Istilah Padri sebenarnya bukan berasal dari terminologi Minangkabau dan dalam literatur-literatur tradisional Minangkabau tidak ditemukan penggunaan istilah tersebut. Oleh karena itu, istilah padri tidak mendapatkan pengertian yang jelas bagi orang Minangkabau sendiri. Satu sumber menyatakan bahwa padri berasal dari bahasa Portugis yang berarti bapak yakni sebutan yang ditujukan kepada pendeta. Christine Dobbin, sebagaimana dikutip oleh Sjafnir (Nain, 1988:25), menyebutkan bahwa istilah padri berasal dari kata Pedir yakni nama sebuah pelabuhan (syahbandar) di pesisir utara Aceh tempat transitnya calon-calon jama'ah haji Indonesia sebelum berangkat ke Mekkah. Menurut Schrieke Padri adalah istilah yang dilekatkan kepada golongan ulama atau golongan agama pada awal-awal abad ke-19 di Minangkabau (Schiereke,1973:12). Dalam literatur tradisional Minangkabau hanya terdapat istilah kaum putih dan kaum hitam. Istilah kaum putih adalah sebutan yang digunakan untuk kaum agama, sedangkan kaum hitam digunakan untuk menyebut kaum adat. Istilah Padri dalam tulisan ini mengikut kepada pendapat Schrieke.
Munculnya Gerakan Padri di Minangkabau sering dikaitkan dengan Gerakan Pembaharuan Islam yang terjadi di tanah Hejaz yang dipelopori oleh kaum Wahabi pada pertengahan abad ke 18. Dalam sejarah, gerakan ini dikenal sebagai Gerakan Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787). Motivasi gerakan ini pada awalnya adalah karena
terjadinya kemunduran cara berfikir masyarakat Islam, terutama di Mekkah, krisis aqidah dan akhlak serta menurunnya tata nilai ekonomi, politik, sosial dan budaya yang dianggap sudah melampaui batas. Dalam bidang aqidah masyarakat Mekkah telah banyak yang terbuai oleh paham kesufian. Sudah banyak masyarakat yang menjauhi masjid dan berbondong-bondong mendatangi makam-makam yang dikeramatkan untuk meminta pertolongan, berkah dan ampunan dosa. Kondisi ini semakin diperparah dengan banyaknya orang yang gemar minum minuman keras dan menjamurnya praktek-praktek prostitusi. Semua itu merupakan akibat dari penetrasi budaya bangsa penjajah, terutama Turki yang berterusan di Jazirah Arab.
Tujuan utama Gerakan Wahabi adalah mengikis habis perbuatan-perbuatan bid'ah dan menanamkan kepada masyarakat suatu keyakinan kepada Al Qur'an dan Hadis sebagai satu-satunya pegangan hidup. Oleh karena itu mereka menentang keras praktek sufisme yang menjadikan guru-guru mereka seba-gai perantara dalam bermunajat kepada Allah (tawassul); bagi Kaum Wahabi praktek ini merupakan perbuatan syirik. Atas dasar inilah Kaum Wahabi banyak melakukan perusakan terhadap makam-makam di Makkah, termasuk makam Nabi Muhammad SAW karena dikhawatirkan dapat menjadi tempat yang dikeramatkan. Setelah itu Kaum Wahabi mencanangkan gerakan untuk membenahi hukum-hukum syari'at Islam dan mengeluarkan sangsi bagi yang melanggarnya seperti hukum rajam bagi yang berzina. Kaum Wahabi juga menghendaki dan menegaskan bahwa setiap pengakuan umat Islam harus dibarengi dengan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan perbuatan-perbuatan nyata yakni amal ibadah yang oleh kebanyakan orang sudah banyak ditinggalkan. Dalam melancarkan aksi-aksinya Kaum Wahabi cenderung memakai kekerasan dan tidak kenal kompromi.
