Tinjauan atas buku : “Boekittinggi Tempo Doeloe” Karya : Zulqayyim, Pen. Andalas University Press, Padang 2006
Pertama sekali saya ingin memberikan apresiasi terhadap buku yang ditulis oleh sdr. Zulqayyim ini, atas pilihannya untuk memaparkan fenomena sejarah sebuah kota pedalaman Minangkabau di masa lalu. Kota yang kita ketahui banyak memainkan peranan semenjak masa kolonial Belanda, masa Jepang, bahkan setelah Indonesia merdeka. Proses perkembangan Pakan Kurai yang kemudian menjadi kota Bukittinggi, oleh penulis, dideskripsikan dengan narasi yang sangat menarik untuk dibaca. Ketika saya menyimak paragraf-paragraf yang dibangun oleh penulis pada halaman demi halaman, saya tidak menyadari bahwa saya sudah sampai pada paragraph-paragraf akhir narasi historisnya, bahkan karena “sangat menikmati” saya lupa bahwa saya harus memberikan ulasan terhadap buku ini. Ini tentu merupakan salah satu indikasi keberhasilan sebuah pengungkapan sejarah, di mana penulis, mampu mengajak pembaca untuk “masuk” dan menikmati “wisata” masa lalu.
Setelah menyadari sejenak atas keharusan memberikan telaahan terhadap buku ini, saya kembali membaca beberapa item yang sebenarnya sudah dilalui.Saya memulainya dari pokok pikiran yang tertuang pada bentangan bab-babnya dan kaitan bagian dengan keseluruhan karangan. Ketika itulah terasa bahwa ada satu pertanyaan yang mengganggu saya, yaitu apa yang sebenarnya ingin dijelaskan dari pemaparan sejarah kota Bukittinggi ini?. Setidaknya ada tiga tendensi pokok yang menurut saya ingin dikemukakan penulis pada buku ini, pertama : proses terbentuknya kota dalam aspek topografis, morfologis, dan demografisnya, kedua, tentang peran Bukittinggi dalam berbagai perkembangan sejarah secara makro, dan ketiga aspek perubahan-perubahan sosial dan budaya yang terjadi sebagai implikasi perubahan pranata sosial tradisional nagari menjadi kehidupan perkotaan.
Dalam penulisan sejarah, pembatasan kronologis dan geografis sangat penting untuk kedalaman analisis, namun pembatasan tematis tentu lebih penting lagi, karena selain untuk kedalaman analisis juga sangat menentukan perspektif yang akan digunakan. Seringkali luasnya aspek tematis suatu penulisan menuntut banyaknya variabel yang dimunculkan dalam pembahasan. Hal ini pada gilirannya menyebabkan mainstream tulisan cendrung kehilangan arah. Kecendrungan ini juga terlihat dari buku ini. Empat bab selain bab pendahuluan dan epilog, masing-masing mewakili satu variable dan semuanya masing-masing berdiri sendiri-sendiri, paling tidak, pada bab empat dan lima. Bila proses terbentuknya kota Bukittinggi, masih dapat dipahami dalam kaitannya dengan latar sosial budaya dan ekonomi, maka variable pendidikan dan peran kota ini dalam pergerakan nasional menjadi kehilangan konteks.
Tanpa bermaksud memberikan koreksian atas buku ini, pada kesempatan sharing ini saya hanya akan menawarkan sebuah alternatif perspektif yang mungkin perlu dipertimbangkan dalam melakukan analisis terhadap kota Bukittinggi, yaitu perspektif analisis dalam kerangka budaya masyarakatnya (emic approach). Pendekatan ini, paling tidak, dapat melengkapi penjelasan strukturalisme historis yang telah dikemukakan pada buku ini.
