Dengan dibukanya ladang-ladang emas di daerah-daerah pertambangan seperti di Victoria, New South Wales dan Australia Barat, telah meningkatkan taraf perekonomian masyarakat. Seiring dengan meningkatnya pendapatan perkapita penduduk, kemampuan daya beli masyarakat tentunya bertambah yang berakibat terhadap peningkatan import ke wilayah ini. Ini berarti bertambah pula income negara dari sektor impor itu. Peningkatan-peningkatan income negara telah memberi peluang untuk dibangunnya secara efektif sarana-sarana perekonomian seperti transportasi, sarana pendidikan, jalan-jalan dsb. Jalan kereta api dari Melbourne ke William Town dibangun pada tahun 1854, setahun setelah itu dibangun pula jalan kereta api yang menghubungkan wilayah pedalaman Sydney. Efektifitas pembangunan sarana transportasi ini sekaligus juga membawa dampak terhadap intensifnya eksploitasi sumber daya alam lainnya terutama pertanian.
Dampak penemuan emas ini ternyata juga berpengaruh pada peningkatan imigran yang datang ke Australia, seperti dari Cina, Asia, Jepang dll. Dengan demikian pertumbuhan penduduk semakin meningkat pesat. Imigrasi tidak hanya berdampak terhadap pertambahan jumlah penduduk, akan tetapi juga semakin beragamnya ras dan budaya yang terdapat di Australia. Akibat dari ini semua adalah timbulnya perpecahan dikalangan masyarakat, terutama antar ras, seperti pengalaman-pengalaman di beberapa tambang Victoria pada tahun 1957. Pada tahun itu jumlah orang Cina di sini mencapai 23.623. Jumlah ini sangat mengkhawatirkan orang-orang Eropa. Kekhawatiran ini lah yang menyebabkan parlemen Victoria dan New South Wales akhirnya mengesahkan undang-undang untuk membatasi masuknya orang-orang Cina (cf. Manning Clark,1981,Chpt.7).
Dengan semakin heterogennya masyarakat yang disertai meningkatnya mobilitas sosial dan taraf pendidikan mereka, pada akhirnya menimbulkan implikasi-implikasi terhadap munculnya kesadaran politik warga negara. Warga imigran makin menyadari hak-hak politiknya. Mereka enggan membayar pajak tanpa melalui persetujuan dari perwakilannya di Parlemen. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi kebijaksanaan dan konstitusi pemerintahan Australia, seperti pengangkatan anggota upper house dari orang-orang kaya, pemilik tanah dan orang-orang yang berpendidikan. Sementara itu para pemilik tanah dan golongan konservatif menuntut agar konstitusi mencerminkan kepentingan-kepentingan besar dalam masyarakat. Tuntutan inipun akhirnya disetujui parlemen.
Berkaitan dengan hal yang dikemukakan itu, terjadi pula beberapa pemberontakan seperti Ballarat dengan Eureka Stockade. Meskipun pemberontakan ini mengalami kegagalan, namun pemerintahan Inggris akhirnya membentuk sebuah parlemen di Victoria atas dasar pemungutan suara. Pembentukan parlemen ini mendorong koloni-koloni lainnya untuk berusaha memisahkan diri dari pemerintahan pusat. Ini menjadi persoalan-persoalan yang tidak mudah dalam mewujudkan sebuah republik yang bersatu.
Pandangan Geoffrey Dutton mengenai "Republik Australia" dapat ditangkap melalui artikelnya yang dimuat dalam buku yang diedit oleh Arnold cs. sebagai berikut : setidaknya apa yang menggejala dalam kehidupan masyarakat Australia saat ini adalah ketidaksenangan terhadap pemerintahan Inggris. Ia menegaskan bahwa tidak semua orang menganggap bahwa Inggris adalah “rumah”, suatu bukti bahwa Inggris tidak lagi dapat menawarkan kekuatan militer bagi Australia demikianpun kekuatan ekonomi, moral dan budaya. Kewibawaan Ratu Inggris mulai pudar dikalangan rakyat Australia. Menurutnya sikap kolonial hanya diperlihatkan oleh manifestasi kebudayaan lama dan absurd. Dari apa yang kita tangkap dalam tulisan Dutton ini ialah sikap mendukung terhadap keharusan Australia menjadi sebuah republik, namun begitu komplitnya masalah Australia, ia meragukan akan terwujudnya Republik Australia.