Kejadian-kejadian di Tanah Hejaz itu sangat berkesan di hati tiga orang haji Minangkabau yang kembali ke kampung halaman pada tahun 1803 yakni Haji Piobang dari Lima Puluh Koto, Haji Sumanik dari Tanah Datar, dan Haji Miskin dari Agam. Selama berada di Mekkah ketiga orang haji putra asli Minangkabau yang kemudian dikenal sebagai pelopor Gerakan Padri ini menyaksikan langsung dikuasainya Kota Suci Mekkah oleh Kaum Wahabi atau setidak-tidaknya mereka memahami atau banyak dipengaruhi ajaran-ajaran Wahabi mengingat ajaran tersebut telah secara luas dibicarakan dikalangan umat Islam di Mekkah ketika itu. Sebagai penguasa Kota Mekkah, tentu saja Kaum Wahabi tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mensosialisasikan paham-paham mereka kepada para jama'ah haji di Mekkah tidak kecuali yang berasal dari Minangkabau. Berangkat dari fenomena inilah, banyak penulis-penulis sejarah Minangkabau yang menyebutkan adanya pengaruh Gerakan Wahabi dalam Gerakan Padri.
Setibanya di kampung halaman ketiga orang haji itu mendapati masyarakat Minangkabau tengah dilanda krisis moral dan menjamurnya patologi sosial seperti berjudi, mabuk-mabukan, menyabung ayam, madat, perzinahan pembunuhan, tawuran massal, parampokan dan sebagainya. Pemuka-permuka adat yang seharusnya dapat menjadi tauladan justru ikut menciptakan krisis moral. Hal ini terillustrasi dari adanya budaya-budaya yang mencerminkan tabiat-tabiat buruk masyarakat pada setiap kesempatan pesta-pesta adat. Bahkan kebiasaan buruk itu dilakukan pula pada bulan suci Ramadhan. Sementara itu pada hari-hari pasar para pedagang dan masyarakat lainnya beramai-ramai menghambur-hamburkan uang di meja judi dan sabung ayam. Mengisap candu dan minum-minuman keras ikut meramaikan kehidupan pasar Kebiasaan-kebiasaan inilah yang seringkali menjadi pemicu timbulnya berbagai penyakit masyarakat seperti perkelahian, perampokan, dan pembunuhan.
Sementara itu elit agama tidak memiliki pengaruh yang kuat untuk memberantas penyakit-penyakit masyarakat lantaran kekuasaan tertinggi berada di tangan elit-elit adat. Akan tetapi hal ini bukan berarti para ulama diam saja. Mereka juga ikut prihatin dengan kondisi tersebut. Dalam setiap khotbahnya para ulama selalu melontarkan fatwa-fatwanya yang mengajak masyarakat menjauhi kehidupan yang menyesatkan. Ajakan itu hanya diikuti oleh segelintir orang saja, itupun dalam kalangan terbatas terutama "orang-orang surau" dan sebagian kecil dari elit-elit adat (Rajab,1955:6).
Gerakan keagamaan yang dirintis oleh trio haji Minangkabau itu pada mulanya dikembangkan di daerah masing-masing. Dalam perkembangannya ternyata gerakan itu mendapat dukungan dari para ulama dan sebagian elit adat yang berpandangan sama yakni ingin memurnikan kembali nilai-nilai Islam yang telah dikotori oleh budaya-budaya jahiliyah. Pokok-pokok ajaran yang disampaikan oleh Kaum Padri ini tidak jauh beda dengan ajaran-ajaran Kaum Wahabi. Selain itu, ketiga haji tersebut juga rajin menerangkan pengalaman mereka selama berada di Mekkah dan menjelaskan tentang aktifitas Kaum Wahabi dalam memurnikan kembali ajaran Islam dan mengajak masyarakat untuk hidup sederhana sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.(Nain,1988:43).
