Masyarakat Minangkabau dikenal dengan sistem kekerabatannya yang matrilineal, dan merupakan satu-satunya suku bangsa yang memakai sistem ini di tengah-tengah suku bangsa nusantara yang umumnya berdasarkan patrilineal. Sistem matrilineal ini, selain merupakan dasar penghitungan garis keturunan dalam keluarga, juga sangat berkaitan dengan berbagai sistem sosial lainnya, seperti perkawinan yang bersifat exogami dan matrilokal, suku yang terbentuk menurut garis perempuan. Meskipun kekuasaan di dalam suku dipegang oleh saudara laki-laki dari ibu (disebut :"mamak"), namun hak properti atas pusaka tetap dimiliki oleh perempuan, diwariskan oleh "mamak" kepada kemenakan perempuan (anak dari saudara perempuan).
Unit terkecil dari struktur sosial di Minangkabau adalah satuan genealogis (keluarga) yang disebut “samande” (seibu) yang kemudian dalam perkembangannya menjadi suku (matriclan). Kesatuan genealogis samande menempati satu rumah gadang (rumah besar), yang biasanya juga tinggal beberapa satuan genealogis samande atau saudara perempuan lainnya. Kesatuan yang lebih besar ini disebut dengan “saparuik”, artinya berasal dari satu ibu. Setiap paruik dipimpin oleh seorang mamak (saudara laki-laki ibu yang tertua) yang disebut dengan “Mamak Kapalo Warih” (Kapalo Paruik). Satu rumah gadang biasanya diisi oleh tiga generasi, yaitu nenek (generasi pertama) , ibu dan saudara-saudara perempuan ibu (sebagai generasi kedua), dan anak-anak (sebagai generasi ketiga, yang dalam kesatuan ini berstatus sebagai kemenakan). Berkembangnya anggota saparuik dapat saja memecah menjadi saparuik-saparuik lainnya dan mendirikan satu rumah gadang pula untuk ditempati. Satuan saparuik yang telah berkembang inilah yang membentuk suku (kaum) sebagai unit utama dari struktur sosial dalam nagari-nagari di Minangkabau.
Suku dipimpin oleh seorang Penghulu Suku dengan menyandang gelar pusaka yang turun temurun pada suku itu. Satu garis keturunan (lineage) dalam suku yang telah berkembang, dapat pula memecah menjadi beberapa suku yang baru dan masing-masing dipimpin oleh Penghulu Suku. Suku sebagai satuan genealogis biasanya menempati suatu daerah pemukiman yang sama. Oleh karenanya suku, disamping sebagai kesatuan genealogis, dapat pula berarti satu kesatuan teriotorial dan politis.
Nagari merupakan kesatuan territorial-genealogis yang otonom dan terlepas dari campur tangan kerajaan dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Nagari-nagari yang terdapat di wilayah luhak yang tiga lebih merupakan "republik-republik" konfederasi kerajaan Pagarruyung. Masing-masing nagari dipimpin oleh Penghulu Nagari. Antara satu nagari dengan nagari lainnya juga tidak memiliki hubungan struktural apapun. Meskipun nagari-nagari itu mengakui kekuasaan raja Pagarruyung, namun secara politis, raja hampir-hampir tidak memiliki kekuasaan apa-apa atas nagari-nagari di luhak nan tigo (wilayah inti) itu, Sementara luhak itu sendiri juga bukanlah merupakan unit politik supra nagari, akan tetapi lebih menunjukkan pengertian genealogis semata. Masyarakat nagari-nagari di satu luhak secara mitologis meyakini bahwa mereka sama-sama berasal dari satu nenek moyang (Mochtar Naim,1979: 17). Sedangkan wilayah yang disebut rantau, kekuasaannya dipegang oleh raja-raja kecil (raja-raja muda) yang merupakan pelimpahan kekuasaan raja Pagarruyung. Perbedaan kekuasaan luhak dan rantau ini digambarkan dalam pepatah : Luhak bapangulu, rantau barajo (luhak berpenghulu, rantau beraja/memiliki raja).
