau . Pemerintah Daerah sendiri juga mempersiapkan berbagai program untuk mengantisipasi berkurangnya jumlah dana pembangunan desa dengan menerapkan beberapa strategi pembangunan, seperti Manunggal Sakato, Musyawarah Pembangunan Nagari, Sarjana Masuk Desa, dan sebagainya.
Strategi Pembangunan "Manunggal Sakato".
Untuk meningkatkan pelaksanaan pembangunan pedesaan secara lebih menyeluruh, terpadu dan terarah, pemerintah daerah pada tahun 1990 menetapkan suatu kebijaksanaan strategi pembangunan pedesaan melalui konsep Manunggal Sakato dan dikukuhkan dengan SK Gubernur No. 17 A Tahun 1990. Konsep ini pada dasarnya merupakan upaya solusi kulturil atas terkendalanya pelaksanaan pembangunan di pedesaan dengan hilangnya beberapa elemen nilai tradisional kehidupan bernagari akibat terpecahnya nagari menjadi desa. Terjadinya berbagai anomie dalam kehidupan masyarakat selama ini telah menjadi kendala pelaksanaan pembangunan terutama di wilayah pedesaan. Solidaritas sosial, kebersamaan serta prinsip gotong royong yang menjadi ciri dari kehidupan bernagari sebagai pepatah : "barek samo dipikua , ringan samo dijinjing" (berat sama dipikul, ringan sama dijinjing) dirasakan telah semakin menipis. Oleh karena itu pemerintah merasa perlu mensosialisasikan kembali nilai-nilai itu melalui berbagai pendekatan yaitu pendekatan legalitas, struktural, empiris dan sosio kultural.
Ada perbedaan mendasar pola penerapan yang dilakukan oleh pemerintah ini dengan apa yang berlaku dalam kehidupan bernagari di masa lalu. Prinsip gotong royong dalam masyarakat tradisional lebih berorientasi partisipasi, sedangkan dalam pelaksanaan Manunggal Sakato justru lebih cendrung bersifat mobilisasi . Namun pelaksanaan strategi Manunggal Sakato ini telah membawa pengaruh positif terhadap kelancaran pelaksanaan pembangunan di wilayah pedesaan. Hal ini dilihat dari tingkat partisipasi yang diberikan oleh masyarakat yang setiap tahun terus meningkat. Selama Pelita V masyarakat desa berhasil membangun 50.000 proyek. Hingga tahun keempat Pelita V tersebut, proyek yang dibangun dengan Manunggal Sakato tercatat 43.732 buah. Nilai dari proyek-proyek itu jauh melebihi jumlah dana Bandes yang diterima. Pada tahun 1989/1990 seluruh desa memperoleh dana Bandes sebanyak Rp.3,544 miliar, sedangkan hasil yang dicapai bernilai Rp.18,21 miliar. Dari angka ini maka swadaya masyarakat bernilai Rp.14,58 miliar. Tahun berikutnya dengan nilai dana Bandes sebesar Rp.4,78 miliar, berhasil dikerjakan proyek senilai Rp,23,6 miliar
Musyawarah Pembangunan
Untuk lebih memuluskan jalannya program Manunggal Sakato, pemerintah daerah melihat berbagai kemungkinan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Salah satu upaya peningkatan itu adalah dengan member-dayakan lembaga musyawarah yang telah menjadi tradisi di nagari-nagari masa lalu. Untuk itu pada tahun 1991 pemerintah mengeluarkan instruksi kepada seluruh jajaran pemerintah tingkat II di daerah ini, untuk menyelenggarakan Musyawarah Pembangunan Nagari di tiap-tiap nagari di Sumatera Barat dengan menunjuk KAN bersama seluruh Kepala Desa/Kelurahan yang ada di Nagari tersebut sebagai pelaksana. Musyawarah Pembangunan Nagari dimaksudkan sebagai wadah untuk merumuskan rencana pembangunan pedesaan sesuai dengan aspirasi anak nagari berdasarkan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Nagari dan dilaksanakan sekali dalam setahun . Dengan ketetapan ini setiap desa yang berada dalam satu wilayah nagari harus merencanakan dan melaksanakan pembangunannya secara terpadu dan terkoor-dinasi. Setiap sumber daya yang ada pada masing-masing desa dalam nagari harus disatukan kembali dalam gerak pembangunan yang ditopang dan diorientasikan kepada kepentingan dan kebutuhan masyarakat nagari .
Berjalannya mekanisme musyawarah dalam masyarakat pedesaan dengan "pola" nagari ini, ternyata membawa dampak yang cukup baik terhadap kegairahan masyarakat desa dalam membangun. Banyak nagari --melalui musyawarah nagari ini-- yang menerapkan kembali hukum adat bagi anak nagari setempat, memecahkan berbagai persoalan di nagari dengan melaksanakan berbagai bentuk pengembangan usaha anak nagari, mengatasi masalah pengangguran serta berbagai usaha pelestarian nilai budaya dan pemberantasan maksiat dan kejahatan. Bahkan ada nagari yang mewajibkan pemuda yang akan menikah untuk menanam sejumlah pohon kayu manis sebelum melangsungkan pernikahannya .
