Penulisan sejarah Islam di Nusantara telah ditulis oleh banyak sejarawan dengan sudut pandang --dan mungkin untuk sebahagian dapat disebut sebagai subyektivitas -- yang berbeda-beda. Perbedaan ini ternyata telah mengundang perdebatan-perdebatan yang berkelanjutan dan tak habis-habisnya hingga saat ini.
Pada dasarnya, perbedaan visi -- dalam beberapa hal-- dapat dibenarkan dalam penulisan sejarah. Namun perbedaan visi tentunya akan sukar diterima bila pengertiannya disetarakan dengan 'pemaksaan keinginan' penulisnya dalam pengolahan fakta-fakta yang disesuaikan dengan tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai dengan penulisan sejarah itu. Sama halnya juga dengan, bahwa perbedaan visi tidak dapat dijadikan alasan untuk mendeskripsikan secara imajinatif tentang realitas-realitas sejarah yang sebenarnya tidak atau kurang ia ketahui.
Tulisan ini akan mengemukakan beberapa persoalan pokok diseputar perdebatan-perdebatan klasik tentang masuknya Islam ke Nusantara . Pembahasan ini, disamping merupakan kajian ulang tentang pokok persoalan yang disebutkan, lebih jauh akan dicoba menganalisa sejauhmana keterlibatan subjektivitas dari perbedaan visi itu dapat dipertemukan. Semua itu ditujukan untuk mendapatkan kebenaran sejarah, hingga perdebatan-perdebatan klasik seperti itu tidak terlalu membingungkan, atau setidaknya akan mengurangi kebingungan kita dalam melihat kebenaran sejarah masa lalu.
Persoalan Daerah Asal
Persoalan daerah asal Islam yang diterima pada tahap awal di Nusantara adalah merupakan topik yang paling banyak diperbincangkan. Hal ini dapat dimaklumi karena persoalan daerah asal akan sangat erat kaitannya dengan bentuk Islam yang diterima itu; apakah Islam diterima dalam bentuknya yang murni atau mungkin sudah tercampur dengan bias-bias kultural daerah asalnya. Yang demikian tentu akan lebih menarik lagi bila dikaitkan dengan kajian-kajian tentang eksistensi Islam di Indonesia pada masa-masa kemudian, seperti yang banyak ditulis oleh para ilmuan hingga saat ini, baik kajian yang menyangkut budaya, pemikiran maupun kenyataan sosial dan politik umat Islam Indonesia sampai pada periode kontemporer.
Persoalan ini akan menjadi ironis manakala dihubungkan dengan berbagai kepentingan yang sifatnya bertujuan bagi “penipisan” eksistensi Islam itu sendiri di Indonesia seperti yang telah banyak dilakukan oleh penulis-penulis kolonial, tanpa mempertimbangkan subjektivitas kultural yang mereka miliki dan hanya dipandu oleh otoritas keilmuan yang bukan tanpa disertai unsur subjektiv itu.
Tesis awal tentang daerah asal Islam yang datang ke Nusantara pertama kali diajukan oleh Dr. Pijnappel, seorang Professor dari Universitas Leiden. Ia mengemukakan bahwa Islam Nusantara dibawa dari daerah Gujarat (India) oleh orang-orang Arab yang telah bermukim di daerah itu (cf. Drewes, 1968; 439). Pendapat ini dikembangkan ilmuan-ilmuan selanjutnya seperti JP.Moquette (1912), Snouck Hurgronye, W.F. Stutterheim (1935), J. Gonda (1952) dan lain-lain. JP. Moquette (1912) lebih menekankan argumentasi peninggalan arkeologis yang terdapat di Aceh dan Gresik. Ia membandingkan nisan makam puteri Pasai yang berangka tahun 831 Hijriah (1428 Masehi) dengan nisan makam Maulana Malik Ibrahim (Gresik) adalah sama seperti nisan-nisan makam Umar bin Ahmad Kazaruni yang berangka tahun 1338 Masehi di Cambay Gujarat. (cf. Slamet Mulyana, 1981; 267 dan Azyumardi Azra, 1995; 24-25).
