1. Akar Pembaharuan Islam.
Kemunduran Islam di dunia timur tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kenyataan penjajahan yang dialami oleh bangsa-bangsa timur itu sendiri dimana mayoritas penduduknya beragama Islam. Semenjak abad ke 16 orang-orang Eropa mulai mengarahkan penjelajahan maritim mereka melalui jalan dagang yang sebelumnya dikuasai oleh Islam. Oleh karenanya tidak mengherankan bila pada akhirnya Barat (Eropa) berhadapan dengan Islam. Terlepas dari perbedaan kepentingan di kalangan orang-orang Eropa, ternyata "pertemuan"nya dengan Islam merembet ke berbagai persoalan seperti politik, budaya, ekonomi, ideologi dan sebagainya. Serbuan-serbuan Barat ke dunia timur tidak saja telah memorat-maritkan kehidupan sosial, akan tetapi lebih jauh telah menyebabkan kehidupan agama menjadi menderita akibat frustasi dari kekalahan politik makro yang dialami oleh dunia Islam. Kenyataan ini menjadikan Islam terpuruk dalam dilema keagamaan yang cendrung fanatis dan tidak sehat. Kehidupan mistis menjadi subur, ortodoksi yang sempit telah membelenggu umat Islam untuk berfikir kreatif, khurafat dan takhayul telah pula mewarnai aktivitas ritual secara eksklusif. Keadaan ini menjadi larut akibat efektifitas kolonialisme sampai abad ke 19.
Ketika dirasakan bahwa kehadiran Barat telah menimbulkan berbagai krisis kepercayaan diri sebagai bangsa pada saat Barat menunjukkan diri sebagai penguasa, maka umat Islam menjadi sadar. Kesadaran ini selanjutnya mendorong umat Islam untuk bangkit dari ketertiduran mereka. Kebangkitan ini pada awalnya dipicu oleh kenyataan bahwa di hampir semua wilayah koloni barat, Islam mendapat tekanan-tekanan keagamaan, sosial dan politik yang pahit, apalagi- pada saat yang sama- pemikiran umat Islam dalam lapangan sosial, budaya dan politik juga sedang mengalami stagnasi.
Reaksi terhadap Barat kemudian bermunculan dari bangsa-bangsa yang beragama Islam secara bervariasi sesuai dengan keadaan penjajahan yang dialaminya. Bangsa Arab pada awalnya beraliansi dengan Barat untuk menghadapi Turki, namun kemudian berbalik menghadapi Barat setelah menyadari bahwa Barat ternyata merupakan pihak yang ingin memaksakan kekuasaan kolonialnya terhadap mereka. Di Afrika agama Islam mendirikan masyarakat baru yang berpotensi untuk melawan pengaruh asing. Bahkan di Asia, Islam adalah merupakan kelompok yang tetap survive dalam menantang kolonialisme (cf.: Boisard, 1980; 312).
Kesadaran kebangsaan di kalangan umat Islam di wilayah Timur selain timbul atas kenyataan kolonial, juga berkaitan dengan realitas kehidupan kemasyarakatan yang mandeg. Keadaan ini pulalah yang mendorong upaya-upaya serius di kalangan intelektual Islam untuk mencari solusi agar umat Islam terbebas dari keterbelakangan akibat interpretasi doktrinal keagamaan yang pincang. Islam haruslah dipahami sebagai doktrin yang tidak hanya berdimensi teologis semata, akan tetapi juga berdimensi sosial dan kultural. Dimensi yang disebutkan terakhir selama ini kurang menjadi perhatian umat Islam. Kekalahan dan ketertinggalan umat Islam dari bangsa penjajah telah mendorong dicanangkannya pembaharuan penafsiran doktrinal Islam terutama yang berkaitan dengan kehidupan sosial. Interpretasi-interpretasi baru terhadap doktrin Islampun muncul dari kalangan intelektual Islam. Dialog-dialog intelektual Islam dalam kaitan ini kelihatan ambivalen antara yang ingin menyerap dan berasimilasi dengan ide-ide Barat yang justru dimusuhi dengan yang tetap mempertahankan Islam dengan doktrin asli yang diyakini sudah lengkap (cf.: Stoddard,1966;52). Namun hal ini telah melahirkan dinamika berfikir yang kreatif sebagai pangkal tolak kebangkitan umat Islam pada masa kemudian. Dinamika ini pulalah yang pada gilirannya menggiring ke pemikiran kebangsaan dari kalangan umat Islam sendiri, sehingga penjabarannyapun meluas ke persoalan nasionalisme.