Meskipun Musyawarah Pembangunan Nagari ini bukan untuk mengembalikan otoritas Nagari seperti sebelum berlakunya UUPD 1979, namun suasana kehidupan bernagari itu sudah hampir terasa dan cukup banyak keputusan-keputusan musyawarah itu yang telah membawa perubahan serta kemajuan di banyak nagari di Sumatera Barat. Akan tetapi bila dilihat secara lebih obyektif, dalam kontek sistem pembangunan yang sentralistis dengan birokrasi yang paternalis, seperti yang mewarnai budaya politik Orde Baru, maka tidak dapat dipungkiri bahwa apapun bentuk dialog atau musyawarah yang dilaksanakan --apalagi yang disebut dengan bottom up planning--, hampir dapat dipastikan bahwa hal itu tidak akan selalu berada pada koridor demokrasi dalam arti yang sesungguhnya. Yang mungkin dapat dipastikan adalah bahwa, baik pelaksanaan maupun hasil-hasil yang diperoleh, dipahami lebih pada aspek formalitas dan seremonialnya ketimbang aktualisasi dari nilai musyawarah itu sendiri.
Sarjana Masuk Desa
Salah satu kendala pembangunan di wilayah pedesaan Sumatera Barat, antara lain adalah kurangnya sumber daya manusia di desa. Kekurangan ini disebabkan oleh besarnya arus urbanisasi kalangan pemuda terpelajar yang terus menerus mengalir ke wilayah perkotaan. Arus urbanisasi ini, selain disebabkan oleh budaya merantau yang telah menjadi tradisi bagi masyarakat di sini, juga kecendrungan banyak pemuda untuk belajar ke kota sebagai konsekuensi tidak tersedianya sarana pendidikan secara memadai di desa. Biasanya, setelah mereka menyelesaikan pendidikan di kota, enggan untuk pulang ke desa. Akibatnya ialah desa semakin sepi dari tenaga-tenaga terdidik.
Kelangkaan yang dihadapi oleh daerah akibat urbanisasi ini tidak saja berdampak terhadap pelaksanaan pembangunan, malahan untuk mendapatkan seorang kepala desa yang memenuhi syarat saja menjadi sulit, Apalagi kebutuhan terhadap kepala desa semakin besar akibat pemecahan desa-desa pasca UU No.5 tahun 1979.
Untuk mengatasi keadaan tersebut, pemerintah daerah pada tahun 1988 menggagaskan suatu program yang disebut Sarjana Pelopor Pembangunan Desa (SPPD). Program ini bertujuan untuk mengirim manusia-manusia berpendidikan tinggi ke desa untuk menggerakkan dan mempercepat kemajuan dan pertumbuhan pembangunan ekonomi di wilayah pedesaan. Selain itu kehadiran sarjana di desa juga diarahkan untuk berperan dalam usaha meningkatkan kemampuan serta fungsi kelembagaan yang terdapat di pedesaan, meningkatkan kemampuan dan keterampilan masyarakat, meningkatkan peranserta masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan serta dalam rangka membuka lapangan kerja baru dengan memanfaatkan potensi yang ada di desa masing-masing . Pada tahun 1989, untuk pertama kalinya dikirim 200 orang sarjana dari berbagai disiplin ilmu ke desa-desa di Sumatera Barat, demikian juga pada tahun-tahun berikutnya. Selama Pelita V telah dikirim sebanyak 457 sarjana ke ratusan desa di Sumatera Barat.
Program SPPD ini kemudian telah memperlihatkan hasilnya, seiring dengan keberhasilan para sarjana itu dalam mengelola usaha-usaha produktif di desa, meskipun ada diantara mereka yang gagal. Namun program ini terus didorong oleh pemerintah daerah dengan menyediakan fasilitas kredit dengan bunga yang sangat rendah . Secara ekonomis kehadiran sarjana ke desa telah mampu membangkitkan gairah perekonomian masyarakat pedesaan, bahkan tidak sedikit juga kalangan masyarakat yang ikut termotivasi dalam pengembangan usaha mereka. Dengan program ini tentu diharapkan akan terjadi transformasi ekonomi masyarakat dengan memanfaatkan lahan-lahan yang selama ini terlantar agar menjadi lebih produktif. Akan tetapi tidak demikian halnya bila dilihat dari sisi kultural, yang terjadi justru transformasi pola hidup perkotaan yang telah diserap oleh para sarjana itu ikut terbawa ke desa. Hal ini tak kurang juga telah pula mempengaruhi nilai-nilai kehidupan pedesaan
© Irhash A. Shamad
Sumber : Irhash A. Shamad, 2001, Hegemoni Politik Pusat dan Kemandirian Etnik di Daerah, Sumatera Barat di Masa Orde Baru, Padang, IAIN IB Press, Bagian 4