Pada mulanya gerakan trio haji itu dilakukan secara lemah lembut seperti yang telah dilakukan oleh pendahulunya yakni Tuanku Nan Tuo. Akan tetapi sebagian masyarakat terutama kaum adat menentang keras aksi mereka. Sikap penentangan yang ditunjukkan oleh elit adat itu sesungguhnya bukan didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan teologis. Sebab, para elit adat itu semuanya muslim yang dalam hati kecilnya tidak menolak kebenaran-kebenaran ajaran Islam yang disampaikan oleh Kaum Padri. Penolakan itu sesungguhnya lebih didasarkan pada persoalan politis yakni kekhawatiran akan hilangnya pamor dan pengaruh mereka di masyarakat. Bagi kaum adat ajaran-ajaran Padri dapat merusak tradisi dan dengan sendirinya akan merongrong kekuasaan mereka.
Radikalisme Gerakan dan Munculnya Konflik Internal
Sikap penentangan yang dilakukan kaum adat dipandang sebagai ancaman oleh Kaum Padri. Untuk menghadapi ancaman itu Kaum Padri segera merubah strategi perjuangan. Cara-cara radikal dan tidak kenal kompromi sekarang menjadi pilihan dalam menjalankan misi mereka. Pada gilirannya, sikap keras kaum padri menimbulkan ketegangan dalam masyarakat Minangkabau yang kemudian menjurus kepada konflik internal yakni antara yang pendukung dan penentang Gerakan Padri. Konflik ini berawal dari dibakarnya Balai Adat masyarakat Pandai Sikek atas perintah Haji Miskin yang bersahabat karib dengan Penghulu setempat yakni Datuk Batuah. Pembakaran terhadap bangunan adat yang terletak di pasar dan menjadi kebanggaan masyarakat Pandai Sikek terjadi lantaran peringatan dari Haji Miskin agar masyarakat menghentikan kebiasaan menyabung ayam dan pekerjaan-pekerjaan maksiat lainnya tidak diacuhkan. Untuk menghindari amuk massa Haji Miskin melari-kan diri ke Koto Laweh.
Selama di Koto Laweh, Haji Miskin mendapat perlindungan dari Tuanku Mansiangan yang merupakan cucu dari pembawa tarekat Syatariyah ke Kapas-Kapas dan Mensiangan dari pantai (Dobbin,1992:156). Dengan adanya perlindungan dari ulama yang disegani itu Haji Miskin terhindar dari hukuman para penghulu dan masyarakat Pandai Sikek. Bahkan di tempat ini dalam waktu yang relatif singkat Haji Miskin mendapat banyak pengikut. Ajaran-ajarannya tentang pembaharuan Islam juga telah mendorong Tuanku Mansiangan untuk ikut menyokong gerakannya, sehingga barisan pendukung gerakan Kaum Padri semakin bertambah. Perpecahan di kalangan masyarakat Koto Lawehpun tidak dapat dihindari. Sebagian mendukung dan sebagian lagi menentang gerakan yang dipelopori Haji Miskin dan pengikutnya. Perpecahan ini pada akhirnya menjurus pada perkelahian yang berakhir dengan kekalahan Haji Miskin dan para pengikutnya. Haji Miskin dan pengikutnya melarikan diri ke Bukit Kamang, Agam, sedangkan Tuanku Mansiangan tetap di Koto Laweh. Masyarakat tidak mengusik tokoh ini lantaran Tuanku Mansiangan berjanji untuk hanya mengajar saja di surau seperti semula.
Daerah Agam yang sejak akhir abad ke sembilan belas telah memulai usaha gerakan kembali ke syari'at yang dipelopori oleh Tuanku Nan Tuo agaknya menjadi tempat yang cocok bagi Haji Miskin dalam menyalurkan ide-ide pembaharuannya. Pelindung Haji Miskin di sini adalah rekan seperguruannya, yakni Tuanku Nan Renceh. Kedua tokoh Padri ini adalah murid Tuanku Nan Tuo dan keduanya juga ikut terlibat dalam gerakan pembaharuan awal yang dipelopori oleh gurunya pada akhir abad ke delapan belas. Bagi Tuanku Nan Renceh pertemuan dengan Haji Miskin menjadi pemicu keinginannya untuk kembali melakukan gerakan kembali ke syari'at setelah vakum cukup lama.