Kesimpulan Moquette inilah yang dikembangkan oleh sarjana-sarjana Belanda seperti yang telah kita sebutkan terdahulu, meskipun kesimpulan tersebut masih perlu dipertanyakan. Moquette ternyata telah melakukan perbandingan yang keliru, karena jarak waktu antara nisan makam puteri Pasai (1428 M.) dengan makam Kazaruni (1338 M.) adalah sangat jauh dan dengan demikian sangat sulit diterima menjadi dasar pertimbangan bagi kesimpulan yang ia ambil itu. Namun para sarjana Belanda lainnya itu hampir semuanya sepakat untuk tidak terlalu mempersoalkan dasar kesimpulan Moquette ini.
Kesimpulan-kesimpulan ini bila dikaitkan dengan kondisi Indonesia serta kenyataan kolonial Belanda di Indonesia pada saat mana tulisan-tulisan itu dihasilkan (awal abad ke 20), bisa dipahami bahwa penelitian-penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Belanda sangat mungkin dirasuki oleh kepentingan kolonialisme. Kita ketahui bahwa persoalan Islam di Indonesia menempati prioritas utama dalam pemikiran-pemikiran Belanda. Karena, setidaknya pada akhir abad ke 19 Belanda di Indonesia banyak disusahkan dengan perlawanan-perlawanan Islam, terutama perlawanan-perlawanan yang dimotori oleh tokoh-tokoh yang pernah belajar di Timur Tengah. Belanda harus berfikir keras mencari pemecahan-pemecahan secara kultural soal militansi Islam ini. Untuk upaya inilah mereka melibatkan para sarjana dan ilmuwan untuk menemukan cara-cara yang dapat mengurangi dan membendung militansi Islam itu. Menurut sementara “ahli” Belanda, kelemahan-kelemahan Islam harus ditunjukkan kepada umat Islam sendiri. Pengemukaan fakta bahwa Islam di Indonesia tidak berasal dari Timur Tengah (Arab) dengan sengaja dijadikan sarana untuk memperlonggar keterkaitan antara umat Islam di Indonesia dengan pusat Islam itu sendiri di Timur Tengah. Dengan itu diharapkan fanatisme dan radikalisme umat Islam dapat dikurangi. Adalah sangat mungkin pengemukaan fakta sejarah tentang Islam oleh penulis-penulis Belanda pada awal abad ke 20 itu, terutama kenyataan tentang daerah asal Islam yang diterima oleh bangsa inipun adalah merupakan bahagian dari upaya tersebut.
TW. Arnold menempatkan argumentasinya berdasarkan mazhab yang dianut oleh masyarakat Nusantara. Menurutnya mazhab Syafi'i yang dianut di Nusantara sama dengan yang dianut oleh masyarakat muslim di wilayah Malabar/ Coromandel (pantai barat India) (TW. Arnold, 1913; 365). Karena itu ia berkesimpulan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Malabar bukan dari Gujarat. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh G.E. Marrison (Marrison, 1951; 31-37). Ia membantah pendapat tentang Gujarat, karena menurutnya alasan persamaan bentuk nisan sama sekali tidak dapat dijadikan alasan bahwa Islam berasal dari daerah itu. Ia memperkuat kesimpulan ini dengan kenyataan bahwa nisan makam Malik Al Saleh berangka tahun 1297, pada hal Gujarat pada waktu yang sama belum ditaklukan oleh umat Islam. Islam baru meluas ke wilayah ini pada tahun 1298 atau setahun setelah raja Pasai pertama itu meninggal dunia.