2. Pembaharuan Keagamaan dan Ide Pan Islamisme
Dilema keterbelakangan umat Islam serta tekanan-tekanan kolonialisme, seperti yang sudah dikemukakan, telah menjadi faktor penting bagi tumbuhnya gerakan kebangkitan dalam Islam. Gerakan ini menggambarkan kesadaran mendalam yang muncul dari kalangan tokoh-tokoh Islam atas pengalaman sejarah masyarakat Islam itu sendiri. Setidaknya pengalaman sejarah itu dapat dilihat dalam dua hal ; pertama, secara internal, umat Islam sadar atas ketertinggalannya dari bangsa kolonial. Kedua, secara eksternal, tantangan kolonial secara umum dirasakan menyentuh persoalan-persoalan doktrinal, sehingga menyulut 'kesadaran bersama' di kalangan Islam. Oleh karena itu secara internal intelektual Islam berupaya untuk menemukan solusi lewat reformasi keagamaan, sedangkan secara eksternal melahirkan gagasan 'solidaritas bersama' yang akhirnya dikenal dengan Pan Islamisme. Ide reformasi memperlihatkan gagasan internal dalam memperbaiki pola berfikir umat Islam seperti yang telah disinggung terdahulu, sedangkan gagasan Pan Islamisme yang ditimbulkan oleh gerakan reformasi merupakan upaya solusi eksternal untuk menggalang kesatuan dan solidaritas umat seagama yang memiliki pengalaman yang sama akibat penjajahan, dimana Islam dihadapkan langsung dengan kebijaksanaan kolonialisme. Pan Islamisme pada awalnya digerakkan oleh solidaritas Islam yang tumbuh dari implikasi ibadah Haji serta konsep Khilafah yang terdapat dalam Islam (Stoddard,1966;47), meskipun lembaga yang disebut terakhir tidak sepenuhnya diyakini oleh kalangan Islam sendiri sebagai biangnya Pan Islamisme.
Secara gamblang apa yang tergambar dari istilah Pan Islamisme, terasa sangat kontradiktif dengan topik bahasan ini. Oleh karena apa yang terlintas dalam fikiran kita ketika berhadapan dengan istilah itu ialah semangat keagamaan yang melintasi batas-batas geografis, apalagi yang disebut negara. Namun tidak demikian halnya bila kita sedikit lebih cermat dalam melihat perkembangan sejarah. Ide Pan Islamisme pada dasarnya bersumber dari gerakan pembaharuan Islam dengan cita-cita kesatuan spiritual yang dihembuskan oleh Jamaluddin Al-Afghani, yang kemudian menjadi rujukan banyak pembaharu di berbagai belahan dunia Islam termasuk Indonesia. Dalam perkembangannya, ternyata beberapa faktor sejarah yang konkrit membelokkan jalannya fakta material yang, meskipun ide itu bersifat universal, ternyata Islam menujukkan diri sebagai unsur yang menggerakkan dan menjadi pokok ideologi yang dapat dipindahkan menjadi identifikasi dan kesatuan moral untuk tun-tutan nasional pada satu kawasan tertentu, sebagaimana dikemukakan oleh Marcel A. Boissard : “Walaupun bersifat universalis, Islam membangkitkan nasionalisme dan merupakan unsur pokok “ideologi” yang dapat dipindahkan tanpa perantara dan dengan begitu merupakan semen kohesi, identifikasi dan kesatuan moral” (Boissard, 1980;328)
3. Nasionalisme dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia.
Pemikiran pembaharuan Islam global juga dirasakan pengaruhnya di Indonesia. Pada awal abad ke 20 gejolak pemikiran Islam di sini ditandai oleh berbagai konflik intern yang pada dasarnya menggambarkan dinamika Islam yang amat menarik untuk diamati. Dinamika keIslaman ini dipengaruhi oleh beberapa faktor kondisional yang dialami oleh umat Islam akibat tekanan penjajahan Belanda pada akhir abad ke 19; di mana kebijaksanaan-kebijaksanaan kolonial lebih banyak berhadapan dengan kepentingan-kepentingan Islam. Oleh karenanya corak serta bentuk pembaharuan pemikiran yang dilahirkan berbeda dengan pembaharuan-pembaharuan yang terjadi pada waktu-waktu sebelumnya.