Kekecewaan Tuanku Nan Renceh atas sikap lunak gurunya dalam melancarkan gerakan kembali kepada syari'at menjadi faktor utama mudahnya Haji Miskin mendapat dukungan dan simpati dari tokoh yang dikenal sangat garang ini. Sebelum bertemu dengan Haji Miskin, gerakan pembaharuan Tuanku Nan Renceh masih belum mempunyai tujuan dan wujud yang jelas. Maka ketika Haji Miskin menyampaikan ide-ide pembaharuannya, Tuanku Nan Renceh segera menyatakan dukungannya. Tujuan perjuangannya pun lebih jelas dan tampak lebih radikal. Setelah mendapat petunjuk dan nasehat dari Haji Miskin, Tuanku Nan Renceh semakin yakin bahwa usaha pembaharuannya akan mendapat dukungan dari elit-elit agama lainnya di Agam. Bahkan, Tuanku Nan Renceh juga berambisi untuk meluaskan gerakannya hingga ke seluruh wilayah di Pulau Sumatera (Parve,1990:155).
Pertemuan kedua tokoh ini pada gilirannya menjadikan ide-ide pembaharuan kaum Padri dapat dijalankan secara intensif. Akan tetapi dalam perkembangannya, yang paling menonjol adalah Tuanku Nan Renceh yang memulai kegiatannya di daerah Agam. Sementara itu, Haji Miskin, meskipun tidak mendapat kesempatan untuk berperan lebih jauh, ia selalu berusaha untuk memainkan peranan yang tersedia baginya. Dalam hal ini ia lebih berperan sebagai juru dakwah yang mengajak orang-orang untuk menerima ajaran-ajaran Padri.
Tuanku Nan Renceh memulai usahanya dengan melobi ulama-ulama yang mempunyai pengaruh besar untuk mendu-kung gerakannya. Dalam waktu yang tidak lama, tujuh Tuanku dari Candung, Sungai Puar, dan Banuhampu menyatakan dukungannya. Untuk mengorganisir gerakan mereka, Tuanku Nan Renceh membentuk persekutuan dengan Tuanku-Tuanku tersebut. Persekutuan inilah yang dalam sejarah Minangkabau dikenal sebagai Harimau Nan Salapan (Harimau yang delapan), Mereka itu adalah : Tuanku Lubuk Aur (Candung), Tuanku Berapi di Bukit (Candung), Tuanku Galong (Sungai Puar), Tuanku Padang Laweh (Banuhampu), Tuanku Banesa (Agam), Tuanku Kapau (Agam), dan Tuanku Nan Renceh sendiri (Kamang). Keberadaan Harimau Nan Salapan pada gilirannya menjadikan ide-ide pembaharuan kaum Padri dapat dijalankan secara intensif.