Di pihak lain ternyata SQ. Fatimi menafikan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli terdahulu. Menurutnya sangatlah keliru menilai bahwa terdapat persamaan bentuk nisan-nisan di Nusantara dengan yang terdapat di Gujarat. Persamaan bentuk nisan itu lebih terlihat dengan nisan yang terdapat di Bengal (Benggala) (Fatimi, 1963; 31-32). Jadi sangat mungkin menurutnya bahwa Islam Nusantara dibawa dari Bengal. Pendapat ini tentunya juga menolak-- atau setidaknya ia tidak menggunakan-- alasan persamaan mahzab, karena ternyata bahwa masyarakat muslim Bengal menganut mahzab Hanafi.
Diantara pendapat-pendapat yang telah kita sebutkan terdahulu pada dasarnya sepakat mengatakan bahwa Islam yang dibawa ke Nusantara berasal dari India, meskipun pendapat tentang daerah asal masih terdapat pertikaian-pertikaian mendasar. Yang perlu dicatatkan disini ialah hampir semua pendapat itu bertolak dari kerangka analisis yang masih perlu ditinjau ulang, karena semua argumen yang dikemukakan pada umumnya ditempatkan pada lingkup waktu sekitar abad ke 13 M. yaitu atas dasar penemuan arkeologis nisan makam seperti yang telah dikemukakan.
Beberapa dasa warsa terakhir fakta-fakta tentang daerah asal Islam yang masuk ke Nusantara itu kembali dipertanyakan, dan lebih menghangat lagi setelah diselenggarakannya Seminar Masuknya Islam ke Indonesia yang diadakan di Medan pada tahun 1963 dan diperkuat dengan seminar yang sama di Aceh pada tahun 1967. Kedua seminar ini berkesimpulan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Arab. Kegiatan perdagangan Arab di jalur perdagangan Nusantara yang telah intensif semenjak abad pertama Masehi dijadikan landasan analisis, bahkan dengan telah terdapatnya komunitas-komunitas Arab pada jalur-jalur perdagangan itu seperti yang diberitakan oleh penulis China di zaman Dinasti Sung. Alasan-alasan yang disebutkan terakhir pada dasarnya telah merobah kerangka analisis yang tidak lagi pada lingkup waktu sekitar abad ke 13 akan tetapi semenjak kelahiran agama Islam itu sendiri (abad ke 7 M).
Pemikiran-pemikiran yang berkembang pada seminar ini disamping menggunakan sumber-sumber arkeologis dan berita-berita Cina juga tidak sedikit menggunakan sumber-sumber Arab sendiri, terutama yang menyangkut tentang pelayaran dagang Arab di wilayah kepulauan Nusantara serta hubungan-hubungan diplomatik antara kekhalifahan Islam masa-masa awal dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara dan Cina pada abad-abad awal Hijriah (7-10 M).
Meskipun hasil seminar yang disebutkan telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan sejarawan, namun setidaknya kesimpulan yang telah dihasilkan itu merupakan tesis akhir yang perlu untuk dipertimbangkan bagi kajian-kajian selanjutnya tentang sejarah Islam di Indonesia. Sikap kontra terhadap hasil seminar ini ditunjukkan oleh sebahagian ilmuwan yang meragukan otoritas kesejarahan yang dimiliki oleh peserta-peserta seminar pada waktu itu tanpa mempertimbangkan otoritas keilmuan serta kredibilitas sumber-sumber yang mereka gunakan. Sebahagian besar dari mereka memang tidak terdidik secara khusus dalam lapangan sejarah, akan tetapi tingkat akurasi dari pernyataan-pernyataan dan kesimpulan-kesimpulan mereka mencerminkan kesungguhan mereka dalam mencari objektifitas sejarah.
Sejalan dengan hasil seminar ini, Naquib Al Attas mengemukakan bahwa sangatlah tidak beralasan untuk mengatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat dengan hanya mengandalkan penemuan epigrafis (nisan makam) saja. Ia lebih cenderung berpendapat bahwa Islam dibawa ke Nusantara dari Arab dan Persia. Ini dibuktikan dengan kenyataan literatur-literatur Islam-Melayu serta konsep-konsep istilah yang digunakan dalam literatur-literatur tersebut serta pengarang-pengarang muslim dalam literaur Melayu-Islam yang ternyata tidak berasal dari India, akan tetapi lebih banyak dari Arab dan Persia, bahkan sebagian kecil dari Turki dan Maghrib (cf. Al Attas, 1969; 1-25).