Setidaknya ada dua faktor kondisional yang dapat digambarkan di sini, pertama, eksistensi Islam di Indonesia pada waktu ini berseberangan dengan dominasi ekonomi, sosial, politik dan budaya kolonial. Akibat dari dominasi ini, Islam menjadi terpinggirkan dibanding dengan kaum priayi atau aristokrasi (Steenbrink,1986;24). Lebih jauh kondisi ini sebenarnya lebih menyentuh persoalan pribumi ketimbang Islam semata, akibat perlakuan diskriminatif dan prasangka negatif dari pihak non pribumi. Hal mana dapat dilihat pada pikiran-pikiran yang berkembang dalam Serikat Islam untuk menolak perlakuan diskriminatif (prasangka negatif) terhadap penduduk asli Indonesia hingga meluas kepada tuntutan terhadap lahirnya identitas diri sebagai suatu bangsa yang dapat menentukan nasib sendiri dalam politik serta menolak kapitalisme (cf. Korver,1985;43). Kedua, di kalangan intelektual Islam terdapat konflik seputar kedudukan agama dalam kehidupan sosial politik. Ini diawali dengan tantangan yang dialami oleh Serikat Islam pada saat menetapkan ide dasar gerakan mereka dengan "Islam Nasionalisme", seperti kemudian juga terlihat dari polemik antara Soekarno dengan A. Hasan dan Natsir pada tahun 20 an (cf.:Deliar Noer, 1983; 186-187). Polemik ini mempersoalkan kedudukan agama dalam politik dan kenegaraan. Golongan reformis seperti A. Hasan dan Natsir berpendapat bahwa agama (Islam) memiliki doktrin universal yang mencakup kehidupan duniawi dan ukhrawi, karenanya Islam memiliki konsep-konsep kehidupan sosial dan politik yang jelas. Namun pandangan ini ditantang oleh golongan nasionalis (yang diwakili oleh pandangan Soekarno) yang cendrung mempersempit makna keberagamaan sebagai hanya sekedar urusan pribadi dengan Tuhan dan harus terpisah dari urusan politik dan kenegaraan. Polemik tentang hal ini untuk kemudian muncul dalam berbagai setting sosial-politik di Indonesia bahkan sampai sekarang.
Pada awal-awal abad ke 20, beberapa perobahan esensial telah terjadi terhadap orientasi pembaharuan Islam, yaitu upaya untuk kembali kepada al-Quran dan Sunnah serta menolak tradisi-tradisi agama yang tidak sesuai dengan sumber asli itu. Sedangkan perobahan lainnya terlihat dari kesadaran-kesadaran kebangsaan yang muncul dari tokoh-tokoh Islam dalam rangka menghadapi kolonialisme. Kesadaran ini diwujudkan dengan usaha gigih dari umat Islam untuk mengangkat harkat bangsa ini dengan memperkuat organisasi sosial ekonomi serta pambaharuan sistem pendidikan Islam (Steenbrink,1986;26-28). Lahirnya Serikat Islam (1911) menunjukkan orientasi yang jelas untuk memperbaiki posisi ekonomi umat Islam. Muhammadiyah (1912) muncul pula dengan orientasi utama terhadap pembaharuan Islam dalam menjaga kemurnian ajaran Islam serta menumbuhkan semangat membangun bangsa dengan prinsip-prinsip modern yang --bila diperlukan-- mengacu kepada pola-pola Barat. Kecendrungan inilah yang diperlihatkan oleh Muhammadiyah dengan mengacu sistem pendidikan 'sekuler'. Meskipun pada awalnya sangat ditantang oleh kalangan tradisionalis seperti Nah-dhatul Ulama, namun laju perkembangannya menjadi arus yang sukar untuk dihambat dan untuk kemudian melahirkan para intelektual modern. Sementara itu golongan tradisionalis dengan sistem organisasi dan sistem pendidikan yang tradisional tetap survive dengan konsep tradisional, sehingga para intelektual yang dihasilkannya eksis pula dalam dinamika perjuangan bangsa. Hal ini meskipun telah melahirkan dikhotomi antara golongan modernis dan golongan tradisionalis dalam Islam, namun kombinasi kedua kubu ini, setidaknya pada paruh pertama abad ke 20, telah secara bersama-sama membuat solusi-solusi kebangsaan.