Harmoni kehidupan masyarakat nagari-nagari di Minangkabau diatur oleh peraturan-peraturan dan undang-undang adat yang diwarisi secara turun temurun. Peraturan-peraturan dan undang-undang adat yang menjadi norma-norma kehidupan masyarakat itu lebih banyak dipelihara dalam maxims seperti pepatah dan petitih serta mamang adat (lihat David Berry 1995:50-51). Pepatah normatif di kalangan masyarakat Minangkabau sangat berperan sebagai konsensus untuk mengintegrasikan masyarakat dalam suatu tatanan yang harmoni. Ia menjadi semacam peraturan tidak tertulis yang diberlakukan oleh pemuka-pemuka adat (penghulu) di setiap nagari.
Agama dan Adat
Kulminasi dari proses konversi Islam dan adat Minangkabau yang merupakan hasil dari integrasi kalangan adat dan agama pasca perang Paderi, terwujud ketika mereka bersepakat menjadikan Islam sebagai landasan adat mereka. Kesepakatan ini diwujudkan dalam sebuah diktum yang berbunyi :“Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah“ (ABS,SBK) yang dipadankan dengan ungkapan “Syara’ Mangato, Adat Mamakai" (SMAM) . Dengan diktum itu masyarakat Minangkabau telah menempatkan agama sebagai pemberi patokan ideal yang harus diwujudkan dalam realitas oleh tata prilaku dan pengaturan sosial yang disebut adat itu (Taufik Abdullah,2000:6). ABS,SBK-AMSM itu pulalah kemudian menjadi dasar pengaturan pola tatanan dan prilaku sosial serta struktur kepemimpinan tradisional (kepemimpinan adat) di Minangkabau.
ABS,SBK-SMAM sebagai landasan falsafah kehidupan masyarakat Minangkabau pada dasarnya merupakan perpaduan dua dasar epistemologis dalam mendekati kebenaran, yaitu epistemologi positivistik dan epistemologi relasional (Endri Martius, 2000: 1). Epistemologi positivistik telah dikembangkan oleh para peneroka (peletak dasar) adat Minangkabau melalui “falsafah alam”. Alam, dalam pandangan orang Minangkabau adalah segala-galanya, selain berfungsi sebagai sebagai penopang kehidupan, alam dengan berbagai fenomenanya mereka jadikan sebagai dasar berfikir (materialistik). Pepatah “Alam Takambang Jadi Guru” (Alam terkembang jadi guru) dijadikan ajaran untuk mengetahui dan memahami realitas kehidupan yang dikonstruksikan dari pengetahuan empirik, dan akal budi dijadikan instrumen untuk mencari kebenaran.
Masuknya agama Islam ke Minangkabau telah melengkapi pendekatan itu dengan epistemologi relasional yang mempertautkan kenyataan empiristik (profan) dengan kenyataan akhirat (adikodrati) dengan mempergunakan paradigma al-Qur`an (Kitabullah). Menurut pandangan Islam kebenaran yang hakiki terletak pada kenyataan yang non empirik namun tanpa mengabaikan kenyataan empiris lainnya. Hukum alam, dalam Islam, dianggap absah sebagai dasar pendekatan kebenaran, akan tetapi di atasnya masih ada causa prima yang lebih menentukan. Kebenaran mutlak yang melekat pada kekuatan causa prima itu akan dapat dijangkau tidak hanya dengan pendekatan empiris-positivis, namun juga dengan pendekatan metafisis, karena secara empiris, banyak fenomena alam yang tidak dapat dijangkau dengan akal manusia.
Penerimaan syara’ (hukum Islam) sebagai landasan tertinggi dari norma sosial di Minangkabau adalah bahagian dari proses akulturasi dalam dinamika sejarah Minangkabau. Proses ini, meskipun dalam beberapa periode mengalami pasang surut, bahkan cendrung menimbulkan konflik, namun hal itu dapat dilihat sebagai proses seleksi dan penyesuaian (ajustment) serta penyesuaian kembali (reajustment) yang mengarah ke integrasi dan akhirnya menjadi identitas yang diakui sebagai milik bersama masyarakat Minangkabau (Syafnir Abunain,1991:11). Bahkan Alfian mengemukakan bahwa adat dan falsafah Minangkabau menempatkan konflik sebagai sarana untuk memperoleh dan mempertahankan integrasi masyarakat, selanjutnya (Alfian, 1986: 155-156).