Apa yang dikemukakan oleh Al Attas pada dasarnya lebih menitik beratkan pada persoalan yang menyangkut dengan daerah asal semata berdasarkan analisa persamaan literatur. Akan tetapi patokan kronologis analisisnya tetap berpijak pada argumentasi sarjana-sarjana Belanda seperti yang disebutkan pada bahagian terdahulu. Al-Attas menjadikan literatur-literatur Melayu abad ke 16 dan 17 menjadi dasar bagi analisisnya. Literatur-literatur Melayu yang dimaksud tentunya adalah literatur yang banyak dihasilkan oleh tokoh-tokoh sufi Melayu Aceh pada abad tersebut.
Dasar analisis seperti yang digunakan oleh Al Attas adalah salah satu contoh pemanutan terhadap tesis yang diajukan oleh sarjana-sarjana Belanda. Meskipun tesis itu kemudian menimbulkan perdebatan-perdebatan dengan munculnya tesis-tesis baru, namun yang sangat mengherankan bahwa dasar analisis kronologis yang berpatokan sekitar abad ke 13 seperti yang dikemukakan oleh sarjana Belanda itu, tetap dijadikan pegangan.
Apa yang kita kemukakan sebenarnya hanyalah satu aspek dari persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan tentang Islam di Indonesia dalam kajian sejarahnya. Persoalan ini tentunya akan sangat terkait dengan persoalan waktu, proses, golongan pembawa dan masalah konversi yang berlaku di Nusantara pada waktu itu. Namun pada bahagian ini apa yang perlu kita kemukakan ialah bahwa selain masalah subyektifitas, pandangan kesejarahan konvensional juga ternyata lebih banyak mempengaruhi sementara penulis sejarah. Disadari atau tidak, peristiwa kemanusiaan pada masa lalu sering dilihat dengan pendekatan politik/kekuasaan, tentunya politik/kekuasaan yang bukan dalam pengertian power, tetapi dalam pengertian state atau nation . Kecenderungan analisa sejarah seperti ini telah diperpegangi dalam melihat keberadaan Islam di Nusantara, seperti dasar analisis bahwa Islam di Nusantara barulah eksis pada saat Islam disini sudah berujud sebagai kekuatan politik (semenjak adanya kerajaan Islam pertama di Nusantara). Pada titik inilah kajian-kajian tentang proses islamisasi dan konversi sering ditempatkan, sehingga kajian-kajian tersebut terlihat 'memihak' pada satu sisi pandang yang seperti telah di"pola"kan oleh sarjana-sarjana yang kita sebutkan terdahulu itu.
Seminar- Aceh dan Medan tentang masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia telah mencoba meninjau kembali sisi pandang itu dengan merobah kerangka waktu analisisnya pada abad ke tujuh Masehi, yaitu pada saat mana proses islamisasi dan konversi Islam di nusantara masih belum merupakan suatu sistem kekuasaan . Namun hasil seminar ini masih saja dipandang "sebelah mata" oleh sementara sejarawan kita.
Persoalan Waktu
Suatu hal yang sering kurang disadari adalah bahwa kesimpulan yang diambil dalam menetapkan daerah asal adalah saling terkait dengan persoalan waktu (sebagai patokan kronologisnya) demikianpun dengan terminologi dan pendekatan yang digunakan. Manakala kita sependapat tentang peranan perdagangan dalam proses pengislaman masyarakat nusantara, maka patokan kronologis itu tentulah sangat luas, tidak hanya pada abad ke 13, akan tetapi meliputi rentang waktu semenjak efektifnya kegiatan pelayaran dagang di jalur-jalur perdagangan Nusantara. Dan ini diperkirakan sudah berlangsung bahkan semenjak abad pertama Masehi. Karena itulah Seminar Medan dan Aceh seperti yang disebutkan terdahulu, lebih banyak mengemukakan analisis dalam kerangka waktu abad pertama Hijriyah (sekitar abad ke 7 Masehi) untuk mendapatkan fakta tentang konversi Islam di nusantara.
