Pengantar
Kemajuan teknologi informasi akhir-akhir ini melaju sangat pesat. Seiring dengan itu pola-pola kehidupan sosial dan budayapun mengalami perubahan dengan cepat. Perubahan mana seringkali tidak diikuti dengan perubahan sikap mental masyarakat, sehingga tidak jarang terjadi cultural shock dengan munculnya fenomena-fenomena baru di tengah-tengah masyarakat. Keadaan ini kemudian berakibat tatanan sosial dan budaya masyarakat menjadi limbung dan kehilangan resistensi, apalagi memasuki era post truth yang dewasa ini mulai pula mewarnai setiap aspek kehidupan sosial budaya dan politik masyarakat.
Salah satu yang
diasumsikan sebagai akibat ketidaksiapan masyarakat beradaptasi dengan
perubahan budaya itu adalah tergerusnya identitas kultural yang seyogianya
menjadi tameng agar tetap bertahan dan menyaring arus deras informasi itu, begitupun
kemampuan dalam mengelola informasi secara selektif untuk kepentingan kultural
itu sendiri.
Identitas kultural mengacu
pada rasa memiliki seseorang terhadap budaya atau kelompok
tertentu, itu dapat dilihat dari penggunaan simbol bersama untuk
mengidentifikasi kelompok dan membedakannya dengan kelompok yang lain.
Internalisasi nilai pada suatu kelompok berdasarkan keyakinan, agama, sejarah, tradisi,
norma, dalam praktik sosial budaya kelompok, kemudian mengidentifikasi dengan
budaya itu, sekaligus menjadikannya sebagai konsep diri setiap individu di
dalamnya. Identitas budaya seperti ini seharusnya terimplementasi dalam prilaku budaya
sehari-hari semisal gaya hidup, pakaian, perumahan, peribadatan, pendidikan,
pergaulan, seni dan sebagainya yang pada gilirannya akan melahirkan
simbol-simbol dan pemaknaan baru untuk memperkokoh keberadaan nilai budaya itu
sendiri.
Seni Kaligrafi
dan pembangunan Identitas Keislaman
Sebagai salah satu aktifitas budaya Islam,
kaligrafi merupakan bagian dari tradisi yang telah mengalami jalan panjang
mengiringi perkembangan Islam itu sendiri. Berawal dari dorongan penggunaan
tulisan dalam masyarakat Islam awal, hingga kepentingan untuk memberikan nuansa
seni pada tulisan itu sendiri seperti halnya nuansa seni pada pembacaannya
(qira`ah), maka seni kaligrafi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
sublimasi nilai Ilahiyyah dalam Islam, dan pengalaman berabad-abad
penyempurnaanya oleh para kaligrafer memberikan bukti itu. Berbeda dengan seni
kaligrafi lain seperti kaligrafi Cina, kaligrafi Barat, Jepang dan lain-lain, perkembangan kaligrafi
Islam dalam prosesnya selalu mengiringi perjalanan syiar Islam itu sendiri,
sehingga dinamikanya tidak keluar dari ruas sublimasi nilai-nilai Ilahiyyah,
karena selalu mengambil peran dalam merepresentasikan nilai yang terdapat dalam
Al-Quran dan Al-Hadits sebagai sumber nilai yang utama dalam Islam.
Sublimasi Ilahiyyah dalam seni kaligrafi Islam
telah memberikan citra tersendiri terhadap berbagai aspek budaya fisik Islam
lainnya. Hal ini dapat diamati misalnya dari perkembangan arsitektur masjid sebagai pusat
aktifitas keagamaan umat. Sebuah masjid tidaklah lengkap bila tidak dicirikan
sentuhan seni kaligrafi, demikianpun istana raja, nisan makam, dlsb. Apalagi
bila dikaitkan dengan aktifitas keagamaan lainnya seperti penulisan mushaf
Al-Quran dan naskah-naskah keagamaan lainnya seperti yang kita amati dari
peninggalan budaya di berbagai belahan dunia Islam.
Selain itu seni kaligrafi Islam disadari atau
tidak telah pula mengambil peran dalam proses dan transmisi nilai Islam secara
terus menerus di tengah masyarakat, bahkan kehadirannya dapat menjadi
perangsang religiositas individual umat. Seorang muslim betapapun ia telah
menyeleweng dari nilai agamanya, saat ia menyaksikan seni kaligrafi ayat
Al-Quran, naluri dasarnya akan tergugah secara gradual untuk kembali kepada
ketaatan lewat gubahan huruf-hurufnya yang indah, bahkan ketika pesan ayat itu
sendiri tidak serta merta dapat ditangkap melalui tulisan, maka pesan
estetisnyalah yang memainkan peranan. Dengan demikian tidaklah berlebihan jika
diasumsikan bahwa seni kaligrafi dalam Islam telah memiliki fungsi simbolik bagi umatnya yang
dimaknai sebagai bagian dari sublimasi ketuhanan dalam praktek budaya dalam
masyarakat muslim.