Pertemuan antara adat dan agama Islam di Minangkabau, yang akhirnya menjadi dasar falsafah kehidupan masyarakatnya, telah menjadi bahasan yang amat menarik di kalangan sejarawan dan sosiolog. Oleh karena konflik yang timbul dari pertemuan itu justru lebih banyak mewarnai dinamika kehidupan masyarakat Minangkabau sendiri, seperti yang diakui oleh Van Ronkel :“betapa antitesa antara adat dan Islam, antara adat kebiasaan setempat dengan agama dunia, dapat menghasilkan sintesa yang kemudian menjadi dasar bagi watak Minangkabau” (Taufik Abdullah, 1987: 104).
Gambaran tentang bagaimana bentuk "pertemuan" agama Islam dengan adat Minangkabau seperti yang telah digambarkan, kiranya dapat mendasari pemahaman kita terhadap posisi agama Islam dalam tradisi kultural masyarakat di daerah ini sebagai kerangka kultural yang diperlukan untuk melihat persoalan kepemimpinan di Sumatera Barat dalam kontek pembahasan ini. Dari sisi konflik yang timbul antara adat dan Islam --yang mungkin beberapa dekade tertentu cendrung menguat--, dapat dipahami sebagai sebuah keniscayaan sejarah semata, sebuah proses menuju integrasi sosial, seperti dikemukakan oleh Taufik Abdullah: “Di Minangkabau, konsep tentang konflik tidak sekedar diakui, tetapi juga dikembangkan dalam sistem sosial itu sendiri. Konflik dilihat secara dialektis, sebagai unsur hakiki untuk tercapainya integrasi masyarakat” (Taufik Abdullah, 1987: 104). Kesimpulan ini kiranya cukup pula menjadi kerangka bahasan untuk melihat bagaimana dinamika berfikir yang wujud dalam prilaku sosial dan elit kepemimpinan di daerah ini pada masa-masa ketika berhadapan dengan perubahan-perubahan yang terjadi, baik dalam konteks kehidupan sosial, politik maupun kultural.
Kepemimpinan Tradisional dan Struktur Kekuasaan
Salah satu kendala dalam menelusuri sejarah kerajaan Minangkabau, terutama masa pra Islam, ialah terbatasnya sumber-sumber tertulis. Ini disebabkan oleh karena Masyarakat di wilayah ini tidak terbiasa melakukan pencatatan-pencatatan tertulis. Penulisan Tambo sebagai yang banyak dijumpai sekarang, justru lebih banyak dilakukan pada masa setelah Islam memperkenalkan budaya menulis . Gambaran tentang bagaimana kaitan antara kepemimpinan tradisional dengan struktur kekuasaan kerajaan Pagarruyung dalam perjalanan sejarah masyarakat Minangkabau setelah abad ke 16 sampai kedatangan bangsa Eropa ke wilayah ini, para penulis lebih banyak hanya mendasari penulisan mereka kepada tambo-tambo yang, meskipun bukan merupakan pecatatan sejarah, setidaknya dapat memperlihatkan bagaimana gambaran masyarakat Minangkabau pada saat Tambo itu ditulis.
M.D. Mansur, penulis Sejarah Minangkabau mengemukakan bahwa sejarah masyarakat ini baru mulai terang dengan munculnya sosok seorang Raja yang bergelar Sulthan Alif yang menduduki tahta kerajaan Pagarruyung (sekitar tahun 1560). Pada waktu ini, menurutnya, kerajaan Pagarruyung tidak lagi beragama Budha akan tetapi telah memeluk agama Islam (Mansoer,1970:63). Sebutan Sulthan yang mengawali gelar raja-raja Pagarruyung setelah Sulthan Alif menunjukkan bagaimana Islam telah mewarnai struktur kekuasaan di Minangkabau.
Apa yang akan penulis kemukakan pada bahagian ini ialah tentang sistem kepemimpinan yang secara tradisional berlaku di setiap nagari yang terdapat di wilayah pusat kerajaaan itu sendiri. Kepemimpinan mana dalam tradisi budaya Minangkabau merupakan refleksi dari pola umum kebudayaan Minangkabau yang menganut garis keturunan matrilineal. Dalam tradisi budaya masyarakat di daerah ini, antara kepemimpinan sosial dan kepemimpinan politik, sukar sekali dipisahkan. Dengan demikian, sesuai dengan konteks bahasan, maka gambaran tentang struktur kepemimpinan tradisional itu akan lebih tertuju pada bentuk kepemimpinan dalam sistem kekuasaan yang berlaku di Minangkabau se-menjak abad ke 16, oleh karena, beberapa aspek dari ciri kepemimpinan itu kelihatannya masih tetap eksis --atau setidaknya tidak banyak mengalami perubahan pada masa sesudahnya--, dalam struktur sosial masyarakat di daerah ini, meskipun berbagai bentuk struktur pemerintahan telah diberlakukan di atasnya, baik oleh pemerintahan kolonial Belanda, Jepang dan pemerintahan Republik Indonesia.