Munculnya Gagasan Multikulturalisme
Multikulturalisme, kemudian menjadi gagasan yang muncul untuk mengatasi heterogenitas etnis yang terdiri dari berbagai etnis dengan latar belakang budaya yang berbeda. Upaya untuk penyatuan pola budaya ini semula sudah dirintis melalui gagasan assimilasi dan integrasi dalam rangka mencegah perpecahan antar etnis di Australia. Akan tetapi kemudian gagasan ini mendapat tantangan dari berbagai fihak terutama pihak politisi sayap kanan. Gagasan multikulturalisme yang kemudian diperkenalkan, dalam konteks yang sesungguhnya adalah legitimasi hak atas berkembangnya berbagai kultur di Australia secara sama. Namun dalam prakteknya gagasan multikulturalisme ini hanya menekankan aspek kultural semata tanpa dibarengi dengan pandangan yang sama terhadap kesempatan kerja. Sehingga, gagasan ini, oleh sementara pihak hanya dianggap sebagai upaya radikal untuk mempromosikan kepentingan etnis tertentu saja.
Pada akhir tahun 1940an, ketika Australia membuka pintunya terhadap para imigran-imigran non British dan mengizinkan mereka tinggal dan menetap, beberapa persyaratan ditetapkan untuk mengasimilasikan mereka agar menjadi warga Australia yang sesungguhnya dan dapat melupakan kebudayaan asli mereka. Ketika imigran-imigran pertama yang berasal dari Itali dan Greek pada akhir tahun 1940 masuk ke Australia, mereka mengalami diskriminasi rasial dari orang-orang Inggris dan Irlandia. Para imigran ini mencoba untuk menguasai bahasa Inggeris serta meniru pola hidup orang Australia. Ini dianggap suatu cara asimilasi yang kemudian sangat bermanfaat ketika kebijakan White Australia dijalankan, namun tidak demikian halnya dengan asimilasi untuk imigran dari Asia dan Afrika karena perbedaan fisik mereka dengan orang Australia sangat menonjol .
Setelah Perang Dunia Kedua, karena pertimbangan-pertimbangan pertahanan Australia, maka kebijaksanaan White Australia ditinjau kembali. Hubungan-hubungan negara di Asia Tenggara dan samudra Pasifik berubah secara drastis dengan mundurnya angkatan laut Inggris dari sana dan munculnya negara-negara yang mungkin akan membahayakan sistem perdagangan Australia sendiri. Banyak negara yang kemudian memprotes kebijaksanaan White Australia yang berdasarkan konsep white rasism itu. Australia akhirnya tidak dapat mengabaikan protes-protes itu (Yarwood, A.T. & M.J. Knowling 1982:286-7). Ketika terjadi perdebatan dalam dalam parlemen Australia tentang masalah dibuka atau tidaknya pintu bagi para imigran kulit berwarna, terdapat oposisi-oposisi yang keras. Oposisi muncul dari anggota parlemen yang menolak kehadiran bangsa kulit berwarna, karena menganggap terlalu sulitnya penyesuaian imigran yang berasal dari latar belakang sosial yang berbeda dalam kondisi Australia.
Pada tahun 1966 pemerintah Australia mengubah kebijaksanaan imigrasi yang memungkinkan orang-orang non-Eropa dapat memperoleh izin untuk tetap tinggal di Australia, namun ketika pada tahun 1970an masuk para imigran dari Asia, ternyata mereka tidak disambut dengan hangat oleh masyarakat Australia, karena, disamping perbedaan fisik yang sangat menonjol, juga latar balakang budaya dan pola hidup yang sangat berbeda. Kenyataan inilah yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan asimilasi pada dasarnya tidak bermanfaat banyak bagi para imigran Asia dan Afrika hitam.
Ketika Gough Withlam terpilih sebagai perdana menteri Australia pada tahun 1972, ia mencoba untuk menghapuskan konsep asimilasi berdasarkan white Australia untuk kedamaian dan kesejahteraan negara dan atas nama kebenaran. Untuk upaya ini ia mengangkat Al Grassby sebagai Menteri Imigrasi dan kepala Komisi Hubungan Masyarakat. Withlam menyediakan pendidikan bahasa Inggris untuk para imigran dalam rangka membantu mereka dalam pergaulan sehari-hari. Melalui pemerintahan Withlam konsep multikulturalisme diperkenalkan sebagai tindakan konstruktif untuk pencapaian identitas baru masyarakat Australia.
Pada tahun 1978 Galbally Report menyarankan prinsip-prinsip dasar kebijaksanaan multikulturalisme yang sampai saat ini masih diperpegangi. Pertama, ditekankan agar kesempatan yang sama harus diberikan kepada semua orang untuk merealisasikan potensinya. Kedua, setiap orang harus dapat menjaga kebudayaan mereka tanpa mengalami prasangka apapun. Ketiga, kursus-kursus dan pelayanan-pelayanan khusus harus dipersiapkan untuk para imigran sambil kebutuhan jangka pendek mereka diberikan. Keempat, Semua program yang dibentuk untuk para imigran harus dengan konsultasi para imigran tersebut.