Sebelum memulai gerakannya, Tuanku Nan Renceh dan kawan-kawan mendatangi Tuanku Nan Tuo untuk memohon restu dari ulama kharismatik ini. Dihadapan guru yang telah membawanya untuk mengenal Islam lebih mendalam lagi, Tuanku Nan Renceh menjabarkan ide-ide pembaharuannya yang didasarkan pada Al Qur'an dan Hadis dan menentang segala praktek-praktek yang bertentangan dengan ajaran Islam. Cara-cara yang akan dipakai untuk mencapai tujuan itu, yakni tindakan kekerasan bagi yang menentang, juga dipaparkan secara panjang lebar. Tanpa diduga ternyata pertemuan elit-elit agama itu justru menimbulkan perdebatan yang sengit. Tuanku Nan Tuo yang merupakan guru dari beberapa anggota Harimau Nan Selapan pada dasarnya menyetujui ide-ide pembaharuan Tuanku Nan Renceh dan kawan-kawan tetapi menolak keras cara-cara kekerasan dalam pelaksanaannya. Bagi Tuanku Nan Tuo, dakwah yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan selain tidak bijaksana juga bertentangan dengan ajaran Islam. Tuanku Nan Tuo mengajukan argumentasi bahwa "…Nabi berjiwa suka damai dan suka mengampuni, yang menekankan bahwa orang patut dihukum mati adalah orang yang dengan sadar mengingkari Islam, dan bahwa desa yang mempunyai seorang mu'min (orang beriman) pun tidak boleh diserang." Oleh karenanya Tuanku Nan Tuo tidak bersedia untuk bergabung dengan mantan muridnya itu. Akan tetapi Tuanku Nan Renceh tetap pada pendiriannya. Bagi Kaum Padri, membunuh orang yang tidak mematuhi aturan-aturan agama bukanlah perbuatan dosa.
Menyadari bahwa sulit untuk mendapat restu dari ulama besar Agam itu, Haji Miskin mengajak Tuanku Nan Renceh dan kawan-kawan pergi ke Koto Laweh untuk menemui Tuanku Mansiangan. Kepada ulama ini kelompok Harimau Nan Salapan memintanya sebagai pelindung dan pemimpin gerakan. Ulama yang terkenal karena pengetahuannya yang luas dan cukup berpengaruh di Koto Laweh ini menyatakan kesediaannya. Kesediaan Tuanku Mansiangan bersedia untuk bergabung dengan kaum Padri agaknya lebih didasarkan atas pertimbangan bahwa ia telah mengenal secara baik Haji Miskin dan pernah menjadi pelindungnya, sehingga ia tidak merasa asing dengan ide-ide pembaharuan Islam yang diusung Kaum Paderi. Kecuali itu, Tuanku Mansiangan adalah orang yang gila hormat, sementara popularitasnya tidak seluas Tuanku Nan Tuo yang juga adalah murid dari ayahnya. Popularitasnya hanya sebatas Koto Laweh, sedangkan Tuanku Nan Tuo tidak hanya di seluruh Agam tetapi juga ke wilayah lain di luar Agam. Keputusannya untuk bergabung dan menjadi pemimpin Kaum Padri diharapkan dapat mendongkrak popularitas dan dapat menaikkan gengsinya di kalangan ulama khususnya di Agam. Sebagai tanda terima kasih atas kesediaannya bergabung dengan Kaum Padri, Tuanku Nan Renceh memberinya gelar Imam Besar. Meskipun pimpinan kaum Padri berada di tangan Tuanku Mansiangan namun aktor sesungguhnya adalah Tuanku Nan Renceh. Orang yang disebut kemudian inilah yang lebih menonjol dalam menentukan arah perjalanan gerakan Kaum Padri.
Dalam satu pertemuan dengan masyarakat di Kamang Tuanku Nan Renceh mengajak masyarakat untuk ikut mendu-kung gerakan pembaharuannya. Kepada masyarakat diperintahkan untuk menjalankan syari'at Islam dan sholat 5 waktu harus dijalankan. Makan sirih, merokok, minum minuman keras, dan madat diharamkan. Kepada kaum lelaki dianjurkan untuk memakai pakaian putih dan memelihara jenggot. Memakai pakaian dari sutera dan perhiasan emas hanya dibolehkan kepada kaum perempuan. Kaum ibu juga diharuskan memakai cadar. Bagi yang bersalah atau melanggar sebuah dari aturan-aturan tersebut akan dikenakan hukuman mati dan harta bendanya akan dirampas. Keseriusan Tuanku Nan Renceh memberikan hukuman mati bagi yang melanggar aturan-aturan yang dibuatnya dicontohkan dengan membunuh bibinya lantaran adik kandung ibunya itu kedapatan sedang mengunyah sirih.