Kerajaan Pagaruyung
Dalam hirarki kerajaan, struktur paling atas adalah Raja yang membawahi Dewan Menteri. Konsep Raja di Minangkabau pada waktu ini dikenal dengan sebutan Rajo Tigo Selo (Raja Tiga Tahta) artinya adanya tiga raja yang berkuasa dalam bidangnya masing-masing. Ketiga raja ini antara lain: Raja Adat sebagai pemegang kekuasaan di bidang adat, Raja Ibadat pemegang kekuasaan di bidang agama, dan Raja Alam sebagai pemegang kekuasaan terakhir dari kedua raja yang disebutkan terdahulu (Taufik Abdullah,dalam : Claire Holt (ed.),1972: 198). Sedangkan pada tingkat menteri disebut dengan Basa Ampek Balai yang terdiri dari : Bandaro Titah di Sungai Tarab sebagai Perdana Menteri, Tuan Kadi di Padang Ganting yang membidangi urusan keagamaan, Indomo di Saruaso dalam urusan keuangan, dan Makhudum di Sumanik yang mengurusi soal pertahanan dan daerah rantau (Mansoer, 1970:64-65 ; Parlindungan, 1964:523-25).
Perlu dikemukakan di sini bahwa antara kerajaan Pagarruyung dengan nagari-nagari yang terdapat di wilayah luhak tidak ada hubungan struktural apapun dalam penyelenggaraan pemerintahannya,. Bahkan setiap nagari --kecuali di wilayah rantau-- tidak memiliki keterikatan apa-apa dengan pusat kerajaan di Pagarruyung (Hardowardojo 1966:61; Naim, 1986, 45). Masing-masing nagari itu memiliki otonomi penuh atas nagari mereka. Kerajaan hanya sebagai simbol pemersatu dengan keterikatan moral dan hubungan kultural semata. Jadi, nagari, sebagai sistem kekuasaan tradi-sional yang terdapat dalam kesatuan kultural Minangkabau, di sini, dianggap relevan ketika kita hendak membicarakan tentang pola kepemimpinan pada sistem pemerintahan yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau.
Kepemimpinan Mamak dan Penghulu
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, bahwa komunitas Minangkabau terdiri dari kesatuan-kesatuan sosial yang bersifat genealogis, namun secara politis kesatuan-kesatuan ini membentuk organisasi pemerintahan yang bersifat teritorial dengan struktur kepemimpinan yang didasarkan atas kesatuan genealogis itu. Kepemimpinan inilah yang disebut dengan Mamak dan Penghulu. Kepemimpinan Mamak yang berada pada struktur terbawah secara otomatis melekat pada individu saudara laki-laki tertua dari ibu. Sedangkan pada kesatuan yang lebih tinggi seperti suku dan nagari, disebut dengan Penghulu. Pepatah adat meng-ungkapkan : "Kamanakan barajo ka Mamak, Mamak barajo ka Pangulu, Pangulu barajo ka Mufakat, Mufakat barajo ka nan Bana. Bana badiri sandirinyo" (kemenakan dipimpin oleh mamak, mamak dipimpin oleh penghulu, penghulu dipimpin oleh mufakat, mufakat dipimpin oleh kebenaran, kebenaran adalah berdiri sendiri).
Menurut Mochtar Naim, "kalau kita mencari apa atau siapa yang memimpin di Minangkabau, maka yang memimpin itu bukanlah orang tetapi adalah ide atau ideologi. Kepemimpinan tertinggi dipegang oleh “kebenaran” (nan bana). Kebenaran (al-Haq) itu adalah "ide" yang bersifat transedental dan immanen, karenanya tidak dapat dipertentangkan dengan akal dan akal sehat (Naim, 1986: 46-47). Untuk mendapatkan kebenaran itu digunakan lembaga mufakat. Kekuasaan dari mufakat tidak hanya didasarkan pada legitimasi dari penghulu dan pejabat-pejabat adat yang ikut serta dalam proses itu, tetapi juga pada pembawaannya yang suci. Fungsi dasar dari mufakat itu adalah realisasi pendapat yang abstrak dari Yang Benar (Nan Bana) yang adalah merupakan "raja sesungguhnya" dalam nagari (Taufik Abdullah, dalam : Claire Holt (ed.), 1972:191).