Penulis buku ini telah mengawali deskripsi sejarah terbentuknya kota Bukittinggi dengan mengemukakan latar belakang sosial dan budaya. Saya semula berharap bahwa pada bab ini terdapat gambaran tentang bagaimana kehidupan masyarakat dan budaya di nagari Kurai sebelum menjadi “kota” Bukittinggi. Bila struktur sosial masyarakat Kurai telah dikemukakan dengan baik, maka tidak demikian halnya dengan latar budaya masyarakatnya. Apa yang disebutkan terakhir ini, menurut saya, cukup penting. Proses menjadi kota, setidaknya untuk kasus Bukittinggi, perlu diberangkatkan dari penelusuran aspek budaya itu, karena Bukittinggi, selain menjadi bagian dari sebuah budaya besar Minangkabau, wilayah ini juga dikenal oleh masyarakat Minang sendiri sebagai Koto Rang Agam.
Sebutan Koto, tidak dapat sekedar dipahami sebagai tahapan perkembangan proses terbentuknya nagari baru, namun secara kultural, Koto Rang Agam lebih menggambarkan konsep “ruang budaya” dimana transaksi budaya berbagai komunitas nagari-nagari berlangsung di dalamnya. Sebutan ini juga sekaligus merupakan simbol bagi pemersatuan Agam dan Bukit-tinggi. Antara kedua wilayah ini tidak begitu saja dapat “dipisahkan”, karena kuatnya kesalingtergantungan keduanya dalam berbagai aspek, terutama ekonomi. Penetapan Bukittinggi sebagai sebuah ¬gemeente oleh Belanda tahun 1918 dan kemudian pada tahun 1930 dianggap merupakan sebuah pengingkaran budaya (Sayangnya dalam buku ini penulis tidak melengkapi gambaran bagaimana taktik Belanda atas reaksi masyarakat Kurai yang memprotes kebijakan Belanda atas tanah mereka pada tahun 1906. Belanda memperhadapkan penghulu Kurai dengan masyarakat Agam Tuo, suatu taktik pemecah belah untuk keuntungan Belanda). Karena itu pula, keluarnya PP No. 84 tahun 1999 yang tidak lebih dan tidak kurang sama konyolnya dengan keputusan Belanda menjadikan gemeente, telah mengundang pro dan kontra berkepanjangan seputar masalah pemekaran kota Bukittinggi baru-baru ini.
Adat Minangkabau telah mengatur secara ketat tentang wilayah-wilayah kultural secara bertingkat yang sekaligus menunjukkan pembagian properti dan kewenangan, di mana otoritas tertinggi ada pada nagari. Selain itu, otoritas nagari yang otonom (adat salingka nagari) juga mengatur tentang tatacara masuknya unsur-unsur luar ke dalam suatu wilayah nagari secara adat. Dari aspek inilah yang agaknya perlu penelusuran tentang proses perkembangan nagari Kurai menjadi Koto Rang Agam. Dalam struktur kepemimpinan adat di Bukittinggi tempo dulu, ada sebutan Penghulu Dagang di luar kepemimpinan penghulu pucuk di nagari Kurai. Penghulu dagang mempunyai otoritas tersendiri di lingkungan para pendatang. Mereka layaknya penghulu-penghulu suku yang memiliki kewenangan dan properti tersendiri. Terdapatnya apa yang disebut dengan Surau-Surau Dagang seperti Surau Dagang Balingka (yang kini menjadi Masjid Raya), Surau Banuhampu di Aur Tajungkang dan lainnya, tentu ada kaitannya dengan struktur kepemimpinan ini. (lihat : Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso, 1983 : 29)
Perspektif struktural yang digunakan oleh penulis dalam melihat perkembangan kota Bukittinggi ternyata dalam beberapa hal telah memberikan prakonsepsi kepada penulis untuk memposisikan Bukittinggi sebagai kota dalam perspektif kolonial, sehingga pada saat menjelaskan tentang bagai-mana kepemilikan kota Bukittinggi tidak semakin mempersempit jurang pertikaian antara masyarakat Kurai dengan Agam. Menurut saya, penjelasan kultural terhadap permasalahan yang menyangkut status Bukittinggi bagi orang Agam sangat mungkin dapat menjadi solusi bagi masalah pemekaran kota Bukittinggi yang hingga saat ini masih saja menghangat.