Peristiwa pembunuhan tersebut ternyata mengundang banyak ulama dari berbagai tempat untuk menggabungkan diri dengan Tuanku nan Renceh. Tindakan kekerasan Tuanku Nan renceh dianggap sebagai wujud dari keseriusan dalam menja-lankan syari'at Islam. Siapapun yang bersalah harus dihukum meski itu keluarga sendiri. Dukungan terhadap Kaum Padri juga semakin luas. "Pada saat inilah kaum Padari mulai berusaha merombak masyarakat Padang darat, sementara Tuanku nan renceh memperoleh dukungan masyarakat yang makin besar sehingga tampaklah saat yang baik bagi dia untuk melanjutkan pelaksanaan maksudnya. Desanya sendiri sudah diletakkannya di bawah kekuasaan alim ulama" (Taufik Abdullah,1990,172-173). Dalam hitungan hari banyak nagari-nagari yang mengakui kekuasaan Kaum Padri dan mengikuti ajaran-ajarannya. Seluruh wilayah Agam menjadi daerah kekuasaan Padri. Kaum Paderi muncul sebagai kekuatan politik baru di pedalaman Minangkabau.
Dimensi Politik Gerakan Padri
Keberhasilan Kaum Padri menguasai daerah Agam menandai dimulainya penyusunan pemerintahan nagari yang bercorak agama dan menitikberatkan pada ajaran Islam sebagaimana yang dipahami Kaum Padri. Pada setiap nagari yang menjadi kekuasaan Padri diangkat dua orang ulama sebagai kepala dengan panggilan Tuanku Imam dan Tuanku Kadhi. Penjelasan ini memberi gambaran bahwa Gerakan Padri sesungguhnya merupakan gerakan elit-elit agama di Minangkabau yang tidak mendapat tempat dalam otoritas kekuasaan. Akan tetapi otoritas yang dimaksud hanyalah kekuasaan untuk memperbaiki masyarakat dengan menjalankan ajaran Islam yang benar. Dengan kata kata lain, elit agama ingin mengembalikan peranannya sebagai pemegang kekuasaan dalam bidang agama, sejajar dengan kekuasaan penghulu sebagai pemegang pucuk pemerintahan dalam nagari.
Rakyat awam yang selama ini mendapat kebebasan bertindak menuruti kata hati masing-masing tidak dapat menerima aturan-aturan yang dipaksakan Kaum Padri. Dalam keadaan seperti ini elit-elit adat menjadi tempat berlindung yang paling tepat bagi rakyat awam. Sebagai orang yang memiliki otoritas tertinggi dalam nagari dan pemimpin suku dalam kaum tentu saja elit-elit adat tidak menginginkan kondisi yang demikian. Apalagi sebagai petinggi adat, yang bertugas memelihara anak kemenakan serta seluruh warga sukunya tidak akan membiarkan anak kemenakan serta seluruh warga sukunya menjadi korban kekerasan Kaum Padri. Untuk itu para penghulu sepakat untuk mempertahankan kekuasaannya yang telah "direbut" oleh Kaum Padri. Para penghulu menyusun barisan bersama anak buahnya untuk menentang segala tindakan Kaum Padri. Atas inisiatif petinggi-petinggi adat di Sungai Puar diadakan pesta adat yang dimeriahkan dengan pertunjukkan sabung ayam. Tindakan ini sengaja dilakukan sebagai show of force elit-elit adat setempat terhadap Kaum Padri. Tuanku Nan Tuo mencoba untuk menengahi tetapi tidak berhasil. Akibatnya timbullah pertempuran antara Kaum Padri dengan kaum adat yang dimenangkan oleh Kaum Padri. Kemenangan ini tidak lepas dari bantuan murid-murid Tuanku Nan Tuo.