Kepemimpinan Mamak atau Penghulu, adalah representasi dari kekuasaan rakyat, karena sesungguhnya kebenaran itu ada pada rakyat. Dengan demikian dalam sistem demokrasi yang berlaku di Minangkabau yang berkuasa adalah rakyat (Naim, 1986: 46-47). Dalam tradisi kepemimpinan seperti ini tidak dikenal konsep paternalisme, karena pemimpin tidak menempatkan dirinya pada posisi patron bagi clientnya. Ninik Mamak dan Penghulu sebagai pemimpin, dia hanya "didahulukan selangkah, ditinggikan seranting". Dia besar karena dibesarkan oleh anak kemenakan, bukan besar dengan sendirinya. Karena itu pemimpin tidak dapat jalan sendiri dalam mengambil keputusan, dia tidak boleh mengabaikan pendapat serta pemikiran dari orang yang dipimpinnya. Keputusan itu dilegalisasi oleh lembaga mufakat untuk mendapatkan kata sepakat (seiya sekata) : "Tuah Sakato, Cilako Basilang" (Tuah sekata, Celaka Bersilang). Mufakat dalam konsepsi Minangkabau adalah : Bulek nan buliah digolekkan, picak nan buliah dilayangkan (Bulat yang boleh digulirkan, pipih yang boleh di layangkan). Bulat berarti konsensus penuh, sedangkan pipih berarti suara mayoritas, tapi seizin yang tidak sependapat (Naim, 1986: 46-47). Prinsip ini berlaku dalam setiap tingkat kepemimpinan dalam nagari-nagari di Minangkabau mulai dari mamak, sebagai pemimpin keluarga (saparuik), penghulu suku, dan penghulu pucuk, sebagai perwakilan yang duduk dalam Kerapatan Adat Nagari.
Sistem kepemimpinan Mamak dan Penghulu ini sudah berlangsung berabad-abad di dalam nagari-nagari yang terdapat di "luhak yang tiga" (wilayah inti Minangkabau), namun pada akhir abad ke 19, peranan kepemimpinan ini pada tingkat keluarga mulai merosot, terutama sejak Belanda membuka pusat-pusat perdagangan di wilayah ini.
Kemerosotan peran mamak dalam keluarga sebagaimana yang telah digambarkan itu, tidak banyak mempengaruhi fungsi dari sistem kepemimpinan di atasnya pada tingkat nagari, perubahan hanya terlihat pada status kepemimpinan nagari yang ditempatkan oleh Belanda secara administratif di bawah koordinasi lembaga yang sengaja dibentuk untuk kepentingan pemerintahan. Namun secara internal Belanda tidak terlalu banyak campur tangan
Kepemimpinan Nagari
Pada bahagian terdahulu telah dikemukakan bahwa dari unit terkecil struktur sosial genealogis (samande), berkembang menjadi saparuik kemudian menjadi suku. Suku (matriclan) inilah yang menjadi prasyarat terbentuknya sebuah nagari sebagai dijelaskan oleh pepatah : "Nagari bakaampek suku, dalam suku babuah paruik" .
Selain itu, kemandirian suatu nagari ditentukan pula oleh terpenuhinya beberapa persyaratan yang ditentukan seperti : balai (balairung adat), mesjid (tempat ibadat), tepian (tempat pemandian), labuh (jalan raya), dan galanggang (gelanggang) Taufik Abdullah dalam : Holt, Claire,1972:187 ; Nasroen 1971: 136). Untuk menjaga kelangsungan jaminan ekonomi anak nagari, setiap kesatuan sosial nagari dilengkapi dengan hak properti atas tanah secara bertingkat, yaitu antara lain: ditingkat nagari disebut dengan hak ulayat nagari dan di tingkat suku/kaum disebut dengan hak ulayat suku/kaum. Hak ulayat ini merupakan kekayaan kolektif masing-masing tingkat yang dijaga menurut ketentuan adat (Herman Sihombing, dalam : Naim, Mochtar (ed.),1968:79) .
