Pada saat peresmian Madrasah ini, hadir beberapa ulama Kaum Tua yang sepaham dengan Syekh Sulaiman Ar-Rasuly, yaitu antara lain : Syekh Ahmad Baruh Gunung (50 Koto), Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Abdul Wahid Shalihi Tabek Gadang, Syekh Muhammad Arifin Batu Hampar, Syekh Alwi Koto Nan Ampek, Syekh Jalaluddin Sicincin, Syekh Abdul Majid Koto Nan Gadang, dan Syekh HMS Sulaiman Bukittinggi. Pada waktu peresmian Madrasah di Candung inilah munculnya gagasan untuk merobah surau-surau yang diasuh oleh ulama-ulama yang disebutkan menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah.
Dalam kesempatan pertemuan di Candung ini, salah seorang ulama yang hadir pada waktu itu yaitu Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas mengemukakan gagasan tentang perlunya ulama Syafi’iyah Minangkabau menyatukan langkah dalam sebuah forum yang dapat menjalin kebersamaan dalam mengelola sekolah masing-masing dan menyepakati kesamaan kurikulum dan kitab-kitab yang akan digunakan dalam berbagai bidang keilmuan Islam. Dalam bidang Fiqh misalnya ditentukan kitab-kitab Syafi’iyyah mana yang akan digunakan. Gagasan ini ternyata mendapatkan persetujuan dari para ulama yang hadir pada kesempatan ini.
Untuk menyatukan langkah ini, maka pada tanggal 20 Mei 1930, Syekh Sulaiman Ar-Rasuly menggagas pertemuan ulama-ulama Syafi’iyyah Minangkabau. Pada waktu ini disepakati untuk membentuk organisasi sosial kemasyarakatan dan pendidikan yang diberi nama Persatuan Tarbiyah Islamiyah (pada waktu ini disingkat dengan PTI). Organisasi ini menghimpun dan mempersatukan sekolah-sekolah dan ulama-ulama yang sefaham dibawah i’tiqad Ahlussunnah wal-Jama’ah dan dalam syari’at dan ibadat menurut mazhab Imam Syafi’i (Anggaran dasar PTI, pasal II). Organisasi yang dipimpin pertama kali oleh Syekh Sulaiman Ar-Rasuly ini adalah satu-satunya organisasi keagamaan dari kalangan Kaum Tua Minangkabau pada waktu ini dan satu-satunya organisasi yang berkomitmen untuk mempertahankan mazhab Syafi’i di Sumatera Barat (Minangkabau) (cf. : L. Stoddard, 1966 : 321-22)
Semenjak pertemuan di Candung, beberapa ulama yang hadir langsung mengikuti jejak Syekh Sulaiman Ar-Rasuli untuk merubah sistem pendidikan surau mereka, maka stelah itu muncullah Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Jaho Padang Panjang, MTI Tabek Gadang Suliki. Setelah itu bertebaranlah MTI-MTI di beberapa daerah lainnya di Sumatera Barat yang dikembangkan oleh alumni Madrasah yang tiga itu. Madrasah-Madrasah Tarbiyah lainpun bermunculan di beberapa daerah di Sumatera, dari Aceh sampai Lampung, bahkan sampai ke Kalimantan (H. Yunus Yahya, 1976:26). Semua madrasah itu bergabung di bawah organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
Dalam Kongres kedua PTI di Bukittinggi disepakati untuk merobah singkatan Persatuan Tarbiyah Islamiyah menjadi PERTI. Seiring dengan perubahan ini serta perkembangan Madrasah-Madrasah Tarbiyah Islamiyah di berbagai daerah, maka cabang organisasi PERTIpun berkembang dengan baik di beberapa daerah, baik di Sumatera, Jawa, Kalimantan, bahkan sampai ke Sulawesi (Hulfa,1994:17).
Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang didirikan kalangan kaum Tua memang bukanlah organisasi Tarikat, namun dalam organisasi ini terdapat bidang khusus yang menangani soal tarikat. Sedangkan tarikat yang cendrung dianut oleh ulama-ulama Kaum Tua yang tergabung dalam PERTI ini pada umumnya adalah tarikat Naqsyabandi. Namun tidaklah berarti keanggotaan PERTI terbatas pada tarikat Naqsyabandi saja. Tarikat Naqsyabandi adalah tarikat yang lebih moderat dan tidak tertutup terhadap gagasan pembaharuan (Sanusi Lathief, 1988). Oleh karena itu PERTI lebih dapat mengakomodasi ide-ide pembaharuan yang dilancarkan oleh ulama-ulama pembaharu. Syekh Sulaiman Ar-Rasuly sendiri beberapa waktu kemudian sangat berperan dalam mencairkan kondisi perpecahan masyarakat akibat pertikaian Kaum Muda dan Kaum Tua yang terjadi di Minangkabau selama ini. Demikianpun beberapa ketegangan kaum agama dan kaum adat dijembatani oleh ulama yang satu ini, baik melalui tindakan nyata maupun lewat karya-karya tulis yang dihasilkannya[1].
Pada bulan Oktober tahun 1945, pemerintah mengeluarkan Maklumat No. X disusul Maklumat tanggal 3 Nopember 1945 yang ditanda tangani oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta. Maklumat ini berupa anjuran dari Badan Pekerja KNIP untuk mendirikan sebanyak-banyaknya partai dalam rangka menyambut pemilihan umum 1946. Untuk menyambut Maklumat pemerintah ini, maka tokoh-tokoh PERTI berinisiatif untuk menjadikan PERTI sebagai partai politik. Ini diputuskan melalui Kongres Persatuan Tarbiyah Islamiyah tanggal 22 Nopember 1945. Namun setelah munculnya perbedaan pandangan di kalangan internal organisasi ini, apalagi selama 23 tahun partai ini berjalan telah meluputkan perhatian pada tujuan semula dalam bidang pendidikan karena lebih terfokus pada masalah-masalah politik, maka untuk menyelamatkan organisasi ini, pada tanggal 1 Maret 1969, Syekh Sulaiman Ar-Rasuly selaku pendiri PERTI mengeluarkan Dekrit untuk kembali ke Khittah 1928 dan nama Partai Islam PERTI diganti menjadi Persatuan Tarbiyah Islamiyah atau disingkat Tarbiyah.
Akan tetapi, gagasan kembali ke khittah 1928 yang merupakan pesan-pesan terakhir Syekh Sulaiman Ar-Rasuly ini, oleh para pelanjut organisasi Tarbiyah, diinterpretasi sebagai hanya keharusan organisasi untuk tidak menjadi partai politik, bukan tidak berpolitik. Sehingga dalam perkembangannya setelah tahun 1970an, organisasi Tarbiyah berafiliasi dengan salah satu kekuatan politik (yang bukan partai politik), yaitu Golongan Karya. Akhirnya, apa yang sesungguhnya menjadi obsesi pendiri untuk mengembalikan organisasi menjadi organisasi yang berkonsentrasi bagi pengembangan pendidikan Islam, kembali menjadi terabaikan. Kesibukan para tokoh organisasi Tarbiyah dalam mengurusi soal-soal politik, telah meluputkan perhatian mereka dalam mengembangkan sistem pendidikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah sendiri. Hingga hari ini kita menyaksikan trend MTI yang mengalami penurunan grafik secara tajam, kecuali beberapa yang mampu survive dengan kebesaran nama tokoh pendiri, atau sekedar mau mendompleng popularitas pesantren di Jawa dengan mengubah nama menjadi “Pesantren”, karena sebutan “Madrasah” yang dianggap ketinggalan zaman. Wallahu a’lamu bishshawab.
(baca selanjutnya : Dari Surau, Madrasah, hingga Pesantren)
© Irhash A. Shamad
Tulisan ini diterbitkan dalam rangka menyambut Temu Akbar Alumni MTI Canduang yang di selenggarakan di Canduang 18 Juli 2009. “Selamat berunjuk gagasan bagi kejayaan masa depan Madrasah Tarbiyah Islamiyah”
[1] Syekh Sulaiman Ar-Rasuly, disamping sebagai ulama ahli Fiqh ia juga dikenal ahli dalam adat Minangkabau. Dari beberapa karangannya sebagian menyangkut dengan adat Minangkabau. Bahkan ia juga termasuk salah seorang pengurus Majlis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM)
Posting Komentar