Dalam melihat proses islamisasi di nusantara, selama ini para sejarawan lebih banyak terpaku pada penemuan arkeologis. Nisan makam Maulana Malik al-Shaleh yang berangka tahun 1297 M. seperti yang telah disebutkan terdahulu, dijadikan sumber primer"terkuat" sebagai rujukan dalam menggunakan terminologi masuknya Islam ke Nusantara. Pada hal bukti arkeologis itu secara jelas mengisyaratkan bahwa pada waktu itu, sebetulnya Islam sudah eksis di nusantara sebagai suatu sistem kekuasaan. Lazimnya terbentuknya suatu sistem kekuasaan Islam akan terbentuk manalaka sudah didahului dengan adanya komunitas-komunitas muslim di wilayah itu jauh sebelum angka tahun yang tertera pada nisan tersebut. Aspek fungsional nisan ini pada dasarnya memperlihatkan bahwa Islam pada saat itu sudah merupakan suatu kekuatan politik, dan sementara itu kitapun sangat tidak meragukan pula bahwa kedatangan Islam ke nusantara tidak dibawa oleh golongan bangsawan (penguasa) dan proses konversinya berlangsung secara damai. Maka dengan demikian seyogianya dapat dipastikan bahwa sangatlah keliru menggunakan bukti arkeologis ini sebagai patokan waktu masuknya Islam ke nusantara atau dengan kata lain proses konversi awal terhadap Islam tidaklah berarti baru berlangsung setelah Islam berwujud sebagai kekuatan politik.
Terminologi masuknya Islam ke Nusantara sering tidak mendapatkan penjelasan yang memuaskan dari sementara sejarawan dan sering dikacaukan dengan pengertian berkembangnya Islam itu sendiri. Karena bukti arkeologis semacam itu tentunya merupakan bukti bahwa pada waktu itu Islam di nusantara sedang mengalami perkembangan yang pesat, karena, disamping sudah berwujud kekuatan politik, proses penye-barannyapun sudah semakin intensif, tetapi bukan sebagai bukti bahwa pada saat itu proses konversi Islam baru mulai berlangsung. Adalah sangat naif bila terminologi masuknya Islam dalam pengertian konversi di sini, dilandaskan pada bukti tertulis yang ada itu.
Sementara ini kesimpulan yang diambil dari perdebatan-perdebatan tentang persoalan waktu masuknya Islam ke Nusantara sudah mulai agak longgar, namun masih saja terasa belum tuntas. Ada yang menyimpulkan bahwa Islam masuk ke nusantara abad ke 11 M, dan --berdasarkan berbagai analisa-- bahkan ada yang berkesimpulan pada abad ke 9 M. demikianpun juga dengan abad ke 7 M. Sementara itu ada yang secara "bijak" mengatakan bahwa Islam sudah masuk sebelum abad ke 13 dan baru berkembang dengan pesat pada abad ke 13 M. tanpa memberi penjelasan yang memuaskan tentang waktu masuknya. Bahkan ada pula pernyataan yang dapat dianggap belum merupakan kesimpulan, yaitu asumsi bahwa pernyataan masuknya Islam abad ke 7 M. adalah kemungkinan semata. Namun demikian agaknya masalah terminologi kata masuk dalam pengertian konversi di sini sudah mulai disadari, hanya saja belum terlihat adanya studi yang serius untuk mendapatkan fakta kuat terhadap kerangka kronologis yang disebutkannya itu.
© Irhash A. Shamad
Posting Komentar