Hirarki kepemimpinan sosial masyarakat suatu nagari di Minangkabau dibentuk berdasarkan aspek genealogis itu. Unit sosial genealogis terkecil kepemimpinannya melekat pada individu yang berada pada posisi mamak (yang tertua) atau yang disebut Tungganai, sedangkan pada unit diatasnya (saparuik) dipimpin oleh seorang Mamak Kepala Warih yang dipilih diantara mamak-mamak rumah (tungganai) yang ada berdasarkan pertimbangan kelayakan dan kepantasan (alur dan patut). Sedangkan Suku sebagai unit genealogis selanjutnya dipimpin oleh seorang Penghulu Suku yang juga dipilih diantara Mamak Kapalo Warih melalui musyawarah-mufakat berdasarkan pertimbangan yang sama. Nagari sebagai organisasi politik tertinggi, kepemimpinannya dipegang seorang penghulu yang dipilih secara primus interpares di antara penghulu-penghulu suku yang ada.
Nagari, selain sebagai kesatuan genealogis, juga merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum teritorial. Sebagai kesatuan territorial, nagari memiliki unit pelaksana administrasi yang disebut Kampuang. Kampuang (Kampung), biasanya adalah satu kelompok pemukiman yang dihuni oleh keluarga-keluarga dari berbagai suku. Namun adakalanya juga hanya terdiri dari satu suku. Yang terakhir ini biasanya disebut dengan koto. Setiap kampuang dalam nagari dipimpin oleh seorang Tuo Kampuang, yang adakalanya juga sekaligus sebagai penghulu pada sukunya . Unsur-unsur inilah yang duduk bersama dalam pemerintahan nagari dan secara bersama pula membicarakan serta memutuskan berbagai persoalan-persoalan anak nagari, terutama yang menyangkut ketertiban, keamanan dan kesejahteraan mereka. Lembaga penghulu ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari.
Kerapatan Adat Nagari merupakan lembaga perwakilan anak nagari dalam sistem pemerintahan nagari. Segala keputusan-keputusan yang menyangkut berbagai segi kehidupan masyarakat diputuskan dalam kerapatan ini. Semenjak agama Islam menjadi bagian integral dari adat Minangkabau, maka unsur agama menjadi bahagian yang tidak terpisahkan dalam urusan lembaga ini. Oleh karena itu pula, pemuka agama menjadi bahagian dari pemerintahan nagari. Bila dalam kerajaan Pagarruyung kekuasaan terbagi dalam bidang urusan agama dan adat di bawah koordinasi Raja Alam, maka di tingkat nagari terbagi dalam apa yang disebut dengan urang ampek jinih (orang yang empat jenis), yaitu : penghulu (pemimpin adat), manti (juru tulis adat), dubalang ("polisi"), dan malin (pegawai-pegawai agama) (Taufik Abdullah, dalam, Claire Holt, 1972: 198)
Kedudukan penghulu dalam pemerintahan nagari-nagari di Minangkabau ditentukan oleh sistem laras yang dianut. Di sini terdapat dua sistem kepemimpinan yang diwarisi dari nenek moyang mereka, yaitu : Laras Bodi Caniago dan Laras Koto Piliang. Kedua kelarasan ini pada awalnya adalah empat suku asal orang Minangkabau yaitu Koto, Piliang, Bodi, dan Caniago. Suku-suku yang terdapat di Sumatera Barat saat ini adalah perkembangan dari keempat suku tersebut. Suku-suku yang berasal dari laras Bodi dan Caniago menganut sistem kelarasan Bodi Caniago, demikian juga suku yang berasal dari Koto dan Piliang maka secara otomatis juga menganut kelarasan Koto Piliang.
Antara kedua kelarasan itu selain merupakan pemilahan suku menurut suku asal, juga lebih memperlihatkan perbedaan dalam sistem kepemimpinan yang diberlakukan. Sistem kepemimpinan laras Bodi Caniago menerapkan sistem kepemimpinan demokratis. Dalam nagari yang menganut sistem ini, kedu-dukan para penghulu suku adalah sama; "duduak samo randah, tagak samo tinggi" (duduk sama rendah, tegak sama tinggi). Kepemimpinan nagari dipegang oleh seorang Penghulu yang dipilih diantara anggota lembaga penghulu, namun ia tidak memiliki hak istimewa. Sedangkan nagari yang menerapkan sistem kepemimpinan laras Koto Piliang adalah bersifat aristokratis dan menganut paham royalis, kedudukan penghulu suku itu memiliki hirarki yang bertingkat; "bajanjang naiak, batanggo turun" (berjenjang naik, bertangga turun). Kepemimpinan nagari dipegang oleh seorang Penghulu Pucuk yang dipilih menurut sistem keturunan langsung.