Setelah berhasil menanamkan kekuasaannya di Agam, usaha Kaum Padri berikutnya adalah mengikis habis pengaruh Kerajaan Pagaruyung yang dianggap dapat menghalangi misi pembaha-ruan Islam mereka. Untuk itu Kaum Padri melakukan penye-rangan terhadap nagari-nagari yang tidak mau tunduk kepada mereka. Dalam penyerangan ini banyak kaum adat yang menye-rah dan yang tidak menyerah melarikan diri ke daerah lain seperti daerah Batipuh. Dalam penyerangan ini, Tuanku Nan Tuo beserta pengikutnya juga tidak terlepas dari sasaran Gerakan Padri, surau tempat ia mengajar dibakar. Selain itu tidak sedikit balairung dan tempat-tempat lainnya yang dibakar.
Sementara itu, gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Haji Sumanik di Luhak Tanah Datar mendapat perlawanan yang hebat. Keluarga kerajaan bekerjasama dengan elit-elit adat dan masyarakat lainnya untuk menghadapi Kaum Padri. Kuatnya perlawanan terhadap Kaum Padri di daerah ini berkait erat dengan kondisi daerah setempat yang merupakan pusat kedudukan Kerajaan Pagarruyung. Sebagai pemimpin masyarakat yang dipilih secara primus interpares, penghulu mempunyai pengaruh yang kuat di kalangan masyarakat. Keberhasilan Kaum Padri menanamkan kekuasaan di Agam telah menyadarkan kaum adat di Tanah Datar bahwa Kaum Padri berambisi untuk merebut kekuasaan dari para penghulu. Merasa sulit untuk bergerak, Haji Sumanik terpaksa hijrah ke daerah Lintau.
Selain Haji Sumanik terdapat pula tokoh Paderi yang mem-punyai pengaruh cukup besar yakni Saidi Muning putra dari seorang petinggi adat di Lintau. Tokoh ini pernah berguru ke Koto Tuo, Agam sebelum melanjutkan pendidikannya ke Pasaman. Pada tahun 1813 tokoh yang disapa dengan Tuanku Pasa-man ini kembali ke kampung halamannya, di Lembah Sinamar, Lintau. Dari sinilah ia memulai gerakan pembaharuannya. Ia sudah mendengar berita tentang keberhasilan Tuanku Nan Renceh memimpin gerakan pembaharuan di Agam; berita itu sangat berkesan di hatinya. Hal yang sama ingin pula dilakukan di daerahnya.
Gerakan pembaharuan yang dilakukan Tuanku Pasaman tidak mendapat perlawanan dari pihak kerajaan, karena gerakannya lebih difokuskan pada perbaikan moral masyarakat. Akan tetapi nagari-nagari yang terletak dekat pusat pemerintahan menunjukkan sikap permusuhan. Konflik internal pun tidak dapat dihindari. Dalam waktu singkat nagari-nagari di sebelah timur Tanah Datar dilanda kerusuhan. Timbulnya kerusuhan tersebut menyadarkan Tuanku Pasaman bahwa Raja Minangkabau ternyata tidak mempunyai kekuatan dan tidak mendukung gerakan yang tengah diperjuangkannya. Kecuali itu, Tuanku Pasaman juga merasa perlu untuk menerapkan sistem administrasi yang seragam di Luhak Tanah Datar dan kerajaan merupakan penghalang utama bagi terwujudnya gagasan-gagasan yang diperjuangkannya di Tanah Datar.