4. Kesimpulan
Faktor kemandegan pola berfikir umat Islam secara global telah memberi kesadaran terhadap para intelektual Islam untuk melakukan upaya reformasi keagamaan. Seiring dengan itu pula pengalaman-pengalaman kolonial di beberapa wilayah yang beragama Islam 'mengajarkan' kepada mereka arti solidaritas bersama untuk menghadapi tantangan kolonial yang banyak terkait dengan kepentingan umat Islam. Kedua aspek ini ternyata sangat mempengaruhi munculnya pemikiran-pemikiran baru dalam Islam sendiri untuk menyadari arti kebangsaan dan nasionalisme. Hal ini kemudian memunculkan dialog-dialog intelektual di kalangan sebangsa untuk merumuskan 'konsep' nasionalisme itu dalam kehidupan berbangsa.
Periode awal abad ke 20 adalah periode 'adu otak' dalam menghadapi kolonialisme di Indonesia. Oleh karenanya dialog-dialog intelektual dalam rangka pencerdasan bangsa - dalam kaitan ini – menjadi penting. Dialog ini melahirkan gagasan yang bervariasi dalam rangka mewujudkan rasa kebangsaan itu. Meskipun dalam kenyataannya sering menimbulkan konflik-konflik seperti antara modernis dan tradisionalis dan antara nasionalis Islam dan nasionalis sekuler, namun konflik itu dapat dipahami sebagai sebuah keniscayaan dan dalam dinamika yang wajar, sejauh masih dalam kerangka proses pencerdasan bangsa itu.
© Irhash A. Shamad
Kemunduran Islam di dunia timur tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kenyataan penjajahan yang dialami oleh bangsa-bangsa timur itu sendiri dimana mayoritas penduduknya beragama Islam. Semenjak abad ke 16 orang-orang Eropa mulai mengarahkan penjelajahan maritim mereka melalui jalan dagang yang sebelumnya dikuasai oleh Islam. Oleh karenanya tidak mengherankan bila pada akhirnya Barat (Eropa) berhadapan dengan Islam. Terlepas dari perbedaan kepentingan di kalangan orang-orang Eropa, ternyata "pertemuan"nya dengan Islam merembet ke berbagai persoalan seperti politik, budaya, ekonomi, ideologi dan sebagainya. Serbuan-serbuan Barat ke dunia timur tidak saja telah memorat-maritkan kehidupan sosial, akan tetapi lebih jauh telah menyebabkan kehidupan agama menjadi menderita akibat frustasi dari kekalahan politik makro yang dialami oleh dunia Islam. Kenyataan ini menjadikan Islam terpuruk dalam dilema keagamaan yang cendrung fanatis dan tidak sehat. Kehidupan mistis menjadi subur, ortodoksi yang sempit telah membelenggu umat Islam untuk berfikir kreatif, khurafat dan takhayul telah pula mewarnai aktivitas ritual secara eksklusif. Keadaan ini menjadi larut akibat efektifitas kolonialisme sampai abad ke 19.
Ketika dirasakan bahwa kehadiran Barat telah menimbulkan berbagai krisis kepercayaan diri sebagai bangsa pada saat Barat menunjukkan diri sebagai penguasa, maka umat Islam menjadi sadar. Kesadaran ini selanjutnya mendorong umat Islam untuk bangkit dari ketertiduran mereka. Kebangkitan ini pada awalnya dipicu oleh kenyataan bahwa di hampir semua wilayah koloni barat, Islam mendapat tekanan-tekanan keagamaan, sosial dan politik yang pahit, apalagi- pada saat yang sama- pemikiran umat Islam dalam lapangan sosial, budaya dan politik juga sedang mengalami stagnasi.