Pemilahan nagari-nagari ke dalam kelarasan yang dua itu hingga beberapa dasa warsa terakhir, tidaklah terlalu menonjol (Backmann & Backmann,1985:247,Naim,1979,:18,dan Asnawi,2000:6). Meskipun ada nagari yang disebutkan menganut salah satu sistem kelarasan, namun bukan berarti seluruh suku yang terdapat di dalamnya berasal kelarasan yang sama. Bahkan semenjak awal abad ini terdapat kecendrungan di banyak nagari-- yang berada di luhak yang tiga dan di wilayah rantau-- pemberlakuan sistem itu tidak terlalu mempersoalkan apakah Koto Piliang atau Bodi Caniago sebagai terungkap dalam pepatah : Koto Piliang inyo bukan, Bodi Caniago inyo antah (Koto Piliang dia bukan, Bodi Caniago dia entah). Menurut Mochtar Naim (1979), "Pengelompokan ke dalam Koto Piliang dan Bodi Caniago tidak lagi dirasakan pentingnya di masa sekarang ini, oleh karena beda keduanya yang tinggal cuma sedikit" (Naim 1979: 18)
Konsep “Tali Tigo Sapilin, Tungku Tigo Sajarangan”
Konsep "Tali Tigo Sapilin, Tungku Tigo Sajarangan" (Tali tiga sepilin, tungku tiga sejerangan) adalah sangat identik untuk menyebut persyaratan yang harus ada dalam sistem kepemimpinan sosial di nagari-nagari di Minangkabau. Konsepsi ini diimplementasikan sebagai keharusan adanya tiga kom-ponen otoritas kepemimpinan dalam menjaga keutuhan dan keharmonian masyarakat. Ketiga komponen itu adalah Adat, Agama, dan Ilmu Pengetahuan. Masyarakat Minangkabau meyakini bahwa dengan adanya tiga komponen itu dalam kepemimpinan sosial, akan dapat menjamin terciptanya suatu sistem pengaturan sosial yang efektif dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan. Tali yang berpilin (berjalin) tiga memiliki jalinan sempurna dan mempunyai kekuatan untuk digunakan menarik dan mengikat apa saja. Demikian juga dengan tiga buah tungku sebagai penyangga wadah untuk memasak akan menjadi kukuh, sehingga apapun yang akan dimasak di atasnya akan matang dengan sempurna, artinya segala urusan yang menyangkut dengan kesejahteraan anak nagari dapat diatur dengan sebaik-baiknya sesuai dengan sistem serta norma-norma kehidupan yang berlaku.
Meskipun otoritas di bidang adat ada pada ninik mamak dan penghulu, di bidang agama oleh alim ulama, dan otoritas ilmu pengetahuan berada pada kalangan cadiak pandai (intelektual), namun dalam pelaksanaan sistem kepemimpinan tradisional komposisi tiga sepilin dan tiga sejerangan itu merupakan konsep tunggal dari kombinasi tiga bentuk otoritas yang diakui dalam masyarakat. Masing-masing komponen itu bukan merupakan kelembagaan yang terpisah, akan tetapi, adanya tiga komponen itu selain menjadi keharusan pada satu sistem kepemimpinan formal tradisional, ia juga harus wujud dalam diri seorang pemimpin yang dipilih (Penghulu) (Asnawi, dalam : Zed, Mestika dkk. (ed.),1992 : 94). Dalam pemilihan yang dilaksanakan melalui musyawarah dan mufakat, pertimbangan kelayakan dan kepatutan (manuruik alue jo patuik) biasanya juga didasari atas kemampuan serta potensi yang dimiliki dalam bidang-bidang tersebut. Corak kepemimpinan seperti ini memperlihatkan bahwa, secara struktural fungsional, seorang pemimpin terlahir dari dan dalam sistem sosial mereka sendiri. Oleh karenanya, tugas pemimpin itu sudah barang tentu lebih mengacu pada tujuan menjaga kelestarian sistem itu sendiri.
© Irhash A. Shamad.
Sumber : Irhash A. Shamad, 2001, Hegemoni Politik Pusat dan Kemandirian Etnik di Daerah, Kepemimpinan Sumatera Barat di Masa Orde Baru, Padang : IAIN IB Press, Bagian II