Memasuki era teknologi komunikasi yang pesat dan
makin terbuka, gelombang peradaban global mulai menggerus nilai-nilai dasar
kehidupan muslim, bahkan cendrung mendekonstruksi nilai-nilai yang selama ini
telah begitu mapan. Upaya dekonstruksi ini terutama diarahkan pada segmen
remaja dan anak-anak melalui berbagai lini kehidupan mereka secara sistematis
dengan didukung oleh media informasi secara intensif. Sehingga membuat generasi muslim secara pelan-pelan
mulai “dilonggarkan” pegangan mereka terhadap nilai-nilai yang selama ini
diyakini. Oleh karena itu harus ada upaya-upaya
sistematis untuk kembali membangun identitas budaya Islam dalam rangka
menumbuhkan nilai keislaman dengan penciptaan simbol-simbol baru yang dapat
menggugah suasana keberagamaan masyarakat dalam budaya. Salah satu simbol yang
dianggap efektif untuk tujuan itu adalah melalui seni kaligrafi Islam.
Pertanyaan kemudian adalah, kenapa seni kaligrafi
Islam?, Ismail Raji Al-Faruqy mengemukakan bahwa kebudayaan Islam memandang
bahwa keindahan sebagai nilai tempat bergantungnya seluruh validitas Islam yang
terpancar melalui keindahan absolut Allah SWT dengan kekuatan estetika I’jazul Quran sebagai kualitas keindahan
yang tidak tertandingi dan tanpa batas, sementara itu diantara seni Al-Quran
yang dianggap paling aman dari perdebatan jurisprudensi Islam adalah kaligrafi
Al-Quran, disamping tentunya bahwa kaligrafi lebih memiliki spektrum yang lebih
luas dan jauh melampau masa saat ia
dikreasikan, di mana impresi keindahan senitulis kaligrafi akan berkekalan
selama ia masih dapat disaaksikan dan diapresiasi oleh masyarakat, meskipun
penulisnya sudah tidak ada.
Seni Kaligrafi
Islam dan Nilai-Nilai Edukasi
Kaligrafi adalah “handasah ruhaniyyah biaalaati jasmaniyyah”, kreatifitas ruhani
(jiwa) yang diekspresikan melalui alat jasmani (tangan/qalam), demikian kata
salah seorang pioneer kaligrafi Islam Yaqut Al-Musta’shimy. Keindahan dan
estetika huruf muncul dari spiritualitas yang menjaga keseimbangan, keserasian
dan keharmonian, bukan dari imaginasi yang liar dan bebas. Berkaligrafi artinya
mengasah geometri bathin penulis untuk mengekspresikan sesuatu yang dilandasi
nilai absolut Ilahiyyah ; karenanya ia merupakan kreatifitas yang bersifat
ubudiyyah dalam rangka menyempurnakan keyakinan dengan menyingkirkan nafsu dan
emosi, tapi mengutamakan orisinalitas, disiplin dan kepekaan dalam mengolah
tulisan menjadi sebuah karya yang memberikan impressi keindahan sekaligus mengedukasi diri penulis maupun penikmatnya
untuk mencari jalan menuju integritas keperibadian yang religious.
Paling tidak ada empat aspek dari aktifitas seni
kaligrafi yang dapat membangun nilai-nilai edukasi, terutama bagi kalangan
belia, yaitu :
1.
Sebagai upaya pelatihan untuk bersikap cermat
dalam pengamatan. Berlatih kaligrafi adalah mengguratkan huruf dengan
memperhatikan secara seksama terhadap ukuran, kesimbangan, keharmonian, serta
keindahan anatomis yang terukur sebagaimana diajarkan oleh kaidah menulis khat
itu sendiri.
2.
Menumbuhkan
sikap tidak gegabah dan pengendalian antusiasme dalam mengekspresikan nilai
kedalam prilaku. Mengekspresikan gelombang batin dalam berolah seni dalam kaligrafi
menuntut ketaatan normatif penulisan (kaidah khat), sehingga mengaplikasikannya
pada aktifitas jasadi menjadi terbatas. Pembiasaan ini akan sangat berpengaruh
dalam menuntun prilaku agar lebih terkendali.
3.
Senantiasa
mengasah bathin dengan kehalusan rasa. Menggoreskan huruf bukan hanya
keterampilan tangan dalam membuat kejuran dan tarikan kalam, tapi disertai kemampuan
menyetarakan hati untuk pertimbangan kelenturan kejuran, bulatan tak sempurna,
serta tarikan vertikal dan horizontal yang meliuk, meruncing dsb.. Bahkan untuk
mencapai kesempurnaannya terkadang penulisnya harus menahan nafas.
4.
Mendidik diri
untuk senantiasa berperan dalam penyampaian nilai-nilai keislaman kepada orang
lain melalui kreatiftas estetis. Kreatifitas berkaligrafi dalam Islam, senantiasa bermakna penyampaian pesan
keislaman, melalui pilihan ayat, bentuk, garis, kontur, komposisi, sampai pada
pewarnaan, pencahayaan, iluminasi pendukung dan sebagainya, sehingga pesan itu
benar-benar komunikatif, baik secara grafis (tulisan)nya, maupun dan secara
estetis (keindahan)nya.
Demikian paparan singkat ini, mudah-mudahan dapat
membangkitkan antuasiasme kita dalam berolah kaligrafi dalam rangka membangun
identitas dan nilai-nilai edukasi Islam, sebagai pilihan perjuangan li`alaa`i kalimatillah fid-dunya.
Wallahu a’lamu bish-shawab.
© Irhash A. Shamad
Disampaikan pada Webinar Kaligrafi oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Nur Jabalain IAIN Bukittinggi via Zoom Meeting, Minggu tgl 29 Nopember 2020.