Reaksi terhadap Barat kemudian bermunculan dari bangsa-bangsa yang beragama Islam secara bervariasi sesuai dengan keadaan penjajahan yang dialaminya. Bangsa Arab pada awalnya beraliansi dengan Barat untuk menghadapi Turki, namun kemudian berbalik menghadapi Barat setelah menyadari bahwa Barat ternyata merupakan pihak yang ingin memaksakan kekuasaan kolonialnya terhadap mereka. Di Afrika agama Islam mendirikan masyarakat baru yang berpotensi untuk melawan pengaruh asing. Bahkan di Asia, Islam adalah merupakan kelompok yang tetap survive dalam menantang kolonialisme (cf.: Boisard, 1980; 312).
Kesadaran kebangsaan di kalangan umat Islam di wilayah Timur selain timbul atas kenyataan kolonial, juga berkaitan dengan realitas kehidupan kemasyarakatan yang mandeg. Keadaan ini pulalah yang mendorong upaya-upaya serius di kalangan intelektual Islam untuk mencari solusi agar umat Islam terbebas dari keterbelakangan akibat interpretasi doktrinal keagamaan yang pincang. Islam haruslah dipahami sebagai doktrin yang tidak hanya berdimensi teologis semata, akan tetapi juga berdimensi sosial dan kultural. Dimensi yang disebutkan terakhir selama ini kurang menjadi perhatian umat Islam. Kekalahan dan ketertinggalan umat Islam dari bangsa penjajah telah mendorong dicanangkannya pembaharuan penafsiran doktrinal Islam terutama yang berkaitan dengan kehidupan sosial. Interpretasi-interpretasi baru terhadap doktrin Islampun muncul dari kalangan intelektual Islam. Dialog-dialog intelektual Islam dalam kaitan ini kelihatan ambivalen antara yang ingin menyerap dan berasimilasi dengan ide-ide Barat yang justru dimusuhi dengan yang tetap mempertahankan Islam dengan doktrin asli yang diyakini sudah lengkap (cf.: Stoddard,1966;52). Namun hal ini telah melahirkan dinamika berfikir yang kreatif sebagai pangkal tolak kebangkitan umat Islam pada masa kemudian. Dinamika ini pulalah yang pada gilirannya menggiring ke pemikiran kebangsaan dari kalangan umat Islam sendiri, sehingga penjabarannyapun meluas ke persoalan nasionalisme.
2. Pembaharuan Keagamaan dan Ide Pan Islamisme
Dilema keterbelakangan umat Islam serta tekanan-tekanan kolonialisme, seperti yang sudah dikemukakan, telah menjadi faktor penting bagi tumbuhnya gerakan kebangkitan dalam Islam. Gerakan ini menggambarkan kesadaran mendalam yang muncul dari kalangan tokoh-tokoh Islam atas pengalaman sejarah masyarakat Islam itu sendiri. Setidaknya pengalaman sejarah itu dapat dilihat dalam dua hal ; pertama, secara internal, umat Islam sadar atas ketertinggalannya dari bangsa kolonial. Kedua, secara eksternal, tantangan kolonial secara umum dirasakan menyentuh persoalan-persoalan doktrinal, sehingga menyulut 'kesadaran bersama' di kalangan Islam. Oleh karena itu secara internal intelektual Islam berupaya untuk menemukan solusi lewat reformasi keagamaan, sedangkan secara eksternal melahirkan gagasan 'solidaritas bersama' yang akhirnya dikenal dengan Pan Islamisme. Ide reformasi memperlihatkan gagasan internal dalam memperbaiki pola berfikir umat Islam seperti yang telah disinggung terdahulu, sedangkan gagasan Pan Islamisme yang ditimbulkan oleh gerakan reformasi merupakan upaya solusi eksternal untuk menggalang kesatuan dan solidaritas umat seagama yang memiliki pengalaman yang sama akibat penjajahan, dimana Islam dihadapkan langsung dengan kebijaksanaan kolonialisme. Pan Islamisme pada awalnya digerakkan oleh solidaritas Islam yang tumbuh dari implikasi ibadah Haji serta konsep Khilafah yang terdapat dalam Islam (Stoddard,1966;47), meskipun lembaga yang disebut terakhir tidak sepenuhnya diyakini oleh kalangan Islam sendiri sebagai biangnya Pan Islamisme.