Selama empat tahun pertama pemerintahan Hawke (1983-1987) konsep multikulturalisme tidak berjalan baik. Namun pada tahun 1987, Hawke mendirikan Office of Multicultural Affair (OMA) dan berada di bawah Departemen Perdana Menteri. Melalui Badan ini dikembangkan konsep-konsep multikulturalisme secara lebih mendalam dan menekankan batasan-batasan konsep itu serta ide Australia sebagai suatu unsur unifikasi. Dengan begitu imigran-imigran diharapkan memberikan loyalitasnya terhadap Australia. Bahkan OMA, melalui agenda nasionalnya menjelaskan dan mempertajam defenisi multikulturalisme sebagai suatu istilah yang menggambarkan diversitas budaya dan etnik dalam Australia Baru (Londom,1992:93).
Tiga acuan yang dirumuskan Hawke dalam membatasi konsep multikulturalisme, yaitu : pertama, semua orang boleh mengekspressikan warisan kebudayaan nenek moyang mereka, asalkan tidak bertentangan dengan hukum yang ada. Kedua, semua masyarakat Australia berhak atas keadilan sosial tanpa melihat warna kulit, bahasa, agama serta keturunan, dan ketiga, effesiensi ekonomi yang mengandung keperluan untuk meneruskan dan mengembangkan serta menggunakan semua potensi-potensi komunitas baru Australia.
Dalam halaman pertama National Agenda, terlihat jelas interpretasi Hawke tentang kesatuan Australia dengan konsep multikulturalismenya, yaitu : pertama, “multicultural policies are based on the permise that all Australians future first and foremost”, kedua, “multicultural policies require all Australians to accept the basic structures and principles of Australian society – the constitution and the rule of law, tolerance and equality, parliamentary democracy, freedom of speech and religion”.(etc.), dan ketiga, multicultural policies impose obligation as well as confering rights : the right to express one’s own culture and beliefs involves and reciprocal responsibility to accept the right of others to express their view and values” (Matin,Jean,1981:145).
Beberapa Implikasi Multikulturalisme
Sebagaimana telah dikemukakan, munculnya gagasan multikulturalisme di Australia didorong oleh berbagai motivasi, salah satunya yang terpenting adalah karena terus mengalirnya para imigran dari negara-negara tetangga Asia, namun kebijaksanaan ini memunculkan reaksi-reaksi dari kalangan Anglo-Australian yang ingin mempertahankan bentuk masyarakat yang homogen. Menurut mereka, dengan diterapkannya kebijaksanaan ini, berarti terancamnya hegemoni unsur-unsur kebudayaan Anglo di Australia. Yang lebih ekstrim lagi adalah pandangan mereka bahwa multikulturalisme telah menghancurkan kebudayaan nasional. Keluhan-keluhan seperti ini secara tidak langsung telah mendorong munculnya perasan dislokasi, bahkan menumbuhkan gejolak rasisme, terutama di kalangan orang-orang Anglo Australia yang merasa kehilangan hegemoni identitas dan kebudayaan.
Di kalangan imigran juga muncul berbagai reaksi atas kebijakan multikulturalisme karena dalam prakteknya multikulturalisme menekankan pada etnisitas. Banyak kalangan yang menganggap bahwa multikulturalisme sebagai semboyan kosong yang justru bersifat rasisme struktural terutama terlihat dari prilaku ekonomi dan pasar tenaga kerja.
Kenyataan kontradiktif pelaksanaan kebijakan multikulturalisme juga terlihat dari kelompok masyarakat asli “Aborigin”. Pengalaman- pengalaman pahit yang dialami oleh penduduk asli ini semenjak mereka kehilangan tanah-tanah mereka seperti white Australian policy, assimilasi, hingga multikulturalisme, menjadikan mereka kehilangan kepercayaan terhadap negara dan pemerintahan Australia sendiri. Mereka merasa bahwa berbagai kebijakan yang diterapkan tidak lain hanyalah upaya kontrol sosial terhadap kebudayaan mereka. Posisi Aborigin pada akhirnya merupakan dilema tersendiri dalam kebijakan multikulturalisme. Oleh karena itu di tingkat birokrasi dibentuk Aboriginal Reconsiliation Council yang bekerja sama dengan The National Multicultural Advisory Council. Di sini, penekanan diberikan kepada ‘cultural diversity’ dari pada multikulturalisme, dengan harapan hal ini akan lebih mudah diterima. Namun yang paling dirasakan dalam penerapannya ialah tidak adanya upaya anti rasisme yang serius, terutama dalam mengatasi diskriminasi rasial yang berlaku dalam segala tingkatan masyarakat.
Apa yang dapat kita catatkan dari semua implikasi kebijakan multikulturalisme Australia ini adalah instabilitas politik dalam negeri akibat konflik-konflik sosial yang menyangkut masalah etnisitas dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. Kenyataan ini sedikit banyak akan sangat mempengaruhi kebijakan politik dan pertahanan Australia sendiri pada masa-masa berikutnya.
© Irhash A. Shamad.