Menyangkut variabel ekonomi, Lewis Mombard pernah menyebutkan bahwa ekonomi membawa masuk unsur-unsur modernisasi yang sangat berperan melahirkan kota (Lewis Mombard, 1950 : 120-121). Modernisasi ditunjukkan oleh struktur kehidupan yang makin kompleks, baik secara fisik maupun pranata-pranatanya. Kompleksitas ini melahirkan difirensiasi lapangan kerja. Menurut Mombard difirensiasi dan spesialisasi menjadi faktor penting meningkatkan mobilitas sosial perkotaan. Selain faktor ekonomi, terbentuknya kota juga ditentukan oleh faktor politik, sebagaimana kita lihat dengan munculnya kota-kota sebagai pusat pemerintahan jajahan. Namun terkait hal ini, penulis tidak menyimpulkan hubungan yang jelas antara mobilitas sosial vertikal di Bukittinggi dengan variable pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah Belanda, meskipun bahasan tentang pendidikan kolonial di Bukittinggi sudah menempati bab tersendiri pada buku ini.
Dalam kaitannya dengan mobilitas sosial vertikal sebagai gejala perkotaan akibat difirensiasi dan spesialisasi lapangan kerja, secara umum memperlihatkan bahwa ternyata pendidikan tidak menjadi faktor akselerasi yang signifikan di masa kolonial. Menurut Sartono Kartodirdjo, mobilitas vertikal berjalan relatif lambat akibat dualisme persekolahan yang didasarkan atas diskriminasi rasial serta realitas penjajahan itu sendiri (Sartono Kartodirdjo, 1999 : 75-76). Itu artinya bahwa meningkatnya lulusan sekolah tidak selalu berbanding lurus dengan terjadinya mobilitas vertikal. Suatu implikasi kultural lainnya yang perlu dipertimbangkan di sini sebagai akibat munculnya sekolah-sekolah Belanda itu adalah terbentuknya suatu strata sosial baru dari kalangan pribumi yang makin memisah dari akar tradisi mereka.
Semenjak sebelum kedatangan Belanda, selain strata bangsawan dari kalangan adat, jaringan pendidikan tradisional telah pula menempati peran ideologis dalam perubahan sosial. Elit sosial dari kalangan agama yang muncul dari sistem pendidikan tradisional ini telah menempati strata tersendiri dalam masyarakat di nagari-nagari sekitar Bukittinggi dan pengaruhnya bahkan melintasi batas-batas nagari mereka sendiri. Analisis terhadap kota Bukittinggi, tentu memerlukan penjelasan yang memadai dari ketiga strata yang disebutkan itu, bila dikaitkan dengan acuan kultural Bukittinggi sebagai Koto Rang Agam, apalagi dalam menemukan hubungan antara beberapa variabel yang ditawarkan pada buku ini.
Terakhir, fakta-fakta tentang Bukittinggi tempo dulu yang disajikan oleh penulis pada buku ini telah memperkaya wawasan kita tentang sejarah kota pedalaman (inland city), suatu unit kesejarahan yang selama ini belum banyak disentuh. Sementara apa yang dapat saya kemukakan pada kesempatan ini, saya harap ada manfaatnya.
Kepustakaan :
Depdikbud RI., (1997), Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, Jakarta : Depdikbud RI.
Lewis Mombard (1950), The City ini History, New York : Harcourt, Brace, and World Inc.
Mansoer, M.D., dkk., 1970, Sejarah Minangkabau, Jakarata : Bhratara
Mestika Zed dkk. (1992), Perubahan Sosial di Minangkabau, Implikasi Kelembagaan dalam Pembangunan Sumatera Barat, Padang : Pusat Studi Pembangunan dan Perubahan Sosial Budaya Universitas Andalas.
Mestika Zed, 2002, “Politik Identitas, Respon-Respon Orang Minangkabau terhadap Perubahan Sejarah” (makalah Temu Budaya), BKSNT Padang
Sartono Kartodirdjo (1999), Pengantar Sejarah Indonesia Baru, Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jakarta : Gramedia,
Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso,1983, Sejarah Sosial Daerah Sumatera Barat, Jakarta : Depdikbud, hal. 58-61
© Irhash A. Shamad
Makalah, disampaikan dalam acara Bedah Buku 50 Tahun Universitas Andalas, di Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang, 12 Maret 2007.
,
Posting Komentar