Secara gamblang apa yang tergambar dari istilah Pan Islamisme, terasa sangat kontradiktif dengan topik bahasan ini. Oleh karena apa yang terlintas dalam fikiran kita ketika berhadapan dengan istilah itu ialah semangat keagamaan yang melintasi batas-batas geografis, apalagi yang disebut negara. Namun tidak demikian halnya bila kita sedikit lebih cermat dalam melihat perkembangan sejarah. Ide Pan Islamisme pada dasarnya bersumber dari gerakan pembaharuan Islam dengan cita-cita kesatuan spiritual yang dihembuskan oleh Jamaluddin Al-Afghani, yang kemudian menjadi rujukan banyak pembaharu di berbagai belahan dunia Islam termasuk Indonesia. Dalam perkembangannya, ternyata beberapa faktor sejarah yang konkrit membelokkan jalannya fakta material yang, meskipun ide itu bersifat universal, ternyata Islam menujukkan diri sebagai unsur yang menggerakkan dan menjadi pokok ideologi yang dapat dipindahkan menjadi identifikasi dan kesatuan moral untuk tun-tutan nasional pada satu kawasan tertentu, sebagaimana dikemukakan oleh Marcel A. Boissard : “Walaupun bersifat universalis, Islam membangkitkan nasionalisme dan merupakan unsur pokok “ideologi” yang dapat dipindahkan tanpa perantara dan dengan begitu merupakan semen kohesi, identifikasi dan kesatuan moral” (Boissard, 1980;328)
3. Nasionalisme dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia.
Pemikiran pembaharuan Islam global juga dirasakan pengaruhnya di Indonesia. Pada awal abad ke 20 gejolak pemikiran Islam di sini ditandai oleh berbagai konflik intern yang pada dasarnya menggambarkan dinamika Islam yang amat menarik untuk diamati. Dinamika keIslaman ini dipengaruhi oleh beberapa faktor kondisional yang dialami oleh umat Islam akibat tekanan penjajahan Belanda pada akhir abad ke 19; di mana kebijaksanaan-kebijaksanaan kolonial lebih banyak berhadapan dengan kepentingan-kepentingan Islam. Oleh karenanya corak serta bentuk pembaharuan pemikiran yang dilahirkan berbeda dengan pembaharuan-pembaharuan yang terjadi pada waktu-waktu sebelumnya.
Setidaknya ada dua faktor kondisional yang dapat digambarkan di sini, pertama, eksistensi Islam di Indonesia pada waktu ini berseberangan dengan dominasi ekonomi, sosial, politik dan budaya kolonial. Akibat dari dominasi ini, Islam menjadi terpinggirkan dibanding dengan kaum priayi atau aristokrasi (Steenbrink,1986;24). Lebih jauh kondisi ini sebenarnya lebih menyentuh persoalan pribumi ketimbang Islam semata, akibat perlakuan diskriminatif dan prasangka negatif dari pihak non pribumi. Hal mana dapat dilihat pada pikiran-pikiran yang berkembang dalam Serikat Islam untuk menolak perlakuan diskriminatif (prasangka negatif) terhadap penduduk asli Indonesia hingga meluas kepada tuntutan terhadap lahirnya identitas diri sebagai suatu bangsa yang dapat menentukan nasib sendiri dalam politik serta menolak kapitalisme (cf. Korver,1985;43). Kedua, di kalangan intelektual Islam terdapat konflik seputar kedudukan agama dalam kehidupan sosial politik. Ini diawali dengan tantangan yang dialami oleh Serikat Islam pada saat menetapkan ide dasar gerakan mereka dengan "Islam Nasionalisme", seperti kemudian juga terlihat dari polemik antara Soekarno dengan A. Hasan dan Natsir pada tahun 20 an (cf.:Deliar Noer, 1983; 186-187). Polemik ini mempersoalkan kedudukan agama dalam politik dan kenegaraan. Golongan reformis seperti A. Hasan dan Natsir berpendapat bahwa agama (Islam) memiliki doktrin universal yang mencakup kehidupan duniawi dan ukhrawi, karenanya Islam memiliki konsep-konsep kehidupan sosial dan politik yang jelas. Namun pandangan ini ditantang oleh golongan nasionalis (yang diwakili oleh pandangan Soekarno) yang cendrung mempersempit makna keberagamaan sebagai hanya sekedar urusan pribadi dengan Tuhan dan harus terpisah dari urusan politik dan kenegaraan. Polemik tentang hal ini untuk kemudian muncul dalam berbagai setting sosial-politik di Indonesia bahkan sampai sekarang.