Atas inisiatif Tuanku Pasaman pada tahun 1815 di Koto Tangah diadakan perundingan antara Kaum Padri dengan keluarga dan pembesar-pembesar Kerajaan Minangkabau. Raja datang bersama keluarga dan diiringi oleh Basa Ampek Balai. Dalam pertemuan ini terjadi perselisihan pendapat antara Tuanku Pasaman dengan pembesar istana; Tuanku Pasaman meminta kepada Raja agar Raja Naro, Raja Talang, dan putera Raja Muningsyah dihukum mati karena ketiga orang tersebut telah menentang agama dan bersama elit-elit adat di Tanjung Barulak memerangi Kaum Padri. Perundingan itu berakhir dengan perkelahian kedua belah pihak. Seluruh Basa Ampek Balai dan sebagian keluarga kerajaan tewas; hanya raja beserta cucunya yang dapat lolos dan melarikan diri ke Kuantan di Lubuk Jambi. Peristiwa itu mengakhiri kekuasaan Raja Alam Minangkabau, sedangkan bagi nagari-nagari yang selama ini melakukan perlawanan akhirnya menyerah kecuali daerah Batipuh yang menjadi tempat pelarian para penghulu dari berbagai daerah di Minangkabau. Meskipun Kaum Padri berhasil menyingkirkan kekuasaan Raja Minangkabau, namun mereka tidak segera mengambil alih kekuasaan tersebut. Hal ini semakin menguatkan pendapat bahwa gerakan tersebut sesungguhnya memang gerakan kaum inteletual agama yang ingin menempatkan kaum agama pada posisi yang terhormat di tengah masyarakat Minangkabau.
Setelah berhasil menyingkirkan kekuasaan Raja Minangkabau, ternyata Tuanku Pasaman melegitimasi kekuasaannya dengan menikahi putri Rajo Ibadat dan lebih memilih Lintau sebagai pusat kekuasaannya. Di tempat inilah ia kemudian menyatakan dirinya sebagai Raja Ibadat dan Raja Adat. Sejak itu ia dikenal sebagai Tuanku Lintau. Meskipun mendapat perlawanan yang hebat dari pemuka-pemuka adat namun dalam waktu singkat Tuanku Lintau berhasil meluaskan pengaruhnya ke nagari-nagari di Luhak Tanah Datar. Tanjung Barulak dapat dicatat sebagai tempat pertempuran yang sangat hebat antara Kaum Padri dengan para penentangnya sebelum akhirnya berhasil dikuasai Tuanku Lintau. Nagari-nagari lainnya di Tanah datar juga takluk kepada Tuanku Lintau, kecuali Batipuh yang mengadakan perlawanan. Meskipun sempat menguasai Batipuh, namun perlawanan hebat dari rakyat Batipuh akhirnya memaksa Tuanku Lintau meninggalkan Batipuh. Inilah kekalahan pertama yang dialami Kaum Padri.
Kekalahan Kaum Padri di Batipuh merupakan pelajaran berharga bagi kaum pembaharu itu. Tidak adanya koordinasi yang baik merupakan alasan utama yang dapat dikemukakan sehubungan dengan kekalahan kaum pembaharu itu. Gerakan keagamaan berlangsung secara terpisah dalam berbagai daerah; gerakan itu berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya suatu komando yang dapat mengkoordinir seluruh gerakan. Hal ini tentu menyulitkan bagi Kaum Padri untuk menjalin persatuan. Kekuatan Kaum Padri yang hanya terbatas dalam kehidupan desa-desa di daerah pedalaman saja, telah menyebabkan perluasan kekuasaannya tidak membuahkan hasil yang diharapkan, karena hubungan gerakan yang terdapat di tiap nagari (desa) itu hanyalah dalam hubungan moral sebagai sesama penggerak aksi keagamaan yang ingin membawa masyarakat Minangkabau kembali kepada kehidupan yang berdasarkan syari'at Islam. Dalam memperjuangkan cita-cita keagamaan seperti itu, rupanya keterikatan dan loyalitas hanya berfungsi secara praktis untuk daerah-daerah tertentu saja, lebih bersifat keagamaan, dan tidak wujud dalam prilaku politik kalangan pengikut Paderi secara keseluruhan.
© Irhash A. Shamad & Danil M. Chaniago
Sumber : Irhash A. Shamad & Danil M. Chaniago, 2007, Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau, Jakarta : PT. Tintamas Indonesia, Bagian IV