Pada awal-awal abad ke 20, beberapa perobahan esensial telah terjadi terhadap orientasi pembaharuan Islam, yaitu upaya untuk kembali kepada al-Quran dan Sunnah serta menolak tradisi-tradisi agama yang tidak sesuai dengan sumber asli itu. Sedangkan perobahan lainnya terlihat dari kesadaran-kesadaran kebangsaan yang muncul dari tokoh-tokoh Islam dalam rangka menghadapi kolonialisme. Kesadaran ini diwujudkan dengan usaha gigih dari umat Islam untuk mengangkat harkat bangsa ini dengan memperkuat organisasi sosial ekonomi serta pambaharuan sistem pendidikan Islam (Steenbrink,1986;26-28). Lahirnya Serikat Islam (1911) menunjukkan orientasi yang jelas untuk memperbaiki posisi ekonomi umat Islam. Muhammadiyah (1912) muncul pula dengan orientasi utama terhadap pembaharuan Islam dalam menjaga kemurnian ajaran Islam serta menumbuhkan semangat membangun bangsa dengan prinsip-prinsip modern yang --bila diperlukan-- mengacu kepada pola-pola Barat. Kecendrungan inilah yang diperlihatkan oleh Muhammadiyah dengan mengacu sistem pendidikan 'sekuler'. Meskipun pada awalnya sangat ditantang oleh kalangan tradisionalis seperti Nah-dhatul Ulama, namun laju perkembangannya menjadi arus yang sukar untuk dihambat dan untuk kemudian melahirkan para intelektual modern. Sementara itu golongan tradisionalis dengan sistem organisasi dan sistem pendidikan yang tradisional tetap survive dengan konsep tradisional, sehingga para intelektual yang dihasilkannya eksis pula dalam dinamika perjuangan bangsa. Hal ini meskipun telah melahirkan dikhotomi antara golongan modernis dan golongan tradisionalis dalam Islam, namun kombinasi kedua kubu ini, setidaknya pada paruh pertama abad ke 20, telah secara bersama-sama membuat solusi-solusi kebangsaan.
4. Kesimpulan
Faktor kemandegan pola berfikir umat Islam secara global telah memberi kesadaran terhadap para intelektual Islam untuk melakukan upaya reformasi keagamaan. Seiring dengan itu pula pengalaman-pengalaman kolonial di beberapa wilayah yang beragama Islam 'mengajarkan' kepada mereka arti solidaritas bersama untuk menghadapi tantangan kolonial yang banyak terkait dengan kepentingan umat Islam. Kedua aspek ini ternyata sangat mempengaruhi munculnya pemikiran-pemikiran baru dalam Islam sendiri untuk menyadari arti kebangsaan dan nasionalisme. Hal ini kemudian memunculkan dialog-dialog intelektual di kalangan sebangsa untuk merumuskan 'konsep' nasionalisme itu dalam kehidupan berbangsa.
Periode awal abad ke 20 adalah periode 'adu otak' dalam menghadapi kolonialisme di Indonesia. Oleh karenanya dialog-dialog intelektual dalam rangka pencerdasan bangsa - dalam kaitan ini – menjadi penting. Dialog ini melahirkan gagasan yang bervariasi dalam rangka mewujudkan rasa kebangsaan itu. Meskipun dalam kenyataannya sering menimbulkan konflik-konflik seperti antara modernis dan tradisionalis dan antara nasionalis Islam dan nasionalis sekuler, namun konflik itu dapat dipahami sebagai sebuah keniscayaan dan dalam dinamika yang wajar, sejauh masih dalam kerangka proses pencerdasan bangsa itu.
© Irhash A. Shamad